OPINI-Kisah di Palestina adalah kisah penuh kompleksitas dan tantangan yang melibatkan aspek sejarah, budaya, dan konflik politik yang panjang. Di tengah-tengah Timur Tengah, Palestina telah menjadi pusat perhatian dan kontroversi selama bertahun-tahun. Sejarah Palestina mencakup warisan kuno, termasuk Kota-kota yang berusia ribuan tahun seperti Yerusalem, yang memiliki makna keagamaan dan budaya yang mendalam bagi tiga agama utama: Islam, Kristen, dan Yahudi. Namun, pada abad ke-20, konflik antara penduduk asli Palestina dan pendatang Yahudi membawa tantangan baru.
Dalam forum debat terbuka Dewan Keamanan PBB yang berjudul “Partisipasi Perempuan dalam Perdamaian dan Keamanan Internasional: dari Teori hingga Praktik” di New York pada Rabu (25-10-2023), Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi, memiliki kesempatan untuk menyampaikan pidatonya yang berkaitan dengan situasi di Gaza.
Saat itu, ia menyampaikan kekecewaan yang amat dalam atas kinerja DK PBB yang dinilai lamban dalam merespons perkembangan di Gaza. Ia pun menyebut bahwa perbedaan pendapat dan adanya hak veto telah menghalangi kinerja PBB hingga resolusi tentang Gaza pun sulit untuk dihasilkan.
Sidang Majelis Umum PBB telah menyetujui resolusi yang mendorong gencatan senjata kemanusiaan yang permanen dan berkelanjutan di Gaza. Keputusan ini diambil setelah rancangan resolusi diterima oleh 120 negara yang hadir dalam sidang darurat, sementara 14 negara, termasuk Amerika, menolak, dan 45 negara memilih untuk abstain. Resolusi PBB ini, jika dianalisis secara menyeluruh, sebenarnya mencakup seluruh tuntutan negara-negara pro Palestina yang diutarakan dalam sidang. Resolusi ini juga mengakomodasi tiga langkah konkret yang diusulkan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia.
Namun, ironisnya, setelah resolusi disetujui, pada hari yang sama, penjajah Israel justru meresponsnya dengan meningkatkan serangan ke wilayah Gaza Utara. Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, bahkan dengan provokatif menyatakan niatnya untuk melaksanakan operasi militer tahap II di Jalur Gaza, baik di bagian Utara maupun Selatan yang saat ini menjadi tempat pengungsian. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar terkait keefektifan resolusi PBB dalam mencapai perdamaian yang berkelanjutan di kawasan tersebut.
Tampak, bagi Israel, desakan 120 negara yang terumus dalam resolusi tidak ada artinya sama sekali. Israel sudah bertekad bulat menjadikan Gaza sebagai medan pertempuran, sekaligus perburuan warga yang mereka samakan dengan hewan. Dengan dalih membasmi sarang teroris Hamas, Israel terus melakukan pembantaian besar-besaran yang mengarah pada praktik genosida di wilayah Gaza.
Ketidakpedulian Israel terhadap resolusi PBB sebenarnya bukan peristiwa baru dalam sejarah konflik di Timur Tengah. Telah terjadi sejumlah resolusi PBB yang dikeluarkan untuk mengakhiri tindakan kekejian yang dilakukan oleh penjajah Israel terhadap warga Palestina. Salah satu contohnya adalah Resolusi 3379, yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 November 1975, yang secara resmi mengakui Zionisme sebagai pelaku kejahatan rasisme.
Namun, di luar resolusi tersebut, para pemimpin dan masyarakat dunia telah mengungkapkan kecaman, kutukan, bahkan memberlakukan sanksi sosial terhadap Israel dalam berbagai kesempatan. Sayangnya, semua upaya ini tampaknya belum mampu membuat Israel berubah sikap atau bahkan merasa terintimidasi. Sebaliknya, dari masa ke masa, eskalasi tindakan kekejinya malah terus meningkat, seolah-olah merasa berada di posisi yang di atas angin dan memiliki hak untuk melakukan segala sesuatu tanpa rasa takut, terutama dalam konteks konflik di Palestina.
