OPINI–Islam adalah sebuah paradigma gagasan kehidupan yang berorientasi saat ini dan eskatologis. Kontennya ada dua yaitu Agama dan Peradaban, setidaknya ini dipopulerkan oleh H.A.R Ghibb, orientalist berkebangsaan Jerman di abad XIX masehi.
Islam diyakini sebagai gagasan dan pandangan hidup yang bersifat universal, salih likulli zaman wa makan. Konsep universalismenya membawa konsekuensi dinamisnya relasi Islam dengan ruang dan waktu di mana ia eksis.
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, konsep universalisme megandung konsekuensi logis seperti halnya menarik suatu garis di atas benda yang bulat yang berakhir di mana garis itu dimulai. Konsekuensi logisnya adalah garis tersebut tidak akan lurus. Tidak zigzag memang, tetapi ia pasti melengkung. Ini mengandung arti bahwa sesuatu yang berlaku secara universal pastilah mengalami tantangan dan problema tarik menarik antara tetap dan berubah.
Hal tersebut disebabkan karena zaman dan tempat dari waktu ke waktu pasti akan ada perubahan. Dalam sebuah ungkapan pilosofis dikatakan bahwa di luar Tuhan tidak ada yang abadi kecuali perubahan.
Islam yang tidak terlepaskan dari ruang dan waktu eksis secara dinamis dan fluktuatif tersebut berada dalam dilema garis yang tersambung di atas benda yang bulat. Jika Islam yang diberlakukan adalah “Islam Jadi” dari awal semata maka pasti tidak akan mudah mencapai misinya yaitu mewujudkan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Padahal sejatinya Islam datang adalah untuk menjadi “cendekiawan” yang memberi tuntunan yang mencerahkan di setiap panggung kehidupan manusia (Q.S. Ibrahim ;1) Wa anzalna ilaika al-kitab li tukhrija an-nasa min aldzulumat“ (Dan kami turunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu (Muhammad) untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan”.
Oleh karena itu, sejatinya Islam menjadi bingkai peradaban yang dilahirkan oleh manusia dari jaman ke jaman. Sebaliknya peradaban sejatinya menjadi ruang dan panggung Implementasi Islam yang universal tersebut. Manusia sebagai produsen peradaban adalah ibnu zaman dalam arti tidak bisa melepaskan diri dari dinamika yang terjadi dalam rentang pagelaran peradaban di mana ia hidup.
Islam sebagai pengawal peradaban manusia bukan hanya datang menjadi korektor yang egois, tetapi transformatif, aspiratif, mencerahkan. Bukti ril dari gagasan ini adalah diakuinya tradisi yang dikenal dengan adanya struktur konstruksi hukum Islam yang terdiri dari kelompok hukum yang sifatnya Azimah dan Rukhsah. Di samping itu adanya paradigma ‘Urf atau tradisi masyarakat dalam sistim penemuan hukum Islam. Pendek kata Islam adalah paradigma nilai dan gagasan sikap, keyakinan dan aksi yang berbasis pada kombinasi dan kolaborasi secara simultan nilai-nilai Ilahiyah dan Insaniyah. Ia merupakan titik temu antara idealitas dan realitas kebenaran.
Indonesia sebagai negara bangsa, sarat dengan fenomena tersendiri yang menjadi karakternya. Ia built-in dalam konstruksi jati diri bangsa Indonesia. Indoensia sebagai bangsa terbangun di atas suatu titik temu dari berbagai sisi, mulai dari sisi Geograpis, Etnis, Suku Bangsa, Bahasa, Kultur, Agama dan kepercayaan dan sebagainya. Dari sisi geografis Indonesia dikenal dengan negara bangsa kepulauan yang terdiri dari belasan ribu pulau, besar dan kecil.
Indonesia memiliki 17.504 pulau yang tersebar di 32 provinsi. Dari sisi Etnis dan suku bangsa terdiri dari ratusan. Terdapat 30 kelompok suku dengan 1.340 suku bangsa. Dari sisi bahasa juga ratusan, terdapat 718 jenis bahasa daerah. Dari sisi agama dan kepercayaan Indonesia juga ruang pertemuan antara beberapa agama dan kepercayaan terutama dalam realita sosial, walaupun secara resmi hanya diakui 6 agama yang semuanya termasuk agama besar yang ada di dunia.
Oleh karena itu negara bangsa Indonesia lahir di atas kompromi berbagai sunnatullah. Terdapat suatu tesis yang menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara bangsa, sesungguhnya memiliki segala syarat untuk hancur dan bercerai berai. Namun yang patut disyukuri adalah ternyata hal itu tidak terjadi minimal sampai usia 76 tahun ini.
Tentu ada yang berharap ini tetap langgeng sampai batas waktu yang tidak ditentukan, tetapi juga pasti ada yang berharap lain. Kondisi geografis adalah anugerah Tuhan, keberagaman Bangsa dan Etnis dan segala yang adalah salah satu maha karya Sang Pencipta.
Keragaman agama dan kepercayaan serta keyakinan adalah di antara wujud kekuasaan Tuhan. Keragaman suku bangsa, kergaman bahasa, keragaman budaya keragaman agama bukan “pilihan” yang datang kemudian. Memaksakan penyeragaman dalam aspek-aspek tersebut paling tidak menafikannya adalah pengingkaran dan perlawanan terhadap sunattullah.
Sunnatullah dan anugerah Allah SWT., Tuhan adalah sesuatu yang perlu disikapi secara bijak dengan kerangka prinsip Husnu al-dzan atau Positif Thinking. Di sinilah Islam muncul dari karakter moderasinya. Dengan kata lain moderasi Islam menjadi kunci eksistensi Islam sebagai rahmatan lil alamin, yang menjadi motif diutusnya Nabi Muhammad SAW. (Q.S. al-Anbiya : 107) Wa maa arsalnaaka illa rahmatan li alalamin.
Tetapi jika Islam dibawa dan direprentasikan dengan meninggalkan jati dirinya yang moderat maka visi kerahmatan yang menjadi core values kehadirannya akan terabaikan. Islam agan menjadi egois tanpa mau tau apa yang terjadi. Dalam konteks seperti itu ia hanya meminta sikap dari manusia “sami’na wa atha’na” (kami dengar dan mentaatinya).
Islam yang moderat sebagai pengarusutamaan prinsip wasatan atau moderasi dalam memahami pesan-pesan yang dikandungnya dapat mempertemukan Islam sebagai Ajaran universal dengan Indonesia yang bersifat lokalitas, dan menghindarkan ajaran Islam jauh dari latar empiris hadirnya Islam di Bumi yaitu pedoman dan pandangan hidup manusia sipapun dan dimanapun.
Moderasi Islam menempatkan implementasi Islam ke ranah fleksibiltas, dinamis, transformatif, apresiatif terhadap kondisi tertentu. Dalam kerangka moderasi, Islam menjadi kenyal, tidak cair seperti air apalagi oksigen, tetapi juga tidak kaku bagaikan batu apalagi baja. Dengan karakter seperti itu maka Islam relatif lebih bisa menempati berbagai ruang yang tidak hampa, tetapi juga tidak mengalir tanpa prinsip yang jelas.
Hal inilah yang membuat Islam bisa bertemu dengan Indonesia sebagai bangsa yang sarat dengan nilai-nilai lokalitas, serta tidak dari awal menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya Islam sebagai agama.
In uridu illa al-islah mastataktu, wa ma taufiqi illa bi Allah wa ilaihi unib. Wa Allahu al-Muwaffiq Ila Aqwaam al-Thariiq. Wa Allahu ‘a’ lam bi al-shawab. Wassalam.