Pemerintah menjadikan Tapera sebagai solusi atas kekurangan pasokan rumah masyarakat. Data Kementerian PUPR mengungkapkan bahwa per 2019 kekurangan pasokan rumah mencapai 7,6 juta unit. Pemerintah berharap angka tersebut bisa dipangkas menjadi 5 juta unit di tahun 2020, dan 2,6 juta di 2024. Namun, rencana tersebut mendapat kritikan dan penolakan dari kalangan masyarakat maupun pengamat.
Ketua Umum DPP Persatuan Real Estate Indonesia (REI), Paulus Totok Lusida meminta, agar aturan iuran Tapera lebih diperjelas. Pasalnya, iuran ini akan berlangsung dalam jangka panjang, sehingga perlu ada pengontrolan yang jelas ke mana uang tersebut akan bermuara. Pemerintah juga harus memikirkan kemungkinan yang akan terjadi, di antaranya apabila karyawan tersebut di PHK, atau apabila karyawan telah memiliki rumah,
“Dananya bagaimana? Apakah yang di PHK iurannya putus di tengah jalan? Apakah yang sudah punya rumah tetap akan dipotong upahnya?” ucapnya (cnnindonesia.com 3/6/2020)
CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghada juga menilai, bahwa pengadaan Tapera belum mampu menyelesaikan permasalahan kekurangan pasokan rumah. Pasalnya, Tapera hanya menjawab permasalahan tersebut dari segi keuangannya saja, sementara backlog alias kekurangan pasokan rumah terjadi karena berbagai faktor.
“Harus lihat dari ketersediaan tanahnya ada engga, tidak hanya diselesaikan dari pembiayaan. Belum lagi supply-nya akan seperti apa? Pemerintah kah atau pengembang?” (cnnindonesia.com 3/6/2020)
Di lain pihak, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial, Harijanto, merasa bahwa kebijakan Tapera tumpang tindih dengan program kepesertaan lainnya yaitu BP Jamsostek, karena BP Jamsostek juga memberikan fasilitas pembiayaan rumah seperti Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMP), Pinjaman Renovasi Rumah (PRP), dan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). “Kami juga tidak tahu kenapa pemerintah membentuk itu (Tapera),” tuturnya. (cnnindonesia.com 4/6/2020)
Kendati Apindo sendiri menolak keikutsertaan dalam BP Tapera, tetapi pemerintah mengeluarkan aturan bahwa masa paling lambat mendaftar BP Tapera adalah tujuh tahun. Artinya, mau tidak mau pekerja dan perusahaan tetap harus terikat pada Tapera.
Berbagai keraguan ikut muncul di tengah-tengah masyarakat, di antaranya kekhawatiran akan sulitnya mengklaim simpanan tersebut. Kekhawatiran ini menyeruak karena imbas dari pengalaman sejumlah nasabah yang pernah ikut dalam program pembiayaan rumah BPJamsostek. Nasabah harus bertindak seperti menagih utang, padahal uang tersebut adalah milik masyarakat.
Transparansi terhadap simpanan Tapera juga perlu menjadi perhatian khusus. Dengan banyaknya oknum pemerintah yang terbukti menyelewengkan uang rakyat, tentu Tapera menjadi trust issue tersendiri. Jumlah yang tidak sedikit, dengan kurun waktu yang panjang berpotensi disalahgunakan. Pemerintah harus berhenti bermain-main dengan perasaan masyarakat. Belum selesai keresahan akibat New Normal Life, herd immunity, kenaikan listrik, iuran BPJS yang naik, sekarang ditambah dengan beban iuran baru dari Tapera.