Oleh: Andi Affandil Haswat
(Mahasiswa Pascasarjana IAIN)
Veritas et Virtus
Setelah kemerdekaan Indonesia, mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diatur oleh Undang-Undang (UU) No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah. Pada awalnya, kepala daerah di tingkat provinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, sedangkan di tingkat kabupaten, kepala daerah diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari calon-calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten.
Dengan adanya Konsep Otonomi Daerah sehingga pada tahun 2005, Indonesia melakukan perubahan signifikan dalam sistem Pilkada. Pilkada pertama kali dilakukan secara langsung oleh rakyat. Rakyat memiliki hak suara untuk memilih kepala daerah mereka, dan pilihan mereka langsung ditentukan oleh hasil pemungutan suara. Pilkada ini diselenggarakan pada bulan Juni 2005, sebagai hasil dari penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Kemudian Sejak berlaku Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pilkada mulai diintegralkan dalam rezim pemilu. Pilkada pertama kali diselenggarakan secara serentak pada tahun 2007 di DKI Jakarta, setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Penolakan massif dari masyarakat atas UU No. 22 Tahun 2014 membuat UU tersebut dicabut. Sebaliknya, Perppu No. 1 Tahun 2014 kemudian disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015, yang mengembalikan kewenangan pemilihan kepala daerah dan wakilnya secara langsung oleh rakyat. UU ini mengalami beberapa kali perubahan, termasuk melalui UU No. 10 Tahun 2016, yang tetap mengamanatkan pemilihan kepala daerah dan wakilnya secara langsung oleh rakyat..
Penyelenggaran Pemilu/Pilkada tidak diatur secara tegas dan terperinci didalam Konstitusi mengenai cara, bentuk, sistem pemilihannya. sehingga aturan main dapat berubah sewaktu-waktu sesuai keinginan, kehendak para pembuat kebijakan pada masanya.
Kemudian perubahan juga dapat dilakukan dengan cepat melalui Upaya Hukum di Mahkamah Konstitusi, seperti yang sudah terjadi beberapa kali. Aturan Main Kontestasi dapat dirubah walaupun pertandingan (kontestasi) sudah berjalan.
Rezim Pilkada Serentak
Hingga saat ini, Pilkada serentak telah diselenggarakan beberapa kali sejak tahun 2015. Pilkada serentak ini biasanya dilakukan untuk daerah-daerah yang akan habis masa jabatannya pada periode tertentu. Namun, dengan alasan efesiensi serta agar adanya kestabilan Politik dan Pembangunan, Pilkada yang akan datang dilakukan secara serentak (menyeluruh) yang akan digelar pada tanggal 27 November 2024, melibatkan 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Namun, perubahan, gonta-ganti aturan main terkait penyelenggaran Pilkada ternyata belum membuat kontestasi memilih pemimpin semakin baik justru menjauh dari harapan. Masih banyak regenerad (pengkhianatan) akan tujuan serta asas-asasnya yang LUBER JURDIL (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil). Masih begitu banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, termasuk makin menjamurnya politik transaksional (Money Politic).
Ada 3 aktor dalam penyelenggaraan Pilkada; satu ialah penyelenggara (KPU, Bawaslu dan DKPP), Kedua, peserta Pilkada (Kandidat Calon serta Partai Politik) serta Ketiga, Pemilih ( WNI yang memilik hak suara).
Dari aktor-aktor yang ada tersebut, masih menggambarkan adanya pragmatisme politik (dukung siapa, dapat apa). Hal tersebut tidak hanya terjadi di kalangan pemilih yang memiliki Hak Suara, yang secara gamblang, terang-terangan, untuk siap menerima sogokan dalam menentukan pilihannya atau dikenal dengan istilah NPWP (Nomor Piro Wani Piro).
