OPINI-Setidaknya mengingat perkembangan transisi demokrasi Indonesia setelah lebih dari 20 tahun reformasi politik, banyak gagasan Beetham yang sangat relevan dengan situasi sosial politik disana ini.
Jika kita menerapkan ide audit demokrasi Beetham, ada beberapa komponen utama yang bisa kita gunakan untuk mengukur kemajuan Indonesia menuju demokrasi. Buku oleh Beetham et al. (2008) “Assessing the Quality of Democracy” empat kerangka kewarganegaraan, hukum dan hak, pemerintahan perwakilan dan akuntabel, masyarakat sipil dan partisipasi rakyat, dan demokrasi di luar negara dapat dievaluasi dalam kaitannya dengan demokrasi suatu negara.
Menurut Beetham, membangun demokrasi suatu bangsa harus berpusat pada sejumlah indikator, yaitu representasi dan tata kelola yang akuntabel. Saya berusaha untuk memusatkan perhatian saya hanya pada peran demokrasi partai politik.
Sangat menarik untuk mempertimbangkan dinamika politik negara ini, terutama bagi para akademisi dan peneliti. Kenapa tidak?. Berbagai “Koalisi informal” telah dibicarakan selama beberapa bulan terakhir, mulai dari pembahasan dipertemuan-pertemuan Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Nasdem hingga “Koalisi” Indonesia bersatu ala Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Amanat Nasional (PAN) hingga gerakan politik antara Ketum Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Lantas pertanyaannya, apakah wacana “Koalisi informal” ini dijamin 100% akan terjadi?. Di kelas, saya sering meremehkan fakta bahwa kepastian politik diimbangi dengan ketidakpastian. Politik akan dilihat lebih dari segi hasil daripada tindakan dan prosedur awal. Maka tidak heran jika banyak dari partai-partai tersebut kemudian melakukan komunikasi politik gagal di tengah jalan, karena berbagai alasan dan logika. Negosiasi yang tidak “Sesuai” antara satu partai dan partai lainnya, atau menurut kami Presiden dan Calon Presiden (Cawapres) tidak mungkin sekarang, akan mungkin pada waktunya. Itu tidak memiliki logika politik berdasarkan ideologi.
Mengapa ini bisa terjadi dalam konteks politik domestik?. Jawabannya adalah ideologi partai dan pragmatisme elit begitu cair menyebabkan hal ini terjadi dan berulang lagi. Dari sudut pandang akademisi, tentu saja kita semua telah membaca banyak penelitian tentang paternalisme. Pragmatisme elit dan kurangnya ideologi partai di Indonesia. Banyak penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan hal tersebut, yang terbaru, misalnya Hendrawan et al. (2021) atau Hicken et al. (2022).
Patronase adalah Rumah besar demokrasi kita. Beberapa kondisi yang disebutkan di atas disebabkan oleh ini. Misalnya, publikasi terkenal Inggris The Economist (2020) mengkategorikan demokrasi Indonesia sebagai cacat atau lemah atau tidak sempurna. Pragmatisme elit partai dalam membentuk koalisi, kolaborasi politik, atau apa pun namanya, serta justifikasi taktis dan pragmatis untuk koalisi, atau kerja sama politik, adalah dua indikator yang jelas.
Sebagai peneliti, saya mencoba memberikan beberapa saran kepada partai politik, khususnya terkait dengan koalisi atau pola kerjasama politik yang dibuat oleh elit partai politik saat ini. Menurut saya, ada beberapa pola kerjasama koalisi atau politik..
Pertama, koalisi atau kerja sama politik yang ideal tentu saja adalah koalisi berdasarkan ideologi dan platform yang sama serta bias partai. Misalnya PAN, PKB dan PKS berkoalisi dengan Gerindra dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang sama-sama nasionalis. Model koalisi ini mengacu pada berbagai contoh dari negara-negara demokrasi. Pejabat sangat efektif dalam pemerintahan karena mereka berakar ideologi yang sama dan masing-masing pihak tinggal beradaptasi, bernegosiasi pada tataran teknis program kerja pemerintah yang diawasinya.
Kedua, koalisi atau kerja sama politik berdasarkan penegasan kepentingan koalisi berdasarkan masalah atau pemecahan masalah. Artinya, partai politik manapun berlandaskan ideologi dan visi yang sama, mereka sepakat untuk pembentukan koalisi atau kerja sama politik berdasarkan masalah negara yang mereka hadapi dalam empat atau lima musim tahun depan. Misalnya negara dengan krisis ekonomi, koalisi atau kerjasama partai politik yang timbul dari kebijakan umum partai politik berdasarkan perjanjian mulai memecahkan masalah krisis ekonomi negara.
Ketiga, mungkin koalisi berdasarkan “Agenda bersama” atau agenda bersama membentuk koalisi atau kerja sama politik dengan ideologi dan visi yang berbeda, terutama ketika ambang batas kekuasaan parlementer tidak mencapai 50 persen +1. Perlu diperhatikan bahwa ketiga model koalisi atau kerjasama politik harus didasarkan pada kepentingan umum dan menjaga kepercayaan publik. “Agenda bersama” ini harus bersifat publik kepada publik dan publik memiliki kemampuan untuk mengontrol “Agenda bersama”. Jika itu tidak terjadi, publik akan terus memikirkan koalisi itu hanya untuk kekuatan elit.
Koalisi atau kerjasama politik tidak berdasarkan ideologi dan visi partai sangat rentan terhadap pendidikan karena alasan praktis dan publik kesadaran ini merupakan kata kunci yang dapat dikelola oleh masyarakat. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.