Hari ini kita sedang memperingati (bukan sedang merayakan) Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2017 yang diinspirasi dari lahirnya tokoh pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara meskipun sejatinya, yang namanya kelahiran harus dirayakan.
Pendidikan adalah aset membangun bangsa yang lebih bermartabat dari sisi kemanusiaan dan lebih maju dari sisi kesejahteraan serta lebih berkemajuan dari semua aspek kehidupan.
Sebagaimana tema Hardiknas kali ini adalah Percepat Pendidikan yang Merata dan Berkualitas. Tentu tema ini diangkat karena melihat kondisi realitas pendidikan hari ini. Dimana pendidikan kita di Indonesia masih jauh dari pemerataan dan masih jauh dari kualitas. Hal ini di pengaruhi letak geografis luasnya wilayah tanah air sehingga membutuhkan keseriusan yang cukup tinggi dalam mengelola pendidikan untuk mencapai pemerataan dan kualitas yang tinggi tersebut.
Namun, ada hal yang menarik dari tema ini jika dikaitkan dengan seluruh isi pidato Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia (Mendikbud RI). Saya telah membaca tuntas isi pidato Mendikbud RI, Muhajir Effendy, tetapi tidak menemukan kesesuaian tema Hardiknas dengan pesan yang disampaikan. Dalam pidatonya, tidak sedikit pun menyentuh upaya-upaya pemerintah melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia.
Jika pemerintah komitmen melakukan pemerataan pendidikan, maka semestinya dalam isi pidato Mendikbud menyinggung tentang sebaran fasilitas pendidikan di tanah air. Pemerintah harus jujur dan terbuka pada publik berapa banyak sekolah di tanah air dalam kondisi yang sebenarnya. Bukankah data dari pihak swasta menemukan Ribuan hingga ratusan ribu sekolah dalam kondisi tidak layak pakai untuk sebuah proses pembelajaran.
Jangan salahkan guru jika sekolah-sekolah yang terpencil dan jauh dari pantauan media selalu menjadi terbelakang dari segi capaian kualitas peserta didiknya. Karena pada kenyataannya mereka tidak pernah secara serius menerima perhatian dari pemerintah.
Semestinya jika pemerintah serius ingin mengurusi pemerataan pendidikan baik fasilitas maupun pemerataan kualitas, maka sebaiknya disampaikan berapa jumlah sekolah di Indonesia yang tidak layak difungsikan. Sehingga masyarakat bisa mengevaluasi dan juga ingin berkontribusi memperbaiki fasilitas pendidikan tersebut sebagaimana diperbolehkan dalam UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Dengan dibukanya data-data jumlah sekolah yang butuh perbaikan dan berapa jumlah sekolah yang harus dibangun baru, maka pemerintah akan mudah melakukan perencanaan pembangunan dengan target pemerataan yang lebih terukur. Sehingga pemerintahan berikutnya dapat melanjutkan sisa perbaikan fasilitas yang harus di selesaikan atas pemerintahan sebelumnya. Bukan justru mendata ulang yang tentu juga menghabiskan anggaran dan hanya akan menjadi komoditas politik anggaran di senayan. Perlu diketahui bahwa anggaran pendidikan adalah yang terbesar dalam batang tubuh APBN yaitu diatas 20 persen.
Jika pemerintah memiliki data kuantitatif yang rill terkait situasi fasilitas pendidikan kita, hal ini dapat disampaikan melalui pidato Hardiknas karena masyarakat ingin tahu berapa jumlah sekolah yang perlu perbaikan, berapa anggaran pemerintah yang sudah dialokasikan, dan menyampaikan pada masyarakat sudah sejauhmana realisasi itu sudah dijalankan. Dengan demikian kita bisa mengukur capaian-capaian apa yang sudah dilakukan pemerintah dari tahun ke tahun, karena fasilitas yang merata akan diikuti dengan kualitas pendidikan sampai kepelosok negeri.
Selamat Hari Pendidikan Nasional “semoga” merata dan berkualitas.
Ooo iya…
Jangan lupa bahagia,
Jangan benci gurumu.
Karena pendidikan itu tidak menebar kebencian dan cacian.
Jakarta, 02 Mei 2017
Andi Fajar Asti
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI)