OPINI — Mudik adalah sahutan paling ujung yang masih sempat kita dengar, ketika kecemasan terbit, dan kita nyaris kehilangan kepercayaan kepada semua hal. Kita tercemas oleh informasi yang tiada henti menerpa layar kesadaran kita. Beberapa serius, bahkan sangat serius. Tentang ancaman hebat wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Atau tentang pesan baik ini: tetap di-rumah-saja, kerja dan ibadah di rumah, jangan lupa cuci tangan.
Namun, tidak sedikit diantara gempuran informasi itu bernada hoax. Bahkan jumlahnya lebih banyak dan seakan tanpa jeda hadir mengisi ruang virtual kita. Tak mengenal waktu. Di tengah kecemasan akan transmisi COVID-19, arus informasi hoax juga menyebar gencar. Entah kenapa masih ada yang gemar mereproduksinya. Atau bahkan memproduksi.
Maraknya hoax hanya menambah kesengsaraan masyarakat di tengah misteri COVID-19. WHO memberikan perhatian khusus soal ini. Badan PBB itu merilis istilah Infodemik untuk menggambarkan derasnya gelombang informasi berlebihan berkaitan wabah COVID-19. Informasi berlebihan itu berpotensi menyesatkan serta dampaknya bisa lebih berbahaya dari pandemi itu sendiri. Karena dia akan menyulitkan identifikasi masalah dan mendegradasi langkah-langkah penanganan.
*
Maka, mungkin diperlukan juga physical ‘hoax’ distancing. Jika Anda (dan saya) tak dapat pastikan derajat akurasi dan sumber informasinya, baiknya dilupakan. Atau didelete saja. Apalagi kalau memory gadget terbatas. Mari berbagi hanya informasi positif. Informasi yang sudah diverifikasi kebenaran dan sumbernya. Lalu berdoa semoga dapat menjadi semacam imun dalam tubuh agar tetap kuat memimpikan harapan masa depan.
Sembari berdoa, mari kita membayangkan mudik tahun ini. Pilihan untuk di-rumah-saja memberi kita waktu cukup untuk melukis kembali diorama kota kelahiran. Ada jejak yang terukir di lorong waktu. Mungkin juga ini bisa menjadi semacam strategi menghadapi kejenuhan –yang sesekali terbit– saat segala hal kini kita lakukan dari di-rumah-saja.
Dan seperti halnya waktu-waktu lampau, mudik adalah perjalanan sungguh menyenangkan. Ada berjumput dahaga yang menyertainya. Menjadi semacam energi untuk melawan kelelahan selama perjalanan. Gambaran keindahan lebaran di kampung halaman, dengan banyak mata berkaca-kaca, adalah tarikan kuat yang menegasikan semua tantangan.
Kita pun bersuka cita mendengar juru bicara Presiden berbicara di televisi: tahun ini boleh mudik tapi dengan status Orang Dalam Pengawasan (ODP). Dan setiba di kampung, harus isolasi mandiri selama 14 hari. Tak mengapa. Tahun ini kita akan lebaran dalam status ODP. Ini berkaitan dengan Bencana Nasional dan telah diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Presiden.
Namun, sekonyong-konyong akal sehat kita berteriak: bukankah PSBB diterbitkan untuk membatasi pergerakan orang? Dapatkah mudik kita lakukan dalam hening dan tenang; dengan atur jarak 2 meter di jalan-di bus-di pesawat-di kapal laut?
Ah, biarlah itu menjadi urusan pemerintah. Masyarakat harusnya tetap berbaik sangka. Mengambil kebijakan yang berdampak luas pada kehidupan publik pasti punya perhitungan. Apalagi menyangkut wabah COVID-19. Ini langsung berhubungan dengan nyawa warga negara. Yang tak boleh habis dalam mudik tahun ini adalah kuota. Agar selalu memiliki akses ke covid19.go.id untuk tahu standar dan prosedur mudik.