Tidak dapat disangkal bahwa dukungan sepenuhnya dan terbuka dari Amerika beserta negara-negara Eropa terhadap Israel merupakan penyebab utama ketidakkenangan Israel dalam menghadapi situasi konflik di wilayahnya. Kehadiran Amerika Serikat sebagai negara adidaya pertama dan negara-negara Eropa yang memiliki posisi strategis sebagai kekuatan adidaya mendukung kebijakan Israel. Selain itu, penting untuk dicatat bahwa Amerika Serikat dan negara-negara Eropa adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pendirian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pada masa lalu, mereka turut serta dalam melegitimasi berdirinya entitas negara Zionis Israel melalui keputusan PBB.
Lantas bagaimana solusi yang sebenarnya?
Melihat perkembangan saat ini, nampaknya negara-negara adidaya telah berhasil mencapai tujuan mereka yang pada masa lalu adalah mendukung serta melegalisasi keberadaan negara untuk gerakan Zionisme internasional. Sejak awal, strategi mereka tampaknya bertujuan untuk menanamkan “duri dalam daging” di pusat negeri-negeri Muslim. Akibatnya, penguasa negara-negara Muslim terus-menerus terlibat dalam permasalahan yang tampaknya tidak pernah berakhir, yang kemudian menyebabkan pecah belah dan pelemahan kekuatan di kalangan mereka.
Selain itu, mereka terus dihadapkan dengan solusi-solusi yang terkesan absurd, yang paradoksalnya, justru semakin memperpanjang dominasi dan hegemoni negara-negara adidaya. Situasi ini menciptakan kondisi dimana negeri-negeri Muslim terus terjebak dalam pusaran konflik yang merugikan diri mereka sendiri, sementara negara-negara adidaya terus mengamankan posisi dominan mereka.
Kondisi ini berada pada pola yang kontrast ketika institusi Khilafah Islamiah masih ada. Wibawa umat Islam terlihat secara nyata dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam konteks politik internasional. Akidah Islam berfungsi sebagai perekat yang menyatukan seluruh bangsa, sementara hukum-hukum syariah menjadi pedoman standar berpikir dan bersikap bersama. Mencapai keridhaan Allah menjadi tujuan utama bagi seluruh umat Islam, menciptakan solidaritas, kemandirian, wibawa, dan ketakutan terhadap musuh-musuh mereka.
Selama berlangsungnya Khilafah Islamiah, sikap terhadap Palestina tidak pernah mengalami perubahan. Ketika Perjanjian Umariyah ditandatangani dan kunci gerbang Al-Quds diserahkan oleh Uskup Patrick Safronius kepada Khalifah Umar bin Khaththab, kaum Muslim menjunjung tinggi amanah tersebut dengan sepenuhnya.
Sikap yang kuat dan tidak berubah ini diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya. Bahkan, dalam situasi dimana kekuatan Khilafah melemah dan pemimpin Zionis menawarkan bantuan finansial, Khalifah dengan tegar menolak untuk menyerahkan tanah Palestina yang diminta, menunjukkan keteguhan prinsip dan komitmen mereka terhadap tanah suci tersebut.
Justru setelah Khilafah berhasil dirobohkan melalui konspirasi Inggris dan kelompok Yahudi Donmeh, umat Islam kehilangan perisai penjaganya. Tanah mereka dianggap sebagai pampasan perang, dipisahkan menjadi lebih dari 50 negara bangsa, termasuk tanah Palestina. Dengan demikian, tanah wakaf umat Muslim ini akhirnya jatuh ke dalam cengkeraman musuh Islam.
Sejak saat itu, negara yang sebelumnya damai dan harmonis, bahkan dihuni oleh umat dari tiga agama yang hidup berdampingan di bawah panji kekhalifahan, tiba-tiba berubah menjadi medan konflik yang terus-menerus berkobar. Palestina menjadi benar-benar sebuah tanah yang diwariskan untuk jihad.
Realitas inilah yang perlu dipahami oleh umat pada era sekarang. Akar masalah Palestina adalah penjajahan oleh Zionis atas tanah yang seharusnya dimiliki oleh umat, dan ini didukung oleh negara-negara besar. Oleh karena itu, selama entitas ini masih berada disana dan penguasa Muslim masih tunduk pada kekuasaan negara-negara adidaya, termasuk ketergantungan pada lembaga-lembaga internasional dan regulasinya, krisis Palestina akan tetap menjadi kenyataan yang tidak terhindarkan. (*)
Informasi: Opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.