Penulis: Abu Nadzifah (Peneliti Sistem Energi)
Beberapa waktu belakangan, kebijakan pelarangan terhadap kantong plastik makin marak. Per 1 Januari 2023, Kota Tangerang Selatan sudah melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai di ritel-ritel swalayan terkemuka. Sebelumnya, puluhan kota di berbagai provinsi sudah terlebih dahulu menetapkan larangan ini, seperti DKI Jakarta, Bogor, Semarang, Bekasi, dan Balikpapan.
Tujuan utama pelarangan ini adalah demi mengurangi volume limbah plastik sekali pakai yang dianggap tidak ramah lingkungan. Program ini pun mendapat kritikan, khususnya terkait bahwa yang menerapkan baru ritel-ritel swalayan saja, sedangkan di masyarakat umum hampir tidak terpengaruh dengan aturan ini.
Bisa dikatakan, masalah limbah plastik sudah menjadi masalah global. Tercatat, TPA Bantar Gebang di Bekasi menerima berkisar 7,5—8 ton sampah plastik tiap hari. Per akhir 2021, sampah plastik di Indonesia mencapai 11,6 juta ton. Di seluruh dunia, sampah sekali pakai mencapai 139 juta ton. Sebagian sampah ini kemudian berakhir di laut, dengan Filipina sebagai penyumbang terbesar pelepas sampah plastik ke lautan (0,28—0,75 juta ton plastik per tahun). Limbah plastik di darat maupun yang berakhir di laut menyebabkan berbagai masalah socio-environmental yang cukup berat.
Berbagai upaya mitigasi telah dilakukan untuk mengurangi volume limbah plastik, termasuk pelarangan sebagaimana disebutkan di awal. Selain itu, konversi sampah menjadi energi menggunakan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa), juga dicanangkan. Berbagai teknik pemungutan sampah plastik dari laut, seperti dilakukan oleh The Ocean Cleanup, juga dalam proses pengembangan teknologi. Bahkan, isu limbah plastik sudah disorot secara khusus oleh United Nations Environmental Programme (UNEP). Namun, hingga kini, masalah plastik tidak juga menemui titik terang.
Tentang Plastik
Kantong plastik banyak digunakan karena karakternya yang fleksibel, kuat, dan praktis untuk membawa berbagai jenis barang. Secara kimiawi, plastik merupakan bahan polimer organik rantai panjang. Monomer-monomer etilen direaksikan secara kimia untuk membentuk rantai polietilen yang lebih panjang sehingga menghasilkan material yang cukup kuat, tetapi tetap fleksibel. Sumber utama etilen adalah gas alam (natural gas) yang didominasi oleh senyawa metana. Oleh karenanya, kantong plastik pada dasarnya terbuat dari gas alam, menjadikan kantong plastik sebagai produk energi fosil.
Mengingat konfigurasi kimianya yang berupa polimer rantai panjang, kantong plastik tidak mudah terurai secara alami. Butuh puluhan hingga ribuan tahun sebelum plastik dapat terurai secara alami. Itu pun tidak terurai menjadi bahan yang ramah lingkungan, melainkan menjadi mikroplastik.
Seiring waktu, pemecahan rantai polimer plastik hanya menyebabkan perubahan bersifat fisik, bukan kimiawi. Walhasil, secara fisik terurai menjadi partikel-partikel yang jauh lebih kecil, tetapi sifat kimianya sama saja.
Polimer organik dalam kantong plastik tidak bisa dikatakan berbahaya an sich, selama tidak ada kontaminan zat tambahan lain yang dapat menyebabkan masalah kesehatan di dalamnya dan tidak dikonsumsi oleh manusia. Masalah—atau yang dianggap sebagai masalah—dari kantong plastik adalah karakternya yang sulit terurai dan membuat volume sampahnya menjadi sangat besar sehingga menyulitkan pengelolaan sampah.
Selain itu, mikroplastik dapat mengontaminasi rantai makanan manusia. Ketika plastik terurai menjadi mikroplastik di lautan, mikroplastik ini akan masuk ke dalam tubuh hewan laut melalui rantai makanan laut dan dapat berakhir pada manusia dengan akumulasi dosis mikroplastik cukup tinggi. Hal yang sama dapat terjadi pula di rantai makanan darat, khususnya mengingat plastik dapat terurai menjadi mikroplastik di tanah walau dengan laju tidak persis sama.
