Oleh: Aditya Putra
(Mahasiswa S3 Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin)
MENJELANG Pemilu 2024, ada sebuah pertanyaan besar yang kembali mengemuka, yaitu seberapa besar peran perempuan dalam kontestasi politik di daerah, dalam hal ini kota Parepare. Secara khusus, keterwakilan perempuan di parlemen dan pemerintahan sebagai bentuk implementasi hak politik perempuan memiliki landasan kebijakan berupa Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN, yang merupakan pengembangan dari UU No 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025. Atas dasar arahan RPJMN 2015– 2019 tersebut,
Kementerian PPPA menetapkan Peraturan Menteri No 10 Tahun 2015 tentang Grand Design Peningkatan Keterwakilan Perempuan di DPR, DPD, dan DPRD. Landasan kebijakan terkait keterwakilan perempuan dalam politik lainnya adalah Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, Undang-Undang Pemilu No 8 Tahun 2012, dan Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengatur agar komposisi penyelenggara Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%.
Namun yang lebih substansial terkait keterwakilan perempuan bukanlah sekedar kuota 30%, melainkan sejauh apa kehadiran perempuan dalam politik tersebut dapat melahirkan perubahan-perubahan, baik dalam mengubah budaya patriarkal yang kental dalam partai politik, maupun dalam mendukung program pembangunan pemerintah. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran perempuan yang mampu mengambil peran penting dalam dunia politik merupakan fenomena yang masih menarik untuk ditelaah.
Salah seorang perempuan yang kemudian mampu untuk menjadi tokoh sentral dalam politik daerah di kota Parepare adalah Hj. Erna Rasyid Taufan yang merupakan ketua DPD II Partai Golkar Parepare. Erat (akronim Erna Rasyid Taufan) sendiri bukanlah nama baru di dunia politik. Istri dari walikota Parepare bapak Taufan Pawe ini pertama kali terjun ke dunia politik dengan menjadi calon anggota legislatif DPR RI dari Partai Golkar pada pileg 2018, dan berhasil memperoleh suara sebanyak 17ribu atau yang terbanyak untuk kota Parepare.
Selanjutnya, ia terpilih untuk menakhodai Partai Golkar Parepare secara aklamasi pada bulan Desember 2021, dan menjadi perempuan keempat yang menjadi ketua DPD II Golkar setelah Indah Putri Indriani di Luwu Utara, Suhartina Bohari di Maros, dan Andi Kartina Ottong di Soppeng. Keberhasilannya menjadi ketua DPD II Golkar menunjukkan bahwa beliau memiliki pengaruh politik yang cukup kuat sebagai salah satu calon kuat untuk kandidat walikota Parepare mendatang.
Hal yang menarik adalah bahwa sebelum terjun ke dunia politik, ibu Erna Rasyid Taufan lebih dikenal sebagai seorang ustadzah yang memiliki latar belakang akademis. Dengan gelar magister yang dimilikinya, berbagai organisasi menjadi tempatnya beraktivitas dan berdakwah, sebutlah Forum Kajian Cinta Al-qur’an, Ketua Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda), Bunda Paud, Ketua Forum Muslimah One-one, hingga sebagai Ketua Kwarcab Pramuka Parepare.
Ia juga telah menerbitkan beberapa buku, seperti Rahasia Alquran dan Usia 40 Tahun dan 99 Doa-doa Anak Sholeh, yang juga menjadi media beliau untuk berdakwah. Dalam wawancaranya setelah terpilih menjadi ketua DPD II Golkar Parepare, beliau menyatakan keinginannya untuk merubah citra politik ke arah yang positif, menjadikan nilai-nilai agama sebagai panduan dalam menjalankan roda organisasi politik.
Berulangkali beliau menegaskan penolakannya terhadap upaya-upaya pengumpulan suara dengan menggunakan cara terlarang seperti politik uang (money politics), baik pada rapat partai maupun secara umum. Hal ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi beliau, mengingat politik selama ini memiliki stigma negatif yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan.
Keinginan untuk mengubah paradigma “lama” tentang politik ini tentu membutuhkan upaya-upaya inovatif yang mampu meyakinkan masyarakat bahwa politik dapat menjadi jalan dakwah, seperti yang telah beliau tekankan semenjak awal terjun ke dunia politik. Khalayak perlu diberikan pengertian bahwa hakekat politik, apabila dipahami sebagai sebuah gejala yang mewujudkan diri manusia dalam proses perkembangannya, merupakan cerminan perilaku manusia.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Anton H. Djawamaku (1985), bahwa pribadi seseorang manusia adalah unit dasar empiris analisa politik, sehingga baik buruknya politik akan menjadi cerminan dari pelaku politik itu sendiri, yaitu manusia.
