Oleh: Aditya Putra (Dosen Universitas Syekh Yusuf Al-Makassary dan Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin)
Menjelang pemilukada 2024, ada sebuah fenomena yang terjadi di kota Parepare, yaitu maraknya sosialisasi pencalonan diri sebagai calon wakil kepala daerah (walikota).
Ini menjadi sebuah hal yang menarik, sebab selama ini, yang jamak ditemui adalah sosialisasi yang dilakukan untuk mencalonkan diri sebagai wali kota, bukan sebagai wakilnya.
Sosialisasi tersebut juga sering dilengkapi dengan pemasangan baliho, blusukan, hingga pemaparan visi misi layaknya pada sosialisasi yang dilakukan oleh seorang calon walikota, sehingga kemudian menimbulkan pertanyaan, mengapa hal ini bisa terjadi, serta apa sebenarnya yang menjadi peran seorang wakil.
Kedua pertanyaan ini mengemuka, sebab selama ini peran wakil kepala daerah masih jarang menjadi sorotan. Masyarakat pun masih banyak yang belum paham, apa sebenarnya fungsi wakil kepala daerah tersebut.
Jika kita melihat pada sejarah, kedudukan wakil kepala daerah di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan. Merujuk ke belakang, format wakil kepala daerah belum diatur secara spesifik hingga pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Bahkan pada tahun 1948, kepala daerah masih berjalan sendiri, dan wakil kepala daerah bukanlah sebuah kedudukan baku. Ini dapat dilihat pada pasal 19 UU. No.22 tahun 1948 yang menyebutkan jika kepala daerah berhalangan hadir maka yang mewakili adalah salah satu dari anggota Dewan Pemerintah Daerah yang ditunjuk oleh DPD itu sendiri.
Aturan ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari tahun 1957 dengan Pasal 26 UU. No. 1 yang menyatakan jika wakil kepala daerah berhalangan atau diberhentikan maka yang menjadi penggantinya adalah wakil ketua Dewan Pemerintah Daerah.
Selanjutnya pada tahun 1965 dengan pasal 21 (1) UU. No. 18 yang menyebutkan bahwa wakil kepala daerah berasal dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan jumlahnya paling sedikit dua orang dan paling banyak empat orang, hingga pada tahun 1974 melalui pasal 24 UU No. 5 yang berisi ketentuan bahwa wakil kepala daerah dipilih oleh presiden dari pegawai negeri yang jumlahnya tidak diatur dan sesuai kebutuhan.
Kedudukan wakil kepala daerah baru mulai menemukan arah formulasinya pada era reformasi, atau tepatnya pada tahun 1999. Pemerintah pada saat itu mengeluarkan UU. No. 22, dimana pada Pasal 30 menyatakan bahwa kepala daerah sebagai eksekutif daerah dibantu oleh seorang wakil kepala daerah yang pemilihannya dilakukan oleh DPRD dengan ketentuan suara terbanyak akan menjadi kepala daerah dan suara terbanyak kedua menjadi wakil kepala daerah, serta Pasal 24 (3) yang menyebutkan bahwa kepala daerah dibantu oleh seorang wakil kepala daerah. Selain itu, Pasal 34 undang-undang ini juga menyebutkan bahwa pemilihan kepala dan wakil kepala daerah dilaksanakan dan ditetapkan oleh DPRD melalui 2 tahapan, yaitu pencalonan dan pemilihan, dan masing-masih calon akan terdiri dari pasangan calon dan wakil calon kepala daerah.
Dengan demikian, pencalonan kepala daerah dan wakilnya pada saat itu bukanlah dalam bentuk paket atau pasangan, melainkan terpisah, dan proses pemilihannya pun masih menjadi kewenangan DPRD.
Pencalonan dalam bentuk pasangan atau paket sendiri baru dimulai pada tahun 2004, dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 yang kemudian menjadi tonggak sejarah, karena untuk pertama kalinya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Indonesia dipilih secara langsung oleh rakyat pada daerah yang bersangkutan (pasal 24 ayat 5). UU ini juga mengatur secara spesifik tugas wakil kepala daerah serta mempertegas fungsi Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) untuk menyelenggarakan pemilukada.
Sepuluh tahun setelah pelaksanaan UU No. 32 tahun 2004 terbitlah UU No. 22 tahun 2014 yang memberi kewenangan kembali kepada DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya. Sebagaimana disebutkan pasal 28 ayat 1 bahwa pemungutan suara, perhitungan suara, dan penetapan hasil pemungutan suara dalam pemilihan dilaksanakan dalam rapat paripurna DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota.
Namun dikarenakan besarnya penolakan yang begitu masif dari masyarakat terhadap UU No. 22 tahun 2014, maka pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang disahkan menjadi UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU. No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Undang-undang ini mengembalikan kembali pemilihan Kepala Daerah dan wakilnya secara langsung oleh rakyat, seperti yang tercantum pada pasal 1 ayat 1. UU No. 1 tahun 2015 selanjutnya beberapa kali mengalami perubahan, yang terbaru adalah diubah melalui UU No 10 Tahun 2016, namun tetap mempunyai spirit yang sama yaitu pemilihan Kepala Daerah dan wakilnya secara langsung oleh rakyat.
