OPINI–“Tebarkan kedamaian dan keselamatan bagi mereka semua, sebagai implementasi salammu ke kanan dan ke kiri yang tiap saat menjadi penutup dalam salatmu. Niscaya damailah hatimu, tenteramlah negerimu, dan luruslah agamamu.”
Moderasi beragama bukanlah memoderasi agama, melainkan memahami dengan baik tentang perjanjian primordial dengan Sang pencipta terkait nilai-nilai universal yang telah dipersaksikan.
Terkadang kita sulit membedakan antara ajaran agama dengan tafsir keagamaan. Sebagai contoh, salat itu ajaran agama, sedangkan tata cara salat adalah tafsir keagamaan, zakat itu ajaran agama, tata cara berzakat itu tafsir keagamaan, menutup aurat itu ajaran agama, tata cara menutup aurat adalah tafsir keagamaan. Perbedaan tafsir inilah yang seringkali menimbulkan perbedaan pandangan, padahal sejatinya tujuannya adalah sama.
Moderasi beragama dalam Islam adalah menempatkan agama Islam sebagai Rahmatan lil alamin. Menjadi penengah di tengah perbedaan. Menjadi penyejuk di tengah kekeringan. Moderasi beragama dalam Islam sejatinya telah lama dipraktikkan. Hal itu banyak dicontohkan oleh Rasulullah SAW di kota Madinah yang notabenenya adalah berbeda keyakinan. Tatkala beliau memimpin kota Madinah yang tidak hanya dihuni oleh kaum muslimin saja melainkan dihuni oleh umat Yahudi dan Nasrani.
Sejumlah insiden membuktikan keadilan Nabi SAW. Beliau hidup di tempat dimana orang-orang yang berbeda agama, bahasa, ras, dan suku, hidup saling berdampingan. Sangat sulit bagi mereka untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni serta mengawasi mereka yang berusaha menyebarkan perpecahan.
Satu kelompok bisa menjadi agresif dan bahkan menyerang kelompok lain melalui kata-kata atau perbuatan. Namun, keadilan Nabi Muhammad Saw adalah sumber perdamaian dan keamanan bagi komunitas lain, sama seperti yang berlaku bagi umat Islam.
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang beriman untuk berlaku adil. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau pun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran…” (QS An-Nisaa’:135).
Ayat Al-Qur’an tersebut di atas memberikan penjelasan kepada umat manusia bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menegakkan keadilan. Sifat adil adalah salah satu sifat Allah yakni yang Maha Adil. Kemudian percikannya diterima oleh manusia dalam bentuk perjanjian hakiki di alam Ruh. Berarti dalam keseharian, kita mestinya menegakkan nilai-nilai keadilan yang Allah titipkan tersebut.
Bukankah kita diciptakan oleh Allah sebagai makhluk yang sempurna?. Sempurna namun bukan Maha Sempurna, sebab yang Maha sempurna hanyalah Allah semata. Tetapi sifat itu dititipkan pada diri manusia untuk diimplementasikan. Ibarat sebuah percikan air di tengah samudera yang luas, maka percikan itulah sifat manusia dan samudera itulah milik Allah.
Sejak manusia berada di alam Ruh, sumpahnya telah diambil oleh Allah. Dalam QS Al-a’raf ayat 172, Allah SWT Berfirman: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa setiap manusia yang akan lahir ke dunia telah menjalani sumpah dihadapan yang Mahatinggi.
Sumpah bukan asal sumpah, melainkan ada nilai-nilai perjanjian di dalamnya yang siap untuk diimplementasikan oleh manusia ketika lahir. Di dalamnya ada nilai-nilai universal yang tetap terekam dengan jelas dalam sebuah memori abadi yang kapasitasnya di luar nalar manusia. Dia adalah hati hakiki yang merekam perjanjian tersebut yang ketika manusia lahir tetap mengikut dalam dirinya.
Siapapun manusia itu, apapun keyakinannya ketika dewasa ia tetap melekat. Dalam Islam ia disebut hati Nurani (Nur Muhammad), dalam keyakinan lain disebut Roh Kudus atau Roh suci. Sesungguhnya yang dimaksud adalah sifat suci yang terpancar dari sisi Sang Ilahi. Pancaran itu adalah cahaya kebenaran. Maka siapa saja yang menjaga sifat itu, ia akan dikasihi oleh Sang Pemilik Sifat tersebut. Allah SWT adalah Mahapenyayang, Mahapengasih, Mahapenyantun, Mahapemberi, maka seyogyanya manusia pun harus demikian dalam kapasitas-kapasitas yang mampu untuk diembannya. Sifat-sifat Allah itulah yang telah dipersaksikan dan siap untuk diterapkan di permukaan bumi ini selagi kita masih memiliki kesempatan.
Jika itu diterapkan, maka kita telah menjadi khalifatullah yang bijaksana, tentunya akan dikasihi dan disayangi oleh-Nya.
Rasulullah SAW pernah menyampaikan bahwa dalam diri manusia terdapat segumpal daging, manakala daging itu baik, maka baiklah seluruhnya. Namun jika daging itu buruk, maka buruklah seluruhnya. Ketahuilah bahwa daging itu adalah hati.
Demikian jelasnya pesan Rasulullah SAW tersebut sehingga begitu mudah untuk kita pahami. Sebagai analogi, hati itu adalah ibarat cermin, jika cermin itu bersih, maka ia dapat memantulkan cahaya. Demikian pula hati jika ia bersih dari sifat buruk, maka dengan mudah bisa menangkap cahaya Ilahi dengan mudah dan memancarkan kebenaran kemanapun fisiknya mengarah.
Sebagai kesimpulan, moderasi beragama bukanlah hal yang baru. Melainkan sejak awal, hakikat moderat sudah ada dalam diri manusia. Hanya tinggal mengaktifkannya kembali agar ia terbuka lebar dan menerima segala perbedaan sebagai suatu rahmat dari-Nya, namun tetap menjaga nilai-nilai aqidahnya.
Toleransi atau tasamuh dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Sebab Islam adalah Rahmat bagi semesta Alam. Tebarkan kedamaian dan keselamatan bagi mereka semua, sebagai implementasi salammu ke kanan dan ke kiri yang tiap saat menjadi penutup dalam salatmu. Niscaya damailah hatimu, tenteramlah negerimu, dan luruslah agamamu. Selamat tahun baru 2023, semoga aman, damai dan sentosa. (*)
Oleh : Saenal Abidin, S.I.P., M.Hum
Dosen UIN Alauddin Makassar