Tantangan berikutnya yang dapat dihadapi adalah budaya patriarkal. Menurut Dewi Chandraningrum (2013), secara umum istilah patriarki digunakan untuk menyebutkan “kekuasaan laki-laki”, khususnya hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang di dalamnya berlangsung dominasi laki-laki atas perempuan yang direalisasi melalui bermacam-macam media dan cara.
Adapun Lerner (1986) menyatakan patriarki sebagai manifestasi dan institusionalisasi dominasi laki-laki atas perempuan di masyarakat. Pola pikir patriarki condong menempatkan perempuan berada dibawah kekuasaan laki-laki, dan sering digambarkan serta ditempatkan sebagai pihak yang tidak memiliki otoritas dan kemandirian, termasuk pada bidang politik. Praktik politik patriarkis ini dapat tumbuh subur dan ditanggapi secara permisif dikarenakan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, patriarkisme sudah menjadi tradisi dan budaya yang diwariskan turun-temurun, sehingga dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan alami.
Bahkan, perempuan yang nyaris selalu menjadi pihak pesakitan alias korban atas budaya patriarki tersebut pun lebih sering hanya menerimanya sebagai kodrat. Budaya patriarki kian mendapat pembenarannya ketika penafsiran ajaran agama pun dalam banyak hal lebih berpihak pada kepentingan laki-laki. Jalinan antara tradisi-budaya dan penafsiran agama inilah yang menyebabkan patriarkisme dapat awet dan terjadi pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Indonesia, terutama pada ranah politik. Budaya patriarki ini harus dihilangkan, karena pada dasarnya semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan dan jabatan dalam kontestasi politik, terlepas dari gender yang dimiliki orang tersebut.
Keterlibatan perempuan dalam bidang politik harus diperjuangkan agar nantinya mampu mengimplementasikan kemampuan yang dimiliki dalam bidang politik, sehingga akan terbentuk kesetaraan gender dalam proses demokrasi. Akan menarik untuk melihat bagaimana nantinya upaya ibu Erna Rasyid Taufan untuk menghilangkan budaya patriarki ini dengan menggunakan latar belakang pengetahuan agama dan akademis yang beliau miliki.
Di sisi lain, partai politik turut memiliki peran yang sentral dalam mendorong keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Partai incumbent dan partai besar dapat menjadi “instrumen politik” yang efektif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, melalui mekanisme upaya dan tindak afirmasi. Tindak afirmasi yang merupakan aksi sementara untuk meningkatkan keterwakilan perempuan parlemen terbukti berhasil diterapkan oleh partai politik di banyak negara. Dari 24 negara di dunia yang telah memenuhi keterwakilan perempuan dalam parlemen di atas angka 30%, mulai dari Rwanda dengan 56,3% keterwakilan perempuan, kemudian Andorra (53,6%), Swedia (45%), Afrika Selatan (44,5%) dan Kuba (43,2%), cara yang paling signifikan untuk meningkatkan anggota legislatif perempuan adalah aksi afirmasi yang diterapkan oleh partai politik, bukan kebijakan negara. Beberapa partai politik seperti misalnya ANC di Afrika Selatan (30%), Partai Buruh di Australia, serta PJ dan UCR di Argentina, juga telah menerapkan kebijakan reserved seat, yakni dimana partai politik memiliki kebijakan kuota perempuan secara informal.
Hal ini untuk mengantisipasi lemahnya mekanisme sanksi terhadap partai politik apabila tidak mengikuti ataupun melanggar aturan undang-undang atau kebijakan negara tersebut. Disini partai Golkar Parepare dapat diberikan apresiasi, mengingat partai ini pada pemilu 2018 yang lalu berhasil menempatkan 5 kadernya pada legislatif dengan rasio keterwakilan melebihi 30%, yaitu 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan, dimana salah satunya yaitu Hj. Andi Suhartina Tipu mampu dipilih menjadi ketua DPRD Parepare.
Pada akhirnya, keterwakilan perempuan selain ditentukan oleh kapabilitas dan kompetensi tokoh, juga perlu ditunjang oleh partai politik yang peduli pada perempuan, dan pemilu tahun 2024 akan kembali menjadi ajang kontestasi untuk membuktikan hal tersebut, setidaknya pada lingkup kota Parepare.
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.