Namun, juga terjadi di aktor para calon pemimpin (peserta) tersebut, mereka menghalakan segala cara demi memenangkan kontestasi, terlepas apakah perbuatan itu melanggar atau tidak. Masih kentalnya “mahar politik” di saat pengusungan calon hingga jual-beli Suara. baginya “lebih baik menang curang, daripada kalah terhormat”
Pada aktor penyelenggara juga terjadi sama, mereka terkesan bekerja hanya sekadar menggugurkan kewajiban, tidak berupaya agar bagaimana pesta demokrasi tersebut berjalan secara berkualitas sesuai dengan asas-asasnya. Pola rekrutmen yang tidak menerapkan merit system, namun masih pada pola lama “titipan-titipan” dll.
Menurut laporan DKPP, DKPP menerima total 299 aduan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) sepanjang tahun 2023. Dari jumlah tersebut, 118 perkara sudah diputuskan. Dalam periode 10 bulan, DKPP telah memproses 432 kasus pelanggaran yang berkaitan dengan penyelenggara pemilu. Ini berarti, lebih dari satu kasus per hari diproses oleh DKPP. Pragmatisme politik, pelanggaran-pelanggaran, seakan-akan sudah terkesan dinormalisasikan dalam ajang pemilihan pemimpin lokal 5 tahunan tersebut.
Dengan kondisi yang sudah berada di titik nadir tersebut, tentu rakyat-lah yang mendapat kerugian terbesar. Puluhan triliun anggaran yang dikeluarkan, yang dipungut dari hasil pajak warga hanya menghasilkan pemimpin yang lahir dari kontestasi yang culas nan pragmatis. Akhirnya kita tidak heran, menurut data KPK dalam kurun waktu 2021-2023 setidaknya telah ada 61 kepala daerah yang tersangka korupsi.
Bagi penulis, jalan keluarnya ialah dengan memutus lingkaran setan pragmatisme politik. melalui beberapa langkah strategis:
- Pendidikan Politik: Masyarakat perlu diberikan pendidikan politik yang baik, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya memilih pemimpin berdasarkan ideologi dan kualitas, bukan iming-iming uang atau
- Partisipasi Aktif: Mendorong partisipasi politik warga dengan mengedukasi mereka tentang kriteria pemimpin yang baik dan pentingnya suara mereka dalam menentukan arah pembangunan.
- Reformasi Partai Politik: Partai politik harus menghentikan praktik politik transaksional dan fokus pada pengembangan kader yang berkomitmen pada nilai-nilai idealisme, serta menjalin kemitraan dengan institusi pendidikan untuk menyelenggarakan program pendidikan politik.
- Penegakan Hukum: Memperkuat penegakan hukum terhadap praktik politik uang dan transaksi ilegal dalam pemilu untuk menciptakan lingkungan pemilihan yang lebih bersih dan adil. Memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa praktik kecurangan dikontestasi merupakan tindak kejahatan, serta pelakunya merupakan kriminal. Selain itu praktik kecurangan merupakan perbuatan haram.
- Peran Media, Intelektual, Cendekiawan, TNI/Polri serta Tokoh Agama: aktor-aktor tersebut memiliki peran yang sangat penting didalam konstestasi pilkada. Mereka diharap menjadi pelopor, mengawal pesta demokrasi berjalan sebagaimana mestinya. Menjadi pelopor memutus mata rantai pragmatisme yang ada. Kenapa demikian?
Sebab, aktor ini yang sering dikunjungi ketika kontetasi dilaksanakan, dengan berbagai alasan, misalnya sowan, meminta doa, bahkan tidak jarang yang diberikan janji oleh kandidat. Namun kita berharap agar mereka tidak boleh terkesan bertindak seperti Memelihara tuyul (ingin menikmati hasilnya, tapi menutup mata akan proses yang terjadi). Mereka juga mesti tegas, tidak akan mendukung praktik-praktik culas.
Terakhir, dengan bersama-sama mendorong proses penyelenggaraan pilkada yang berkualitas, tentu akan melahirkan pemimpin yang berkualitas, moga-moga kehidupan rakyat akan jauh lebih baik lagi. Aamiin. (*)