Secara umum, mikroplastik dapat merusak protein pada organisme kecil, serta dapat bersifat racun bagi organisme yang lebih besar. Kasus efek mikroplastik di tubuh manusia belum tampak secara signifikan, mengingat pengujian baru dilakukan dalam skala laboratorium. Namun, dari pengujian tersebut, diprediksi bahwa manusia dapat mengalami masalah hormonal hingga kerusakan organ sebagai imbas dari mengonsumsi bahan pangan mengandung mikroplastik. Walau hasil pengujian ini masih perlu dipelajari lebih lanjut, tampak bahwa potensi membahayakan dari mikroplastik memang ada.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa limbah plastik dalam jangka menengah-panjang dapat membahayakan organisme, bahkan ekosistem. Oleh karenanya, pengelolaan limbah kantong plastik harus dilakukan dengan benar. Pertanyaannya, apa masalahnya sehingga perkara limbah ini berlarut-larut?
Masalah Pengelolaan Plastik
Di seluruh dunia, masalah limbah plastik dianggap sebagai masalah pengguna. Dalam artian, masalah penggunaan plastik hingga tanggung jawab pascapakai dibebankan pada pengguna. Hal ini tidak sepenuhnya salah, tetapi melupakan beberapa aspek di luar kuasa pengguna.
Aspek pertama, regulasi. Jika memang kantong plastik dianggap berbahaya, pertanyaannya adalah mengapa masih tetap diizinkan beredar? Seharusnya ada regulasi tegas bahwa kantong plastik tidak boleh diproduksi. Pemotongan dari hulu melalui regulasi akan menyelesaikan masalah secara lebih cepat tanpa harus membuat perda masing-masing. Regulasi ini bukan beban masyarakat, melainkan tugas pemerintah.
Aspek kedua, pertimbangan ilmiah. Memang ada beberapa jenis substitusi untuk kantong plastik, bahkan diklaim lebih ramah lingkungan. Pertanyaannya, apakah klaim itu benar? Ternyata tidak juga. Sebagai catatan, agar “tas belanja ramah lingkungan” bisa dikatakan lebih ramah lingkungan daripada kantong plastik, tas belanja itu harus digunakan setidaknya 7.100 kali. Mengasumsikan seseorang belanja setiap hari dalam setahun, maka “tas belanja ramah lingkungan” itu baru dapat dikatakan ramah lingkungan setelah dipakai selama 19,45 tahun. Jika tidak belanja setiap hari, waktunya akan jauh lebih panjang.
Pertanyaannya, apakah model substitusi seperti ini dapat dijustifikasi secara ilmiah? Lagi-lagi, ini bukan tugas pengguna untuk menilai, melainkan tanggung jawab komunitas ilmiah dan menjadi pertimbangan oleh negara sebagai pemegang kebijakan.
Aspek ketiga, pengelolaan dan pengolahan pascapakai. Pada dasarnya, pengelolaan limbah adalah tugas negara karena volume limbah rumah tangga yang besar dengan jumlah penduduk yang banyak tidak memungkinkan untuk dikelola sendiri secara individu maupun komunitas. Persoalannya, pengelolaan sampah oleh negara juga tidak bagus-bagus amat. Pemilahan dan pemisahan limbah tidak pernah dilakukan secara sistematis dan konsisten. Sosialisasi dan regulasi tentang pemilahan limbah pun tidak pernah dilakukan terhadap masyarakat. Apalagi pembangunan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan limbah.
Sekurang-kurangnya tiga aspek ini bukanlah tugas masyarakat umum. Ada otoritas lebih tinggi yang seharusnya mengusahakan terlebih dahulu secara optimal. Sayangnya, fungsi tersebut tidak berjalan dengan seharusnya. Jadilah berbagai lembaga swadaya masyarakat dan organisasi yang harus bergerak secara komunal untuk berupaya membereskan masalah limbah plastik. Sayangnya, hal ini juga akan terbentur setidaknya pada dua masalah.
Pertama, jika lembaga/organisasi yang bersangkutan bersifat nirlaba, mereka akan kesulitan dalam pengembangan alternatif solusi teknis/peraturan untuk mengatasi masalah sampah. Ini karena pengelolaan limbah memiliki proses bisnis skala raksasa, sulit untuk dilakukan oleh lembaga bermodal minim dan yang bergantung pada donasi.
