Indonesia adalah negara yang dianugerahi keberagaman suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Merawat keberagaman dalam bentuk kerukunan adalah tugas bagi seluruh warga Negara. Keberagaman ibarat dua mata pisau yang bisa menjadi berkah, juga bisa menjadi musibah. Semua jenis keberagaman yang berunsur SARA sangat berpotensi memicu konflik antar kelompok. Oleh karena itu, kita semua perlu melakukan tindakan preventif dari hal-hal yang akan menimbulkan ketersinggungan yang diakibatkan oleh perbedaan SARA.
Ketersinggungan seperti itu ibarat bahan bakar yang sedikit saja terkena percikan api, maka akan menimbulkan kobaran api yang membara dan bisa melahap apa saja di sekitarnya. Hal ini bisa disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah penyalahgunaan media sosial. Menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (KEMKOMINFO), saat ini ada 63 juta pengguna internet di Indonesia, dan 95 persennya adalah pengguna media sosial. Ada banyak macam aplikasi media sosial yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dan menyebarkan informasi. Jika media-media tersebut tidak digunakan secara bijak, maka penyebaran berita yang sifatnya mengadu domba dan hoax itu bisa segera sampai ke khalayak tanpa perlu menunggu waktu yang lama. Hal tersebut bisa berakibat fatal hingga menimbulkan ketersinggungan dan kemarahan massal bagi salah satu kelompok.
Ketersinggungan antarkelompok ini tidak memandang usia. Orang dewasa, remaja dan bahkan anak-anak pun ikut tersinggung dan membenci kelompok yang berbeda dengannya. Dari tiga generasi tersebut, anak-anaklah yang akan menanggung resiko paling besar akibat kelakuan orang dewasa. Jangan sampai hanya karena kepentingan pribadi dan kelompok kecil dari orang dewasa, lalu mereka saling menyindir dan menjatuhkan dengan menggunakan isu SARA, anak-anakpun kemudian menjadi korban. Perdebatan isu SARA di kalangan orang dewasa sangat mudah menular kepada anak-anak. Hal tersebut akan berdampak pada kebencian yang terpupuk pada anak-anak. Sementara jika orang dewasa sudah sampai pada kepentingan di inginkan, mereka dengan mudah berdamai dengan sesamanya. Namun, bagi anak-anak benih-benih kebencian bisa saja terpatri dibenaknya.
Seperti yang dilansir di metrotvnews.com, ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni’am, mengungkapkan terjadi peningkatan kasus kebencian berdasarkan SARA terhadap anak. Dalam kurun waktu setahun, dari tahun 2015 ke 2016, kasus tersebut melonjak hingga 50%. Contoh kasus yang bersinggungan dengan SARA pada anak, salah satunya adalah akibat dari masalah sosial politik seperti pilkada DKI Jakarta. Permasalahan tersebut tidak hanya berdampak pada anak-anak di Ibukota, tetapi juga anak-anak di seluruh pelosok negeri yang sesuku dan seagama. Contoh nyata pernah dialami penulis ketika hendak membeli alat tulis di sebuah toko, seorang anak kecil bertanya kepada ibunya,“Ma, Apa itu Anis menang karena Islam? Berarti kita ini sudah tidak bisa jadi pemimpin?”. Pertanyaan anak ini seolah menekan psikisnya sehingga ia terkesan putus asa karena berasal dari kelompok minor dan membenci orang yang tidak menerima keberadaannya hanya karena ia memiliki keyakinan yang berbeda dari kelompok mayor.
Anak-anak adalah generasi yang polos. Mereka masih ingin bermain dan berteman dengan siapa saja. John Locke, seorang filsuf, dalam teori tabularasanya menjelaskan bahwa anak-anak ibarat kertas kosong (a blank sheet of paper) yang dibentuk oleh orang dewasa. Pada usia tertentu, anak-anak masih sulit menentukan keputusan sendiri. Mereka cenderung mengikuti perilaku orang dewasa di sekitarnya. Oleh karena itu, perilaku yang memicu agar mereka tidak menghargai orang lain sudah sepatutnya dihindari, seperti melarang anak-anak bermain dengan temannya yang berlainan suku ataupun agama agar mereka tidak membangun jarak dengan memunculkan prasangka atau kecurigaan yang berlebihan.
