OPINI-Advokasi hukum terhadap permasalahan pengungsi dan penangangan pencari suaka di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat urgen untuk diperhatikan oleh masyarakat dan khususnya oleh pemerintah. Pengungsi merupakan salah satu kelompok yang berada dalam situasi yang sangat rentang dan membutuhkan perlindungan dan perhatian dari masyarakat dan pemerintah. Saat ini penanganan pengungsi di Indonesia menggunakan instrumen Peraturan Presiden Republik Indoneisa Nomor 125 Tahun 2016 tentang penanganan pengungsi dari luar negeri. Berlakunya instrumen hukum tersebut guna mengisi kekosongan hukum nasional yang sampai saat ini belum juga diatur. Permasalahn utama adalah Indonesia belum menjadi bagian dari negara yang meratifikasi konvensi 1951 dan protokol tentang pengungsi. Maka secara hukum Indonesia tidak mempunyai tuntutan atau kewajiban terhadap tindakan internasional dalam mengahadapi pengungsi atau pencari suaka yang masuk di Indonesia.
Data terakhir di keluarkan Bakamla RI, selama dua tahun terakhir ada 1.588 pengungsi dan pencari suaka yang terdampak di Indonesia. Data Komisariat Tinggi PBB untuk pengungsi (UNHCR) menunjukkan jumlah pengungsi di Indonesia mencapai 155.400 orang dan pencari suaka 3.213 orang. Jadi, bisa dikatakan total pengungsi dan pencari suaka di Indonesia mencapai 13.700 orang. Dengan presentase jumlah yang terus mengalami peningkatkan membuat kompleksitas dalam penanganannya semakin rumit. Pengabaian hak minumun pengungsi dan orang-orang yang terlantar dalam negeri bahkan acap kali mereka mengalami viktimisasi akibat dari pengabaian negara. Beberapa dari mereka dikembalikan secara paksa di negaranya masing-masing yang mana hak-hak meraka dipertaruhkan. Pencari suaka dan pengungsi juga menjadi korban dari agresi rasis padahal pengungsi semestinya dihormati dan dipenuhi hak-haknya oleh negara. Oleh karena itu menggaungkan isu terkait perlindungan dan pemenuhan hak-hak pengungsi dan pencari suaka mesti dilakukan agar menjadi perhatian serius oleh pemerintah dalam mengambil kebijakan yang lebih progresif kedepannya. Penulisan artikel ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan hukum internasional kepada masyarakat umum yang masih sangat minim terkait isu hukum hak asasi manusia internasional.
Penanganan Berdasarkan Perpres Pengungsi Luar Negeri
Dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia setelah berlakunya perpres tersebut dilakukan berdasarkan kerja sama internasioanl antara pemerintah pusat dengan PBB melalui unit komisariat tinggi pada bidang pengungsi di wilayah nasioanal serta dengan kerjasama antara organisasi internasioanl, yang merupakan organisasi di bidang urusan imigrasi atau di bidang kemanusiaan yang memiliki perjanjian dengan pemerintah pusat. Juga melakukan kordinasi oleh Menteri baik yang membidangi urusan hukum, politik, dan keamanan. Termasuk dalam hal ini adalah kewanangan lembaga keimigrasian bagian pengawasan dalam hal ini oleh petugas Rudenim atau Rumah Detensi Imigrasi. Pengawasan tersebut meliputi; pada saat penemuan, penampungan baik di dalam maupun di luar penampungan, diberangkatkan ke negara tujuan, pemulangan sukarela, dan pendeportasian.
Adanya perpres tersebut belum menyesuaikan dengan UU keimgirasian No.6 Tahun 2011 dan kelembagaannya belum mengalami penyesuain struktur organisasi. Dampak dari perpres tersebut yang mana perubahan fungsi Rumah Detensi Imigrasi menyebabkan lonjakan pengungsi yang mendatangi Rumah Detensi Imigrasi hal tersebut bertolak pada SDM Rumah Detensi Imgirasi dari segi kepegawaian, sarana, dan prasarana. Secara subtansi perpres ini mengatur terkait apa dan tanggung jawab oleh berbagai instansi. Akan tetapi belum mengatur terkait bagaimana penanganan pengungsi yang telah menetap tinggal di Indonesia.
Tahapan dalam penanganan pengungsi saat ini adalah proses pertama yakni penemuan pencari suaka yang telah transit di Indonesia, berdasarkan prosedur di tempatkan di Rumah Detensi Imigrasi sampai pada proses penentuan dari UNHCR hingga pengungsi dikembalikan ke negara pihak ketiga (resettlement). Sampai saat ini salah satu yang menjadi masalah utama UNHCR adalah penentuan status pengungsi yang memerlukan waktu yang cukup lama bahkan sampai menunggu hingga 2 tahun membuat status mereka tidak jelas dan terkatung-katung. Hingga saat ini yang terjadi resistensi di lapangan karena semenjak Rumah Detensi Imigrasi difungsikan sebagai penampung pencari suaka dan pengungsi. Beberapa permasalahan lain yang dihadapai Rumah Detensi Imigrasi adalah pemulangan sukarela yakni deportasi kepada deteni yang tidak memiliki dokumen perjalanan
Selanjutnya penanganan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia masih berdasarkan perpres nomor 125 tahun 2016 yang banyak mengalami hambatan dalam penangangannya. Seperti kemampuan pemerintah daerah dalam memberikan tempat tinggal bagi pengungsi. Berdasarkan perpres tersebut beberapa ketentuan terkait tempat penampungan yakni; dekat dengan fasilitas ibadah dan kesehatan, keamanan, berada pada satu wilayah kabupaten atau kota dengan Rudemin. Fasilitas kebutuhan dasar yang belum terpenuhi misalkan air bersih, makan dan minum, pakaian, serta ketersediaan pelayanan dan kesehatan dan kebersihan yang memadai. Hal ini belum terpenuhi yang merupakan hak-hak pengungsi dan pencari suaka. Faktor lain dari hal tersebut adalah tekait anggaran secara rinci yang belum di atur dalam perpres tersebut.
Permasalah eksternal pun juga dihadapi dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia dimana banyak negara yang menolak untuk menerima pengungsi. Jika dilihat dalam kondisi saat ini hal tersebut merupakan keweangan dan tugas UNHCR yang dapat memberikan solusi bagi pengungsi apakah pemulangan secara sukarela (assisted voluntery return) atau penempatan negara ketiga (resettlemen). Problematika yang muncul selanjutnya adalah arus pengungsi yang tidak bisa diprediksi sangat berbanding rendah dengan pengunsi yang telah ditempatkan pada negara yang bersedia menampung atau resettlemen yang sangat rendah. Beberapa permasalahan diatas membutuh instrumen hukum yang mengatur lebih jelas dan rinci.
Bagaimana problematika yang terjadi saat ini..
Indonesia dari dulu menjadi target atau incaran tujuan transit oleh berbagai pengungsi dan pencari suaka bahkan dari eksodus pengungsi Indocina dengan perahu 40 tahun lalu, dengan arus migrasi yang mapan antara negara penghasil pengungsi di Asia dan Timur Tengah. Lokasi dan geografi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah sekitar 17.000 pulau dengan garis pantai hampir sepanjang 55.000 kilometer membuat perbatasannya yang keropos bahkan hampir tidak dikendalikan. Beberapa permasalah dalam yang tengah dihadapi oleh Indonesai dalam penanggulangan pengungsi dan pencari suaka yakni;
- Indonesia yang masih enggan untuk meratifikasi konvensi 1951 tentang status pengungsi. Juga belum ada hukum nasional yang secara komprehensif mengatur hal tersebut. Sampai saat ini pemerintah hanya berdasarkan Perpres Pengungsi Luar Negeri Nomor 125 tahun 2016 dengan bantuan oleh organisasi internasional dan unit pelaksana pengungsi PBB. Seperti dengan kerjasama UNHCR yakni dengan Internatioan Organization for Migration (IOM) dalam hal menemukan pengungsi untuk mengetahui keadaan mereka serta memberikan edukasi dan arahan bagi para pengungsi apakah dipulangkan atau ditetapkan sebagai pengungsi dengan kordinasi oleh UNHCR maka jika ingin ditetapkan sebagai pengungsi, selebihnya diserahkan kepada pihak UNHCR.
