Oleh : Andi Affandil Haswat
(Mahasiswa Pascasarjana IAIN Parepare)
Pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) menyisakan waktu kurang lebih satu tahun. KPU dan Bawaslu sebagai pihak penyelenggara telah mulai bekerja melaksanakan tahapan-tahapan yang sebelumnya telah ditetapkan. Begitu pun dengan partai politik (khususnya non-parlemen), mempersiapkan segala perangkat untuk dapat memenuhi syarat lolos sebagai peserta pemilu, sehingga berpeluang mendudukkan orang-orangnya di kursi kekuasaan, baik sebagai anggota legislatif (DPR, DPRD) atau eksekutif (presiden, gubernur, bupati serta wali kota).
Bagi negara republik khususnya yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, fungsi utama pemilu untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat, atau sebagai representasi dari kedaulatan rakyat (memilih langsung wakil dan pemimpinnya sendiri). Oleh karenanya itu, pemilu merupakan salah satu sarana untuk legitimasi kekuasaan. Di Indonesia sendiri pernah menerapkan jenis sistem politik yang berbeda dari waktu ke waktu, termasuk beberapa kali pergantian sistem politik dari awal kemerdekaan hingga akhir orde Lama, kemudian berlanjut rezim orde baru, era reformasi, hingga saat ini (era pemilihan langsung). Namun apakah kekuasaan itu? Dan bagaimana memperolehnya?
Kekuasaan adalah wewenang yang diperoleh seseorang atau kelompok untuk menjalankan kekuasaan sesuai dengan wewenang yang diberikan, kekuasaan tidak boleh dilakukan di luar wewenang yang diperoleh. Kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang dipengaruhinya. Secara umum kekuasaan dapat berarti kekuasaan kelas, kekuasaan raja, kekuasaan resmi negara atau kekuasaan aparatur bersenjata.
Tidak salah bila kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain sesuai dengan kehendak pemegang kekuasaan tersebut, baik berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, hubungan kerja, hukum ataupun kekuatan fisik (senjata). Kekuasaan seringkali dalam bentuk hubungan, ada yang diperintah dan ada yang memerintah. Manusia bertindak sebagai subjek dan objek kekuasaan itu sendiri. Misalnya Presiden membuat hukum (subject of power) tetapi juga mentaati hukum (object of power). Di era modern sekarang, kekuasaan telah dibagi-bagi atau yang sering kita dengar dengan istilah trias politica.
Seorang filsuf yang masuk dalam 100 tokoh paling berpengaruh di dunia, bernama Machiavelli melalui risalah politknya berjudul il Principe (sang pangeran) pada tahun 1532 sekarang Italia, yang dianggap sebagian besar para pemimpin dunia telah membacanya bahkan ada yang mengatakan sebagai buku pedoman para diktator. Menjelaskan bahwa, ada dua pintu masuk seseorang dapat memperoleh kekuasaan, yang pertama, ialah pintu keberuntungan dan yang kedua adalah pintu kesempatan.
Maksud dari pintu keberuntungan ialah seseorang tersebut mendapatkan warisan kekuasaan dari pendahulunya misalnya raja menurunkan tahtanya kepada anak-anaknya, atau darah garis keturunannya mendapatkan bagian kekuasaan di wilayah yang lain. Sedangkan pintu kesempatan ialah seseorang dengan waktu yang tepat, keberanian, daya upaya, strategi-taktik, mental juang, pasukan sendiri, dengan kata lain, pengalaman dan sumber daya yang ia miliki, membangun kekuasaan, baik berupa hasil peperangan ataupun penaklukan.
Apa yang dikatakan Machiavelli 6 abad yang lalu, masih kental terjadi di setiap level kontestasi politik praktis hingga sekarang. Bahkan ada pintu baru yang lahir di dalam politik kekuasaan di Indonesia, yang penulis sebut sebagai pintu samping yaitu militer. Sejak soeharto melalui pintu kesempatannya mengambil-alih kekuasaan orde lama lalu berkuasa, Dwifungsi ABRI mulai di terapkan. Angkatan Bersenjata bisa masuk dalam semua jaring lapisan masyarakat Indonesia.
Para perwira militer memegang posisi kunci dalam semua tingkat kekuasaan pemerintahan termasuk wali kota, pemerintah provinsi, duta besar, perusahaan milik negara, peradilan, dan dapat menjadi anggota DPR tanpa proses pemilihan tapi melalui penunjukan (fraksi ABRI). Keterlibatan militer didalam politik praktis juga ditopang oleh modal pengajaran/pendidikan politik secara formal didalam sekolah-sekolah militer yang mereka dapatkan, baik ditubuh TNI atupun Polri dan puncaknya adalah Lemhanas.
Ketika pertama kali presiden dipilih secara langsung pada tahun 2004, tampak ketiga unsur pintu tersebut terwakili. Megawati Soekarnoputri (keberuntungan), SBY (militer) dan sisanya dari unsur kecendikiawanan (kesempatan). Di pilpres selanjutnya pun terjadi sama, namun di luar dugaan banyak pihak, Prabowo yang merupakan jenderal militer, anak menteri di eranya sekaligus menantu presiden dapat dikalahkan oleh seorang mantan pengrajin meubel, korban penggusuran melalui jargon kerakyatan (populisme). Kondisi yang sama juga banyak terjadi di pemilihan kepada daerah (pilkada).
Dari uraian sejarah politik yang ada, pintu keberuntungan/mempertahankan kekuasaan/ingin mengulang kekuasaan keluarga yang dulu, merupakan unsur yang tidak pernah alpa dari setiap kontestasi politik. Tapi yang menarik bagi penulis, ialah bagaimana seseorang yang awalnya masuk melalui pintu kesempatan, menang lalu berkuasa kemudian secara sadar tanpa malu-malu mentransformasikan dirinya membukakan pintu keberuntungan, pintu kekuasaan bagi keluarga dan orang-orang di sekitarnya, atau sering kita dengar dengan istilah politik dinasti.
Ataukah mungkin ini yang disebut sebagai penyakit dari kekuasaan, power syndrom (naluri untuk selalu berkuasa)? Namun, bagi penulis, singkatnya, setiap orang mempunyai hak yang sama, tetapi tidak semua orang memiliki hak yang sama untuk menikmati hak-hak tersebut. Proses perjalanan politik anak seorang petani tentu berbeda dengan istri bupati, untuk bisa menjadi bupati. Dan paling sering beruntung adalah mereka yang menjadi menantu dari orang yang tengah berkuasa.
Kemenangan Joko Widodo dalam dua kali pilpres melawan kekuatan lama yang kuat, serta tidak terkalahkan dalam setiap kontestasi yang ia lakoni. Telah memberikan harapan kepada seluruh anak bangsa agar tetap berani, tidak minder untuk menggantungkan cita-citanya setinggi langit, dalam hal ini kepemimpinan apapun latar belakangnya.
Penulis berharap, agar pemilu/pilkada sebagai gerbang utama, arena perebutan mendapatkan kekuasan politik, dapat dijalankan dengan kondusif, tidak dengan tipu muslihat, kecurangan, kekerasan, serta sikap-sikap yang amoral, atau menghalalkan segala cara. Terhindar dari money politik serta netralitas birokrasi yang terjaga.
Terakhir, bagaimana cara mengentaskan kemiskinan? Ialah dengan memberikan kekuasaan pada si miskin. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.