Jika kita cermati secara saksama, peran wakil kepala daerah dalam format pencalonan yang berlaku pada saat ini, yaitu sistem paket, bukan hanya terjadi pada saat mereka terpilih oleh rakyat, namun justru dimulai pada saat mereka diusung oleh partai politik sebagai calon wakil.
Dari segi politik pragmatis, seorang calon wakil kepala daerah setidaknya perlu memenuhi beberapa fungsi. Yang pertama adalah untuk menambah daya tarik elektoral, dimana calon wakil kepala daerah seringkali dipilih dengan pertimbangan bahwa mereka memiliki popularitas, jaringan sosial yang luas, ataupun basis dukungan yang kuat di segmen pemilih tertentu.
Kemudian, calon wakil juga lazimnya dipilih untuk menciptakan keseimbangan politik, baik dalam hal ideologi, pengalaman, ataukah hubungan dengan partai politik lainnya, dimana mereka seringkali memainkan peran kunci dalam menggalang dukungan dari partai politik atau koalisi partai. Mereka dapat membantu memperkuat hubungan dengan partai politik yang mungkin tidak sepenuhnya mendukung calon kepala daerah yang menjadi pasangannya, dan bisa menjadi vital dalam konteks politik yang terfragmentasi, dimana dukungan dari berbagai partai menjadi syarat mutlak untuk memenangkan pemilihan.
Selain itu, calon wakil juga dapat membantu meningkatkan kepercayaan publik terhadap pasangan mereka, terlebih jika mereka memiliki reputasi atau catatan prestasi yang baik, sehingga mengurangi kekhawatiran masyarakat terkait tata kelola pemerintahan jika mereka terpilih nantinya.
Yang perlu dipahami selanjutnya adalah, bahwa fungsi dan kedudukan mereka akan mengalami perubahan ketika mereka berhasil terpilih. Pembagian peran antara calon kepala daerah dan calon wakilnya ketika belum terpilih umumnya didasari pada negosiasi dan kompromi politik dalam konteks yang lazim disebut dengan ”kawin politik”.
Pada fase ini, pembagian peran dan kewenangan menjadi sangat cair dan dinamis, tergantung pada kesepakatan yang berhasil dicapai. Hubungan yang berbeda akan ditemui ketika mereka terpilih nantinya, dimana pembagian peran dan kewenangan sudah diatur secara eksplisit didalam undang-undang, dan bukan lagi sebuah hal yang bisa dinegosiasikan. Sehingga, dari pembagian tugas yang diatur dalam pasal 65 dan 66 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015, dapat dikatakan bahwa peran dan fungsi wakil kepala daerah sebenarnya tidak terlalu penting, kecuali apabila kepala daerah berhalangan atau tersangkut masalah hukum.
Dan spirit yang terkandung di dalam undang-udang tersebut memang memandang wakil kepala daerah dari segi peran formal, yaitu untuk membantu kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya, sehingga pembagian peran akan menjadi sepenuhnya privilige atau hak dari kepala daerah sesuai koridor yang telah ditetapkan pada peraturan tersebut. Dengan demikian, wajar apabila pada pelaksanaan pemerintahan seorang wakil kepala daerah menjadi tidak menonjol, sebab memang peraturan yang ada mengondisikan seorang kepala daerah untuk menjadi ”single hero”.
Selama ini penentuan calon wakil kepala daerah umumnya menjadi ranah internal antara partai-partai yang terlibat didalam sebuah koalisi. Terdapat proses negosiasi dan bargaining politik yang seringkali berjalan alot sebelum pasangan tersebut ditetapkan. Analisa sederhana yang mungkin bisa menjawab mengenai alasan dibalik maraknya sosialisasi diri sebagai calon wakil walikota adalah bahwa itu merupakan sebuah strategi untuk meningkatkan elektabilitas atau tingkat keterpilihan secara internal partai, meningkatkan popularitas atau daya keterkenalan, untuk melakukan image branding sebagai unsur pelengkap yang ideal bagi calon kepala daerah tertentu, atau hanya sebagai gimmick politik semata.
Namun, ini adalah sebuah hal yang sah-sah saja dilakukan. Bahkan ini bisa mendorong terjadinya proses pencerdasan politik. Yang menjadi tidak etis adalah apabila berkembang persepsi di masyarakat bahwa wakil kepala daerah memiliki berbagai kewenangan, padahal sebenarnya tidak. Mereka yang melakukan sosialisasi sebagai calon wakil ini memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan penjelasan sebenarnya kepada masyarakat terkait peran mereka nantinya apabila terpilih, sehingga tidak terjadi apa yang dinamakan “pembohongan publik”, dan masyarakat awam yang tidak paham bahasa-bahasa politik tidak mengalami kekecewaan yang berujung pada sikap apatis mereka terhadap proses politik ke depannya. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan