OPINI — Dalam satu minggu terakhir, jagat politik Indonesia diwarnai isu yang sangat sensitif dan mengundang pandangan semua pihak. Baik akademisi, politisi dan aktivis. Bermula saat Bahlil Lahadalia yang menyampaikan hal itu sebagai respon terhadap keinginan sebagai pengusaha dengan berbagai alasan.
Beberapa hari kemudian Muhaimin Iskandar menyampaikan hal yang sama setelah mendengar pandangan sebagian pengusaha. Setelah itu Ketum PAN Zulkifli Hasan juga menyampaiakan hal serupa yakni tentang kemungkinan penundaan pemilu dengan berbagai pertimbangan.
Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Golkar saat melakukan kunjungan di Riau dan berdialog dengan para petani kelapa sawit yang menyampaikan harapan agar menunda pemilu dan perpanjangan masa bakti Presiden sampai 2026, maka Pak Airlangga mengatakan bahwa akan menyampaikan aspirasi tersebut kepada parlemen karena ini masuk wilayah politik di MPR sebagai saluran aspirasi rakyat.
Apa yang disampaikan, baik oleh pengusaha maupun oleh petani tersebut di atas kepada Pak Bahlil dan ketiga Ketua Umum Partai politik tersebut adalah hal yang biasa dalam politik yakni bahwa aspirasi memang harus didengarkan lalu diformulasikan keputusannya. Namun harapan dan aspirasi yang sebenarnya makin memperkaya wacana politik tersebut kemudian dimanfaatkan oleh beberapa elite politik untuk menjust bahwa ada partai politik yang mendukung penundaan pemilu dan perpanjangan masa bakti presiden sampai 2026.
Dalam catatan saya belum ada satu pun partai politik yang memutuskan hal itu termasuk Pak Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar. Reaksi beberapa partai seperti PDIP, Nasdem, PKS, Demokrat saya kira sangat berlebihan dan menegaskan seolah-olah partai sudah terbelah atas isu tersebut. Masalahnya adalah bisa jadi ke empat partai tersebut di atas mungkin tidak atau belum mendengar aspirasi tersebut karena belum pernah ada forum dimana isu seperti itu dipertanyakan. Khusus Golkar saya kira belum pernah ada pembicaraan terkait hal itu kecuali respon parsial kader apalagi dianggap menyetujui.
Golkar sadar bahwa ini isu yang sangat sensitif dan bisa berdampak luas serta berimplikasi terhadap konstalasi kehidupan politik, maka Ketua Umum Partai Golkar Pak Airlangga Hartarto tentu akan membahasnya dengan melibatkan seluruh stakeholder, unsur DPD I Golkar dan seluruh senior Partai. Demikian pula dengan Ormas pendiri Golkar yakni Kosgoro 57, Ormas MKGR dan Soksi serta ormas yang didirikan antara lain AMPI, MDI, Satkar Ulama, Al Hidayah dan HWK. Demikian pula dengan sayap Partai yakni AMPG dan KPPG. Sejauh ini belum ada pembahasan dalam stakeholder tersebut dan saya tahu bahwa Pak Airlangga Hartarto adalah tokoh yang konsisten pada konstitusi dan mekanisme partai.
Sebagai Ketua Umum Partai yang selama ini selain beliau dikenal sangat demokratis dan konstitusionalistik juga selalu sangat hati-hati serta mengedepankan berlangsungnya proses komunikasi politik atas isu-isu politik publik untuk kepentingan negara dan rakyat guna diformulasi pada tataran sistem kenegaraan, maka saya tidak percaya jika Pak Airlangga Hartarto bisa menyetujui penundaan pemilu yang telah diteguhkan oleh Undang- Undang sebagai siklus 5 tahunan.
Pemilu 5 tahunan itu selain adalah amanat rakyat yang turut diperjuangkan oleh Golkar dan karena itu sangat tidak mungkin Golkar berada pada barisan yang mendukung ide penyelenggaraan negara termasuk jabatan Presiden di luar yang termaktub dalam Undang-Undang terutama soal perpanjangan jabatan presiden dan penundaan pemilu tanpa alasan yang dimungkinkan oleh konstitusi negara. (*)
*Penulis adalah Sekjen Kosgoro 1957 dan Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Golkar
Tulisan opini yang dipublikasikan di media siber PIJARNEWS.COM menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.