Maka, duhai para perindu di kampung: hampir pasti “oleh-oleh” berkurang dalam mudik kali ini. Toh pemudik dalam status ODP. Yang akan mereka siapkan adalah masker, sanitizer, alat tes suhu badan, vitamin, dan semacamnya. Mungkin juga meteran (Anda pasti tahu gunanya, hehe). Kita pun nanti akan curi-curi waktu –di tengah isolasi mandiri itu– untuk menjumpai sanak family. Apalah makna mudik, jika cuma di kamar mengisolasi diri. Empat belas hari bukan waktu yang singkat untuk membayar nelangsa kerinduan pada kota di mana pertama kali kita menengok langit biru.
Tapi, tunggu dulu. Tak berapa lama setelah itu, Mensesneg Pratikno memperbaiki release sang jubir. Menurutnya, pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak mudik tahun ini. Kita jadi masygul. Corona yang semakin “liar” menjadi alasan. Orang-orang dilarang mudik untuk menghindari bertambahnya jumlah penderita dan untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Kita amini itu. Karena saat ini saja, tingkat penyebaran virus itu sudah dalam level mengkhawatirkan.
Terasa ada secercah ambigu di balik pernyataan pak Menteri. Sejatinya pemerintah ingin masyarakat tidak mudik. Tapi secara resmi membolehkan dengan syarat yang berat. Kegundahan atas rencana mudik juga sudah tercium dari ungkapan sejumlah kepala daerah. Khususnya daerah-daerah yang menjadi tujuan pemudik.
Itu misalnya tercermin dari harapan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat melakukan teleconference dengan Wapres Ma’ruf Amin. Dengan harapan besar, Anies ingin warga tidak meninggalkan Jakarta. Juga menjelang lebaran kelak. Karena dampaknya akan sangat menyulitkan daerah yang sedang berjuang menghadapi COVID-19.
Hal yang sama juga mengemuka saat giliran Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Kepada Wapres, Ridwan Kamil memohon kiranya jangan sampai ada mudik di tahun ini. Sebab, tanpa mudik saja, Jawa Barat (dengan penduduk 50 juta jiwa) sudah sangat kesulitan memetakan persebaran COVID-19 dan mencari mereka yang suhu badannya di atas 37,5 derajat. Lantas solusi itu pun dibidik: mendorong MUI (kembali) mengeluarkan fatwa haram mudik dalam keadaan pandemi.
Kita belum tahu, apakah MUI akan mengeluarkan fatwa. Tentu bukan hal mudah. Karena fatwa harus punya hujjah yang kuat. Tapi itu kewenangan MUI. Meski pun kita menduga fatwa tidak akan dikeluarkan. Mengapa? Karena pemerintah bisa membuat keputusan untuk melarang orang-orang mudik. Berbeda dengan fatwa tentang ibadah di saat wabah COVID-19. Pemerintah tentu tidak bisa buat keputusan mengganti salat Jum’at dengan salat duhur.
Maka momentum penanganan COVID-19 adalah waktu ketika ide dan pemikiran bukan cuma ada di kepala. Melainkan sedang diuji dalam menjawab realitas: akankah dia memberi makna atas hidup dan kehidupan?
Sebagai warga negara, kita berharap pemerintah mengambil keputusan yang tepat (dan cepat). Jika pemerintah salah dalam mengambil kebijakan soal infrastruktur, tentu dapat diperbaiki secara cepat. Begitu juga jika keliru memutuskan pengembangan industri strategis, masih ada waktu mengoreksinya kemudian. Tapi, jika dalam hal kebijakan penanganan COVID-19, kita mendambakan keputusan akurat dan presisi. Keputusan yang kemungkinan-salahnya kecil (sekecil virus corona). Karena ini mempertaruhkan nyawa anak bangsa. Dan itu adalah undang-undang tertinggi sebuah bangsa: keselamatan warga negara.
Keselamatan: kata ini membuat kita berpaling. Kita mungkin meringis tak mudik tahun ini. Apa boleh buat. Hari-hari ini, menjaga keselamatan diri sendiri beririsan dengan menjaga keselamatan orang lain. Biarlah kerinduan akan kota kelahiran tetap terjaga dalam dinding jiwa. Barangkali tahun depan kita bisa menikmati pisang epe’, di sepanjang tepian pantai itu, setelah asyik-masyuk shopping “cakar” di Pasar Senggol. Ingatan tentang Parepare memang tak pernah majal. Barangkali itu!
Catatan; Imran Duse, Penulis adalah Wakil Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) dan mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Timur. Tinggal di Samarinda.