Kedua, jika lembaga/organisasi tersebut bersifat untuk laba, masalah pengelolaan sampah menjadi terkomersialisasi. Artinya, beban masyarakat menjadi bertambah besar karena sudah tentu beban finansial dari pengelolaan limbah ini ditimpakan pada masyarakat, bukan negara. Bahkan, hal ini dapat menjadi masalah baru, yakni ketidakkonsistenan dengan aturan untuk mengurangi, bahkan menghilangkan penggunaan kantong plastik. Efeknya, aturan pelarangan ini bisa hanya tinggal lip service belaka tanpa realisasi tegas.
Hal ini diperparah dengan kebijakan impor sampah plastik. Tidak seperti impor barang lain, pengimpor sampah plastik dibayar oleh negara asalnya untuk mengimpor sampah tersebut sebagai upaya menyingkirkan limbah dari negara mereka. Akibatnya, demi sejumlah kecil uang, sampah jadi tambah bertumpuk.
Meski demikian, kontribusi pihak lembaga/organisasi dalam mengupayakan solusi pengelolaan sampah perlu diapresiasi. Berbagai program pengolahan limbah hingga konsep zero waste yang dicanangkan berbagai komunitas tentu berperan dalam membangun kesadaran masyarakat dan mengurangi limbah. Bagi seorang muslim, hal tersebut jelas berpahala.
“Saat seorang pria sedang berjalan, tiba-tiba ia mendapati sebuah dahan berduri yang menghalangi jalan. Kemudian ia menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya.” (HR Bukhari).
Akan tetapi, dampaknya tentu relatif minuskul (sangat kecil, ed.) dan tidak menyentuh akar persoalan. Tidak bisa menjadi solusi tuntas atau bahkan sekadar memiliki signifikansi tinggi.
Bagaimana Islam Menyikapi Limbah Plastik?
Masalah limbah bukan masalah khas kapitalisme. Semua jenis pemikiran dan ideologi akan menghadapi masalah yang sama, khususnya dengan penduduk yang besar, industrialisasi yang masif, serta gaya hidup yang mengalami pergeseran. Namun, semua akan berbeda terkait pandangan hidup yang mendasari proses melahirkan peraturan untuk mengelola berbagai masalah dalam limbah.
Sebagai sebuah ideologi, Islam akan melahirkan peraturan yang dipancarkan dari akidah Islam. Mengingat Islam berasal dari Sang Pencipta—Allah Swt.—yang tidak memiliki konflik kepentingan sebagaimana manusia; serta tidak memiliki karakteristik lemah, terbatas, dan saling membutuhkan sebagaimana makhluk-Nya, secara rasional dapat dipahami bahwa peraturan yang dipancarkan dari akidah Islam ini dapat menyelesaikan berbagai persoalan manusia, termasuk limbah. Berbeda dengan aturan buatan manusia yang justru menyebabkan masalah dan tidak mampu mencari solusi, kecuali sembari menciptakan masalah baru.
Allah Swt. berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut sebagai akibat dari perbuatan tangan-tangan manusia. …” (QS Ar-Rum: 41).
Prinsip dasarnya, terkait lingkungan, Islam mewajibkan agar manusia menjaga lingkungan dan tidak merusaknya. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya, rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang beriman.” (QS Al-A’raf: 56).
Dengan demikian, limbah yang dapat membahayakan masyarakat dan merusak lingkungan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang, harus dikelola dengan benar sehingga potensi-potensi bahaya tersebut dapat dihindari.
Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah).
Pertanyaannya, seperti apa tata laksananya?
Pertama, pada level negara. Khalifah, pemimpin negara Islam, bertanggung jawab dalam menyelesaikan problematik seputar limbah, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Seorang imam (khalifah) adalah pengurus dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya.” (Muttafaq ‘alaih).
Oleh karenanya, secara prinsip, khalifah wajib menetapkan kebijakan yang tepat dalam mata rantai industri kantong plastik, mulai dari hulu sampai hilir. Khalifah berhak memutuskan dibolehkan atau dilarangnya peredaran kantong plastik di dalam wilayah negara. Namun, jika khalifah bukan pakar masalah ini, khalifah wajib berkonsultasi dengan para pakar di bidangnya untuk menimbang opsi mana yang paling bijak.
Jika bicara soal realitas fisik, kantong plastik sebenarnya bukan masalah lingkungan seandainya di hulu (front-end) sudah menginternalisasikan biaya pengelolaan limbah pada harga produk dan di hilir (back-end) terdapat sistem pengelolaan limbah yang mampu melenyapkan limbah plastik dalam bentuknya saat ini. Internalisasi biaya pengolahan limbah akan menyediakan dana yang kemudian dikumpulkan untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas pengelolaan limbah plastik. Hal ini tidak diterapkan dalam kapitalisme karena berarti biaya pokok produksi (BPP) kantong plastik akan bertambah dan menurunkan margin keuntungan mereka.
