OPINI — Sejak kemunculnya di Wuhan pada Bulan Desember 2019, Pandemi Covid 19 sudah berlangsung selama lima bulan, dan sampai saat ini belum ada titik terang kapan pandemi ini akan berakhir. Meskipun para ahli-ahli terbaik di dunia telah berusaha, namun vaksin untuk mencegah penularan tidak kunjung ditemukan. Pemerintah dari berbagai negara telah mengarahkan seluruh sumber daya yang diperlukan untuk menjaga agar sistem sosial dan ekonomi tidak jatuh.
Akan tetapi, jika kondisi ini terus berlanjut tinggal menunggu waktu seluruh sistem ekonomi akan runtuh. Apalagi di era globalisasi saat ini, tidak ada negara yang betul-betul mandiri secara ekonomi, setiap negara bergantung pada negara lain, sehingga krisis ekonomi di suatu negara dapat menjalar ke negara lainnya.
Kondisi ini membuat pemerintah tidak punya pilihan lain selain “berdamai” dengan Covid-19.
Pemerintah Indonesia telah menyusun strategi pemulihan ekonomi agar masyarakat dapat kembali bekerja dan/atau membuka kembali usahanya. Presiden Jokowi menyebutnya “Tatanan Hidup Baru”, dalam istilah yang lebih populer “New Normal”.
Dari ederan yang dimuat di berbagai media, ada 5 fase pemulihan ekonomi yang akan dimulai pada tanggal 1 Juni 2020 mendatang. Namun, penulis melihat edaran ini bersifat normatif, sekedar membolehkan toko/pasar kembali buka dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Apa yang perlu ditekankan adalah, meskipun toko/pasar kembali buka, namun para pelaku usaha tersebut akan menghadapi suatu tantangan baru akibat adanya perubahan perilaku (Change behaviour) konsumsi masyarakat selama masa Social Distancing kurang lebih tiga bulan lamanya.
Sebelum Covid-19 merebak, masyarakat sudah akrab dengan online shopping. Namun online shopping pra covid secara umum untuk produk yang sifatnya Secondary need dan juga mayoritas dilakukan oleh generasi millennials. Akan tetapi di masa pemberlakuan Social Distancing sejak Maret 2020, terjadi kenaikan trend belanja online dikalangan masyarakat lintas generasi. Selain itu, juga terjadi kenaikan trend pada produk kebutuhan pokok (Primary Need) masyarakat. Berdasarkan hasil riset dari MCKinsey & Company, 34 persen orang Indonesia mengakui adanya peningkatan belanja makanan secara daring dan 30 persen orang Indonesia juga mengakui adanya peningkatan belanja kebutuhan pokok lainnya secara daring. Tidak hanya itu, para peniliti MCKinsey & Company juga memprediksi kenaikan belanja daring ini akan sampai pada angka 72 persen, meskipun Covid-19 telah berlalu.
Fenomana di atas jelas merupakan tantangan bagi para pelaku usaha, khususnya pelaku UMKM. Dalam literatur ekonomi, suatu tantangan dapat menjadi peluang atau ancaman. Menjadi peluang jika para pelaku usaha dapat beradaptasi dengan tantangan itu, namun menjadi ancaman jika pelaku usaha tidak dapat berdaptasi dengannya. Karena itu, perlu sinergi dari berbagai pihak untuk bagaimana memperkuat pelaku usaha khususnya UMKM agar dapat mengkonversi tantangan ini menjadi suatu peluang.
Dalam artikel sebelumnya yang juga dimuat di media PIJARNEWS.COM ini, penulis memaparkan data bagaimana peran sentral sektor UMKM dalam perekonomian Indonesia. Lebih dari 50 persen PDB di Indonesia bersumber dari UMKM dan lebih dari 90 Persen Tenaga kerja Indonesia diserap oleh sektor UMKM. Itulah sebabnya sektor UMKM disebut sebagai Tulang Punggung Perekonomian Indonesia. Dengan perannya yang sangat strategis itu, pemerintah diharapkan lebih serius dalam memperkuat UMKM di era New Normal ini.
Ada tiga hal yang harus diperhatikan dan diperbaiki dalam upaya memperkuat UMKM, yaitu;
Manajemen Keuangan.
Pada umumnya, pelaku UMKM belum terbiasa mengelola keuangan dengan baik. Padahal disiplin mengelola keuangan merupakan kunci agar usaha dapat berkembang. Karenanya pendampingan terkait manajemen keuangan perlu dilakukan secara berkala. Pemerintah bisa bekerjasama dengan Institusi Perguruan Tinggi agar UMKM dapat mengelola keuangannya dengan baik. Selain itu, pemerintah dapat memberikan prasyarat bantuan modal, hanya kepada UMKM yang memiliki laporan keuangan.
Banyak yang mengira penyusunan laporan keuangan adalah sesuatu hal yang rumit dan mesti mempelajari ilmu Akuntansi. Padahal laporan keuangan sangat fleksibel, dapat dibuat sesuai kemampuan setiap orang. Inti dari laporan keuangan adalah catatan Asset, Biaya dan Pendapatan harus jelas. Memang utuk mengakses modal dari bank dibutuhkan laporan keuangan yang sesuai standar Akuntansi sebagai persyaratan, tapi untuk memulai disipilin dalam mengelola keuangan cukup menerapkan pembukuan standar yang bisa dikerjakan.
Pada dasarnya, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) selaku lembaga yang berwenang membuat kebijakan Akuntansi di Indonesia telah menerbitkan Standar Akuntansi Keuangan Entitas Mikro Kecil Menengah (SAK EMKM) sebagai pedoman laporan keuangan UMKM. Laporan ini terdiri dari tiga jenis, yaitu Laporan Posisi Keuangan, laporan Laba/Rugi dan Catatan atas laporan keuangan. IAI menyusun pedoman ini dengan menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan UMKM. Ketiga jenis laporan ini dapat dipelajari oleh siapapun meskipun tidak pernah belajar ilmu Akuntansi sebelumnya. Pada intinya, jika pelaku UMKM dapat menerapkan Managemen Keuangan dengan baik, maka usahanya tidak hanya dapat bertahan tapi juga dapat berkembang. (Bersambung)
*Penulis adalah Dosen IAIN Parepare dan Pemerhati Sosial Ekonomi