OPINI-Guru adalah salah satu profesi yang paling mulia. Begitu pula menjadi gurunya para calon guru. Mereka yaitu dosen yang mengajar di kampus yang mendidik para pendidik itu. Kemudian dari gurunya guru tersebut bisa menjadi guru besar alias Profesor. Itulah selipatan karier Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar Menengah (Mendikdasmen) RI yang menginspirasi.
Langkah awal setelah mengemban amanah itu, Abdul Mu’ti mengajar di salah satu sekolah di Palembang, Sumatera Selatan sekaligus meluncurkan Bulan Guru Nasional. Tokoh Muhammadiyah yang masih mengemban amanat sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu adalah praktisi langsung pendidikan yang memiliki pengalaman yang sangat luas.
Di Suara Muhammadiyah, Sam Elqudsy menuliskan kisah perjalanan Abdul Mu’ti yang terlahir dari keluarga petani, masa kecilnya tak pernah lepas dari aktivitas membantu orang tua dan kakeknya. Setelah menyelesaikan pendidikan menengah di MAN Purwodadi yang saat itu masih filial di Kudus (kini menjadi MAN 1 Kudus) pada tahun 1986, Mu’ti memberanikan diri meminta izin kepada orang tuanya untuk melanjutkan kuliah.
Ayahnya, Djamjadi, hanya lulusan MTs, sementara ibunya, Kartinah, menyelesaikan pendidikan di SR (Sekolah Rakyat, setara SD). Meski memiliki latar belakang pendidikan yang terbatas, keduanya memegang prinsip kuat: kami boleh saja tidak berpendidikan tinggi, tetapi anak-anak kami harus memiliki pendidikan yang baik. Prinsip inilah yang membuat mereka langsung mendukung keputusan putra sulung mereka untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Mu’ti pun diterima di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang dan berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 1991. Namun, kondisi ekonomi keluarga yang terbatas membuat perjalanan pendidikannya penuh tantangan. Untuk menghemat biaya hidup di Semarang, setiap kali pulang ke kampung, Mu’ti membawa bekal makanan pokok. Beras dan telur menjadi dua bahan yang selalu dibawa. Dalam keterbatasan ekonomi keluarga, bude dan paklek–nya turut membantu dengan memberikan uang saku sebisa mereka.
Ada cerita tersendiri soal bekal telur ini. Budenya, Hj. Shofiyah, adalah peternak ayam petelur, sementara ibunya berjualan sembako di pasar, salah satunya telur hasil produksi Hj. Shofiyah. Tak heran jika setiap kali kembali ke Semarang, Mu’ti selalu dibekali telur selain beras. Namun, perjalanan jauh atau kondisi telur yang kurang baik karena retak membuat beberapa telur pecah setibanya di tempat kos.
Meski demikian, telur-telur tersebut tetap bisa dikonsumsi karena masih terbungkus rapi dalam plastik. Cerita soal telur pecah ini kerap menjadi bahan candaan teman-temannya di kos. Namun, Mu’ti tidak mempermasalahkan hal itu dan hanya menganggapnya sebagai gurauan. Setibanya di kos, ia segera memasak beras dan telur pecah tersebut. Masakan itu kemudian dinikmati bersama teman-teman kosnya untuk makan malam.
Radius pergaulannya yang luas dan kiprahnya yang aktif di organisasi membuat Abdul Mu’ti bisa terus melanjutkan pendidikan hingga jenjang tertinggi. Bahkan dapat menyelesaikan jenjang masternya di luar negeri dan sering mengikuti kegiatan internasional di berbagai negara. Meskipun begitu Mu’ti tetap merendah, dalam orasi pengukuhan Guru Besar bidang Ilmu Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Abdul Mu’ti bahkan menyebut menjadi guru besar adalah awal dirinya belajar. Dengan menjadi guru dan dosen bahkan sekarang Menteri menjadikannya gurunya guru.
Sebagai seorang Menteri baru sekaligus cendekiawan dengan pengalaman panjang di dunia pendidikan, Abdul Mu’ti tampak luwes saat mengajar di kelas. Pada Jumat (1/11/2024), ia berbagi pelajaran sederhana namun bermakna kepada siswa SD Negeri 59 Palembang, menanamkan nilai-nilai penting tentang cita-cita dan penghargaan terhadap profesi.
Abdul Mu’ti memulai dengan pertanyaan sederhana tentang asal ikan sebagai salah satu sumber pangan manusia. “Ikan datangnya dari mana?” tanyanya kepada siswa-siswa, kutip laman klikpendidikan dari siaran Youtube Kemendikdasmen. Pertanyaan ini diikuti dengan diskusi tentang siapa yang menangkap ikan di laut, yang langsung disambut dengan jawaban penuh semangat dari para siswa, “Nelayan!”
Namun, ketika ia bertanya siapa yang bercita-cita menjadi nelayan, suasana kelas berubah. Anak-anak tampak ragu-ragu menjawab. Abdul Mu’ti kemudian menjelaskan pentingnya profesi nelayan, tidak hanya sebagai penyedia makanan bagi masyarakat tetapi juga karena profesi ini membutuhkan keberanian, ketangguhan, dan keahlian khusus.
Ia menegaskan bahwa pekerjaan nelayan sama mulianya dengan profesi lain, karena mereka juga berkontribusi besar dalam menjaga ketahanan pangan bangsa. Pesan yang disampaikan sangat mendalam: setiap profesi memiliki peran penting dan memberikan kontribusi besar bagi kesejahteraan masyarakat. Seperti apresiasi laman Melintas, Pak Menteri mengajak para siswa untuk memahami bahwa setiap pekerjaan, mulai dari nelayan, guru, hingga dokter, memiliki nilai yang saling melengkapi, membentuk harmoni dalam kehidupan bersama.
Melalui Bulan Guru Nasional di bulan November mengingatkan kita agar guru bukan sekadar menyampaikan materi pelajaran di kelas, melainkan juga menjadi inspirator, pembimbing karakter, penanam nilai-nilai kebhinekaan, dan pengajar semangat pantang menyerah kepada generasi muda.
Mereka hadir sebagai pendamping dalam perjalanan anak-anak Indonesia menuju pembentukan pribadi yang kuat dan siap menghadapi tantangan zaman. Sebagai pengganti peran orang tua di sekolah, guru bertugas mengarahkan siswa agar dapat mencapai tujuan pendidikan dan berkembang menjadi manusia yang utuh melalui teladan yang patut ditiru. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.