Ronald E. Riggio, guru besar dalam kepemimpinan dan psikologi organisasi di Claremont McKenna College mengatakan bahwa akar diskriminasi dan prasangka melibatkan proses seperti perasaan “kami” vs “mereka” dan dominasi sosial di mana satu kelompok merasa lebih superior dibanding lainnya. Kelompok minor seringkali merasa terkucilkan dengan stereotip yang muncul di kalangan masyarakat. Hal ini membuat anak-anak dari kelompok minor kadang merasa kurang percaya diri untuk bergaul, bahkan ada yang depresi. Literasi keberagaman di kalangan anak-anak sudah menjadi hal yang urgen di tengah sensitifitas kemajemukan.
Toleransi harus di suburkan pada anak-anak sejak dini, sebab serpihan memori di masa anak-anak bisa mempengaruhi perilakunya saat dewasa nanti. Jika semasa kecil mereka terjebak dalam rasa kebencian, maka secara tidak langsung rasa damainya terhadap dunia bisa terenggut. Johan Galtung, seorang akademisi konflik dan perdamaian menjelaskan bahwa perdamaian haruslah menghilangkan setiap benih konflik. Pembelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan di dalam kelas bagi anak-anak belum cukup. Mereka butuh praktik nyata untuk memahami toleransi secara utuh.
Sebagai orang dewasa, kita memiliki peran yang sangat penting untuk menyuburkan toleransi di kalangan anak-anak dengan cara yang menarik dan menyenangkan bagi mereka. Kita tidak boleh mengkhotbahi mereka. Kita bisa mengajak mereka untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang mereka sukai namun sarat makna dengan penanaman nilai-nilai toleransi dan peningkatan kesadaran diri (self-awareness) serta rasa berterimanya pada hal-hal yang berbeda dengan mereka.
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh. Pertama, melalui permainan tradisional. Permainan ini tidak pernah bisa di lakukan seorang diri, berbeda dengan game online yang menggunakan layar digital. Permainan tradisional selalu melibatkan orang lain. Pilihlah jenis permainan yang membangun tim kelompok. Setiap kelompok sebisa mungkin terdiri dari anak yang berlatar belakang berbeda, di mana mereka harus saling support dan bersatu untuk membangun kekuatan tim tanpa harus mempermasalahkan perbedaan yang mereka miliki. Cara ini pernah di kampanyekan oleh PlayPlus Indonesia. Kedua, melalui permainan outbound trust fall. Permainan ini bisa dilakukan secara berpasangan ataupun kelompok. Seseorang akan di minta menjatuhkan dirinya dengan sengaja dan kawannya siap menadah untuk menyelamatkannya. Permainan ini bertujuan untuk membangun kepercayaan (trust building) dan menghilangkan prasangka. Ketiga, melalui animasi gerak seperti film. Film anak-anak seperti “Upin & Ipin” merupakan film yang mengkampanyekan toleransi, di mana anak-anak yang memiliki suku dan agama yang berbeda-beda tetap bermain bersama, rukun dan saling menghargai. Keempat, melalui dongeng. Upaya penyuburan kebhinekaan pun bisa dilakukan melalui dongeng di mana mereka bisa mengambil hikmah dari setiap cerita yang disampaikan, dan tentu masih banyak cara lain yang menyenangkan.
Tentu di balik upaya untuk menyuburkan toleransi pada anak, akan ada sejumlah pertanyaan yang muncul dari mereka, maka selaku orang dewasa hendaklah kita menjawabnya dengan jujur. Kita harus menjelaskan kepada mereka bahwa memang benar kita berbeda. Kita memiliki keyakinan dan latar belakang yang berbeda, namun kita harus saling menghormati dan menghargai. Kita harus senantiasa mendampingi anak-anak untuk mengawal mereka agar menjadi generasi cinta damai. KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur), Bapak toleransi berpesan, “Tidak penting apa agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”
oleh:
Nur Fadillah Nurchalis
Parepare International Peace Generation (PIPG)