OPINI — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017, khususnya Pasal 280 ayat (1) huruf h melalui Putusan Nomor 65/PUU-XXI/2023. Implikasi hukumnya pihak yang berkampanye dilarang memakai fasilitas pendidikan kecuali mendapat izin dari penanggung jawab tempat pendidikan dan hadir tanpa atribut kampanye. Putusan tersebut dapat dimaknai kampanye di lingkungan sekolah dan kampus boleh dengan syarat mendapat izin dari kepala sekolah dan pimpinan perguruan tinggi. Putusan MK tersebut juga mengatur larangan total kampanye di tempat ibadah, namun membolehkan kampanye di sekolah dan kampus meski dengan catatan.
Namun yang menjadi polemik sekarang ini, putusan MK tersebut dimaknai oleh sebagian kalangan bahwa kampus kini bebas mengundang Calon Presiden (Capres) atau Calon Anggota Legislatif (Caleg) tertentu untuk berdebat dan adu gagasan.
Padahal Putusan MK tersebut rujukannya akan berimplikasi pada tahapan kampanye yang akan dimulai November mendatang. Oleh karena itu, penulis perlu meluruskan terlebih dahulu bahwa, yang diputuskan MK itu adalah penggunaan tempat pendidikan untuk tempat kampanye, bukan menjadikan lembaga pendidikan atau organisasi mahasiswa sebagai Pelaksana Kampanye. Jadi jangan sampai masyarakat keliru memahami maksud dari Putusan MK tersebut.
Pertanyaannya kemudian, apakah boleh organisasi mahasiswa mengundang dan mengadakan acara debat capres-cawapres di kampus berdasarkan putusan MK di pasal 280 ayat 1 huruf h UU Pemilu? Karena sudah ada organisasi mahasiswa yang melakukan hal itu, BEM Universitas Indonesia misalnya, jadi organisasi mahasiswa atau mahasiswa, itu di dalam UU Pemilu adalah peserta kampanye bukan pelaksana kampanye. Mahasiswalah yang seharusnya diundang oleh pelaksana kampanye, bukan pelaksana kampanye yang diundang oleh mahasiswa, walaupun lokasinya berada di kampus.
Lalu bagaimana supaya mahasiwa bisa berinteraksi dengan capres-cawapres atau caleg di kampus mereka? Caranya adalah para mahasiswa meminta kampus untuk memberikan izin jika pelaksana dan tim kampanye mau mengadakan kampanye di kampus. Oleh karena itu, syarat berdasarkan putusan MK, harus mendapatkan izin. Tapi yang harus diingat tim kampanye atau pelaksana kampanye baru bertugas jika tahapan kampanye Pemilu sudah dimulai. Setelah capres cawapres dan daftar caleg tetap ditetapkan. Jadi sangatlah keliru ketika organisasi mahasiswa mengundang Capres ke kampus, karena organisasi mahasiswa bukan pelaksana kampanye. Karena pelaksana kampanye adalah pihak yang ditunjuk oleh peserta Pemilu dan itu harus terdaftar di KPU.
Lalu kemudian banyak kalangan yang mengatakan BEM UI mengundang dan menantang Bacapres bukan capres untuk debat, jadi boleh, karena tidak melanggar UU Pemilu dan tidak menggunakan UU Pemilu. Menurut penulis itu juga keliru karena jika kita merujuk dalam UU Pendidikan Tinggi diatur tentang kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Kebebasan ini harus terbebas dari politik praktis. Jadi dilarang untuk melakukan kegiatan politik praktis. Artinya debat Bacapres di universitas atau mengatasnamakan universitas dilarang.
Lebih lanjut dalam UU Pendidikan Tinggi, mimbar akademik itu wewenang dari profesor atau dosen, bukan mahasiswa atau organisasi mahasiswa, makanya dulu ada kelompok mahasiswa pernah menggugat ke MK karena merasa ada pembatasan kewenangan untuk diskusi, seminar dan kegiatan sejenisnya oleh mahasiswa, tapi gugatan itu juga ditolak oleh MK. Oleh karena itu ketika menggunakan UU Pemilu, yang bisa menyelenggarakan di kampus adalah pelaksana kampanye, bukan kampus, mahasiswa atau organisasi mahasiswa. Ketika menggunakan UU Pendidikan Tinggi, yang menyelenggarakan adalah dosen atau profesor, bukan mahasiswa atau organisasi mahasiswa.
Secara yuridis formal organisasi mahasiswa dilarang melaksanakan politik praktis dengan mengundang bacapres debat, hal itu tegas dilarang baik melalui UU Pendidikan Tinggi maupun UU Pemilu. Karena sejatinya mahasiswa adalah pihak yang seharusnya menerima pendidikan politik bukan yang memberikan pendidikan politik. Sehingga secara hukum atau aturan, pendidikan politik untuk urusan pemilu ada di partai politik dan penyelenggara pemilu. Secara pengalaman, Pemilu itu pelakunya adalah partai politik dan penyelenggara Pemilu. Jadi dilihat dari sisi hukum atau aturan dan kemampuan, tentu tidak layak jika yang seharusnya diberikan pendidikan politik malah memberikan pendidikan politik.
Jadi ruang mahasiswa untuk mendengarkan, bertanya, dan mengkritisi visi misi capres, itu tentu saja bisa, sangat bisa dan sudah seharusnya wajib ada, agar supaya mahasiswa tahu siapa capres yang akan mereka pilih. Karena bukan negara demokrasi jika hak mahasiswa tersebut dikebiri namun tentu harus sesuai aturan, tunggu sampai masa kampanye dimulai dan pelaksana kampanye mendapatkan izin oleh pimpinan kampus.
Oleh karena itu, mahasiswa yang mau berdebat dengan capres ataupun dengan peserta pemilu lainnya, naka tunggulah masa kampanye dan nyatakan sikap, siap dikunjungi capres dan mendesak agar kampus mengizinkan jika ada pelaksana kampanye meminta izin kampanye di kampus. Karena itu salah satu syaratnya dalam amanat konstitusi, sebab negara kita adalah negara hukum. Maka harus sesuai aturan hukum. Negara demokrasi itu tentu harus ada aturan, kalau tidak ada aturan, bukan negara demokrasi namanya. Tulisan ini merupakan bagian dari pendidikan politik agar supaya tidak keliru dalam menafsirkan putusan MK. Khususnya kepada mahasiswa yang katanya kaum intelektual. (*)
Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.