Realitasnya bahwa seburuk-buruknya suatu kejahatan tetapi tidak seburuk “pembusukan sistem penegakkan hukum” karena sistem hukum yang “membusuk” dapat menjerat siapa saja, entah orang baik/ benar ataukah orang itu buruk /salah. Bahkan sistem hukum yang membusuk (rusak/menyimpang) sangat naif mewujudkan keadilan dan kepastian hukum itu sendiri.
PK JPU/Jaksa Agung.
Hakekat hukum sebagai panglima adalah siapapun harus taat pada hukum termasuk aparat penegak hukum yang menjadi pemangku kekuasaan mewujudkan penegakkan hukum itu sendiri. Bila aparat penegak hukum mengedepankan ego dan mengabaikan prinsip dan norma hukum, maka eksistensi esensi hukum sebagai panglima hanyalah sebatas simbolik belaka. Sekarang yang menjadi pertanyaan mendasar 1). Apakah dasar hukum PK JPU/Jaksa Agung, tepat menurut hukum 2). Apakah motif dan kepentingan JPU /Jaksa Agung mengajukan PK, dan 3). Apakah proses hukum yang menyimpang dari dari kehendak hukum sah menurut hukum.
Berdasarkan KUHP khususnya Pasal 76 ayat 2 angka (1) Putusan bebas atau lepas seseorang dari segala tuntutan hukum yang sifatnya berkekuatan hukum tetap, maka tidak boleh diadakan penuntutan. Hal ini mengandung makna : 1). Orang yang bersangkutan tidak boleh dituntut kembali atau diproses hukum yang kedua kalinya dalam perkara yang sama, 2). Tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan aparat penegak hukum untuk menuntut orang tersebut, 3). Kedudukan hukum, harkat dan kehormatan orang yang bersangkutan kembali seperti semula seperti masyarakat pada umumnya.
Bila seseorang yang divonis bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang sifatnya berkekuatan hukum tetap, kedudukan hukum, harkat, martabatnya dan kehormatannya kembali pulih seperti semula, tanpa dengan embel-embel tersangka/terdakwa bahkan seolah-olah tak pernah diproses hukum seperti masyarakat pada umumnya. Tentu sangat ironis bila masyarakat pada umumnya tanpa sebab, tiba-tiba dituntut dihadapan hukum. Kondisi demikian tidaklah berbeda perkara Djoko Tjandra setelah 8 (delapan) tahun hidup bebas dan terlepas dari segala perkara hukum karena MA tahun 2001 menolak kasasi JPU dan melepaskan Djoko Tjandra dari dari segala tuntutan hukum.
Siapa sangka, pada bulan Oktober 2008 tiba-tiba JPU/Jaksa Agung mengajukan peninjauan kembali (PK) dan MA pada bulan Juni 2009 menjatuhkan vonis pidana penjara selama 2 tahun terhadap Djoko Tjandra. Realitasnya PK JPU jauh lebih buruk daripada orang dituntut kembali atau kedua kalinya terhadap perkara yang sama, karena orang yang dituntut kembali masih memiliki hak untuk melakukan pembelaan, sedangkan dalam pengajuan PK JPU ke-MA, pihak yang dituntut hanya pasrah menunggu nasib. (Bersambung)
*Penulis adalah Ketua Umum LBH-NU dan Ketua Umum YLBH Sunan Parepare.
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.