Oleh: Nida Alkhair
Apakah Anda sudah mendapat tunjangan hari raya (THR)? Barakallahu fikum. Bagi yang mendapatkan THR tentu merasakan kebahagiaan tersendiri. Ada dana untuk mudik, membeli baju, kue, dan bingkisan, serta bersedekah. Sayangnya, tidak semua pekerja bisa menikmati kebahagiaan ini karena tidak mendapatkan THR.
Di antara pekerja yang tidak mendapatkan THR adalah pengemudi ojek online (ojol) dan kurir. Status mereka bukanlah karyawan perusahaan, melainkan kemitraan. Alhasil, mereka tidak termasuk pekerja yang berhak mendapatkan THR berdasarkan Permenaker No. 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan .
Para pengemudi ojol tentu protes terhadap kebijakan ini, tetapi perusahaan kukuh tidak memberi THR dan justru menawarkan “solusi” berupa pemberian insentif bagi pengemudi ojol dan kurir yang bekerja saat Hari Raya.
Hal ini sungguh tidak manusiawi karena para pengemudi ojol dan kurir dituntut untuk bekerja pada saat Lebaran jika ingin mendapatkan uang lebih. Apalagi insentif tersebut belum tentu ia dapat karena harus memenuhi syarat waktu dan jumlah order tertentu (Tempo, 4-4-2024). Jika tidak bisa memenuhinya, pengemudi ojol hanya bisa gigit jari.
Menanggapi tuntutan THR untuk pengemudi ojol ini, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan baru akan merumuskan aturan THR untuk pengemudi ojol pada Mei 2024. Artinya, untuk tahun ini, para pengemudi ojol tetap tidak mendapatkan THR.
Mirisnya lagi, nasib para pengemudi ojol dan kurir ini sesungguhnya merupakan akibat akad kerja yang zalim. Posisi para pengemudi ojol dan kurir sangat lemah karena mereka adalah pihak yang membutuhkan pekerjaan, sedangkan perusahaan aplikator sebagai pemberi kerja. Sedangkan di dalam sistem kapitalisme, posisi pekerja sangat lemah karena perusahaan memiliki modal yang besar sehingga memiliki kuasa. Istilah “lu punya duit, lu punya kuasa” berlaku di sini.
Ditambah jumlah pencari kerja dan pemberi kerja yang tidak seimbang. Jumlah pencari kerja sangat membeludak, sedangkan pemberi kerja berjumlah sedikit sehingga terbentuk mindset bahwa pekerja yang butuh pada pemberi kerja dan tidak sebaliknya. Akhirnya terjadi kastanisasi hubungan antara pemberi kerja dan pekerja.
Saling Tolong-menolong
Hal ini berbeda dengan sistem Islam yang mendudukkan hubungan antara pekerja dan pemberi kerja adalah hubungan saling tolong-menolong (taawun). Pekerja menolong pemberi kerja untuk memproduksi barang dan jasa, sedangkan pemberi kerja menolong pekerja dengan memberi upah yang layak. Keduanya saling bekerja sama untuk memberikan kebaikan sehingga hasilnya adalah saling rida.
Keberadaan pekerja dan pemberi kerja merupakan suatu hal yang wajar dan alami karena Allah Swt. menciptakan manusia dengan bermacam-macam potensinya. Ada yang memiliki kemampuan bekerja, ada juga yang memiliki kemampuan sebagai pemimpin. Ada yang tidak memiliki modal, ada juga yang punya modal besar. Demikianlah faktanya. Dengan demikian, wajar saja ada yang menjadi pekerja dan ada yang menjadi pemberi. Kedudukan keduanya setara, tidak ada kastanisasi.
Upah yang Layak
Pemberi kerja wajib membayar upah pekerjanya. Allah Swt. berfirman, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu, berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thalaq: 6).
Pembayaran upah wajib disegerakan setelah selesainya pekerjaan. Rasulullah saw. bersabda, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR Ibnu Majah, sahih).
Di dalam Islam, pekerja dan pemberi kerja harus membuat akad terkait pekerjaan, termasuk upah yang diberikan. Keduanya harus sepakat dengan saling rida atas akad tersebut sehingga tidak ada pihak yang terzalimi. Oleh karenanya, ada tidaknya THR bagi pekerja tergantung pada isi akad tersebut.
Dalam pelaksanaannya, kedua belah pihak wajib memenuhi akad. Pekerja wajib bekerja sesuai dengan tugas pokoknya. Sedangkan pemberi kerja wajib memberikan hak pekerja. Jika ada sengketa di antara keduanya, negara berperan untuk menyelesaikan.
Kesejahteraan Rakyat Tanggung Jawab Negara, Bukan Perusahaan
Tugas riayah syu’unil ummah (mengurusi urusan rakyat) bukanlah tugas perusahaan. Hal ini karena hubungan pekerja dan pemberi kerja hanyalah sebatas hubungan kerja atau hubungan pengupahan. Satu pihak wajib bekerja, pihak lain wajib mengupah.
Adapun terkait persoalan kesejahteraan, seperti jaminan pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan bukanlah tanggung jawab perusahaan, melainkan merupakan tanggung jawab negara (pemerintah). Hal ini karena penguasa adalah ra’in ‘an ra’iyatihi (pengurus bagi rakyatnya).
Dengan demikian, yang wajib untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat adalah penguasanya. Sedangkan pengusaha hanya menjalankan kewajiban sebagai pemberi kerja. Jika pengusaha mangkir terhadap kewajibannya, negara akan memberi sanksi tegas yang menjerakan. Begitu juga jika pekerja melanggar akad, akan ada sanksi yang tegas
Masalah muncul ketika pemerintah melepaskan tanggung jawabnya untuk mengurusi rakyat. Hal ini seperti yang terjadi di negeri kita saat ini. Negara berlepas tangan di dalam menyediakan kebutuhan primer warganya sehingga rakyat harus membeli semua layanan negara dengan harga mahal. Akibatnya, perusahaan dituntut untuk memberikan kesejahteraan bagi pekerja, salah satunya adalah melalui pemberian THR.
Oleh karenanya, di dalam khilafah tidak akan muncul polemik seputar THR karena sudah jelas di dalam akad terkait ada tidaknya THR bagi pekerja di sebuah perusahaan. Selain itu, negara sudah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyat sehingga kesejahteraan rakyat akan terpenuhi. Wallahualam bissawab. (*)
Sumber: Muslimahnews.net