Dana yang didapatkan dari internalisasi biaya pengelolaan limbah kemudian akan dialokasikan oleh khalifah untuk berbagai kebutuhan terkait pengelolaan limbah, seperti pembangunan fasilitas pengolahan limbah kantong plastik dan membiayai operasionalnya. Dana ini dapat juga dijadikan insentif bagi komunitas atau individu masyarakat untuk menemukan teknologi pengolahan limbah plastik paling optimal, termasuk untuk memitigasi limbah plastik yang sudah tersebar di biosfer.
Salah satu alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh khalifah adalah plastic-to-oil conversion. Mengingat plastik adalah polimer hidrokarbon, maka plastik dapat didepolimerisasi untuk kembali menjadi senyawa hidrokarbon, dalam hal ini minyak atau gas sintetis. Proses ini dapat melenyapkan limbah plastik sekaligus meningkatkan nilai gunanya. Alternatif teknologi lain adalah insinerator plasma, yakni limbah plastik dilenyapkan dengan sistem pemanas temperatur yang sangat tinggi, tetapi cenderung boros energi.
Khalifah juga menetapkan regulasi tentang pengelolaan limbah, termasuk terkait pemisahan jenis limbah dan peta jalan utama alur pengelolaan limbah dari hulu hingga hilir, serta pelarangan impor limbah plastik dari luar negeri. Regulasi ini wajib diterapkan secara konsisten dan setiap penyimpangan terhadap alur proses harus ditindak tegas.
Sosialisasi ke masyarakat dilakukan secara masif oleh negara melalui berbagai sarana komunikasi, baik tatap muka maupun daring. Penyediaan sarana pemisahan limbah juga dilakukan di hulu, yakni dengan sistem pengolahan limbah terpisah disediakan di hilir. Penelitian lembaga riset negara dapat dialokasikan ke dalam pengembangan teknologi pengelolaan dan pengelolaan limbah plastik.
Kedua, pada level masyarakat. Berbagai komunitas di tengah masyarakat dapat berperan membantu khalifah dalam berbagai bentuk, mulai dari bantuan sosialisasi kebijakan, mengawasi alur pengelolaan dan pengolahan limbah, serta mengajak individu dengan program pengurangan volume sampah sejenis zero waste. Komunitas bekerja sebagai penyambung lisan dan peraturan dari khalifah ke unit-unit individual. Masyarakat dapat pula melakukan riset (dengan bantuan negara) untuk menemukan teknologi tepat guna yang memiliki potensi dalam pengelolaan dan pengolahan limbah plastik secara efektif dan efisien.
Ketiga, pada level individu. Ketakwaan individu mendorong seseorang untuk memahami perintah Allah terkait tidak membahayakan lingkungan. Walhasil, pemahaman (mafahim) tersebut mencegah dirinya untuk melimbahkan plastik sembarangan. Ketakwaan itu juga yang mengantarkannya untuk taat pada perintah khalifah dalam penerapan sistem pengelolaan limbah yang berlaku, serta tidak bersikap boros dalam penggunaan kantong plastik.
Demikianlah, betapa Islam dapat membereskan masalah limbah plastik secara tuntas. Individu, masyarakat, maupun negara memiliki perannya masing-masing yang saling mendukung.
Selaku pemimpin negara, Khalifah berkewajiban untuk membangun sistem pengelolaan sampah secara syar’i yang efektif dan efisien dalam perannya sebagai pemimpin umat yang menerapkan syariat Islam. Masyarakat dapat berperan membantu dalam tataran penyambung lisan Khalifah dengan jangkauan luas dan menyeluruh. Individu, digerakkan berdasarkan keimanannya, memahami taklif syarak pada dirinya untuk tidak merusak bumi yang sudah diciptakan Allah dengan setimbang.
Seluruh peran ini hanya akan berjalan sukses dalam sistem kenegaraan yang ideal untuk penerapannya, yakni Khilafah Islamiah. Ini mengingat hanya Khilafah sistem yang lahir dari akidah Islam dan menerapkan aturan yang dipancarkan dari akidah Islam, yang notabene merupakan syarat agar seluruh mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya dapat diterapkan. Wallahualam bissawab. (*)
Sumber: Muslimahnews.net