- Regulasi pengaturan yang masih tumpang tindih yakni kesesuian dan koherensi Perpres Pengungsi Luar Negeri saat ini dengan UU Keimigrasian. Dalam tahap perumusan perpres tersebut sangat jelas mengesampingkan norma hukum yakni UU yang lebih tinggi mengesampingkan UU yang kedudukanya yang lebih rendah. Seharusnya perpres ini tidak bertentangan dan harus harmoni dengan Undang-Undang (UU) Keimigrasian yang kedudukannya lebih tinggi. Maka beradasarkan asas hukum perpres ini tidak sesuai dengan norma hukum.
- Permasalahan dari pihak UNHCR saat ini mengalami kekurangan staf dan anggaran yang tidak cukup untuk menangani pengungsi yang memadai di Indonesia. Baru baru ini permasalahan aggaran menjadi problematik dikarenakan kebijakan Australia yang tidak lagi memberikan bantuan pendanaan kepada pihak IOM. Dalam Perpres Pengungsi Luar Negeri juga belum diatur secara spesifik terkait pendaan bagi pengungsi dan pencari suaka.
- Permasalahan selanjutnya dari internal UNHCR yang mana masih kebanyakan anak muda yang kurang spesialisasi dalam ilmu pengetahuan terkait penanganan pengungsi dan pencari suaka. Dampak dari petugas yang kurang berpengalaman yakni dalam menghadapi kasus pengungsi dan pencari suaka yang dihadapkan pada kompleksitas permasalahannya. Seperti tidak memahami individu pengungsi dengan baik bahkan tidak melihatnya sebagai korban. Sehingga dalam memberikan arahan dan nasehat tidak sesuai atau tidak tepat yang menimbulkan permasalahan mental bagi pengungsi dan pencari suaka. Bahkan di beberapa kasus ditemukan insiden bunuh diri. Tentu hal tersebut menjadi teguran yang sangat moral dalam bagaimana pemerintah benar-benar menyikapi persoalan tersebut.
- Masalah penanganan status pengungsi juga belum teratasi sehingga kondisi mereka banyak yang tidak layak, bahkan terdampar dibeberapa daerah tertentu di Indonesia yang tentunya memberikan masalah sosial baru bagi masyarakat sekitar. Penanganan status mereka dalam hal ini penempatan mereka, apakah meraka dikembalikan ke negara asalnya (repatriasi), (resettlement) yakni mendapatkan tempat oleh pihak negara ketiga, (reintegration) penetapan hidup di Indonesia. Ketiga hal tersebut masih belum teratasi mengingat situasi yang tidak statis dan kondisi negara Indonesia yang masih tergolong sebagai negara yang berkembang. Sehingga semakin memperlemah penegakan dan perlindungan hak-hak pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.
Rekomendasi
Berdasarkan hal-hal diatas dalam menjamin hak-hak mereka diperlukan kebijakan melalui perubahan undang-undang sehingga pengaturan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia lebih komprehensi. Dengan menata regulasi kedepannya dapat mencegah problem sosial yang lain akibat permasalahan pengungsi dan pencari suaka tidak tertangani. Dengan peningkatan pengungsi dan pencari suaka yang tidak dapat diprediksi tiap tahun beberapa langkah kebijakan hukum yakni dalam hal reformulasi perpres nomor 125 tahun 2016 yakni; Beberapa catatatan diantaranya yakni regulasi terkait anggaran yang digunakan secara lebih rinci, pengaturan yang lebih jelas terkait bagaiamana pembagaian serta tanggung jawab yang harus dilakukan oleh organisasi internasional, bagaimana peran serta tanggung jawab oleh masing-masing pihak yang terkait serta beberapa ketentuan lainnya agar dapat terpenuhinya hak-hak pengungsi dengan layak.
Selain itu dengan melihat problematika pengungsi dan pencari suaka saat ini sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan urgensitas untuk meratifikasi perjanjian konvensi 1951 berserta protokol pengungsi 196. Setidaknya dengan Indonesia segera meratifikasi konvensi 1951 dan prtokol 1967 berdampak pada penentuan status pengungsi dan pencari suaka yang mana Indonesia bisa terlibat secara penuh dalam penangan masalah tersebut. Efektifitas dalam penanganan yang lebih komprehensif dengan melibatkan bantuan negara lain dalam bentuk kerjasana internasional antar negara yang juga meratifikasi konvensi pengungsi sehingga mengurangi beban dalam penanganan kasus pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.