OPINI– Idulfitri adalah salah satu hari raya umat Islam sebagai bentuk hari kemenangan bagi kaum muslimin. Setelah menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Idulfitri jatuh pada tanggal 1 Syawal pada Kalender Hijriyah. Melalui rukyah atau pengamatan langsung terhadap hilal.
Thomas Djalaludin, peneliti astronomi dan astrofisika di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan hilal adalah Bulan Hijriah dimulai dengan bulan baru, yang merupakan bulan sabit pertama setelah maghrib.
Biasanya dalam mengamati hilal, bulan harus berada dua derajat di atas matahari dan perpanjangan matahari harus ke kanan atau ke kiri agar bulan baru dapat terlihat. Strategi yang digunakan adalah melihat dengan menggunakan mata telanjang atau menggunakan alat optik seperti teleskop.
Muhammadiyah: Metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal
Berdasarkan hasil perhitungan atau pengamatan hilal yang dilakukan di bawah arahan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Muhammadiyah telah menetapkan Idulfitri dengan menggunakan metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal.
Hisab berarti perhitungan secara harfiah. Dalam astronomi Islam, istilah “menghitung” sering digunakan untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan dalam hubungannya dengan bumi.
Metode penghitungan Muhammadiyah menggunakan pergerakan Bulan yang sebenarnya di langit, yang menentukan kapan bulan dimulai dan berakhir berdasarkan posisi atau perjalanan Bulan. Perhitungan esensial adalah nama yang diberikan untuk metode penghitungan ini.
Muhammadiyah menggunakan hisab yang benar karena berdasarkan Bulan dan Matahari pada saat itu, perhitungan yang dibuat tentang bagaimana Bulan dan Matahari bergerak di langit harus benar dan akurat.
Muhammadiyah menggunakan kriteria bentuk hilal dalam metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal ini, yang menyatakan bahwa matahari terbenam lebih awal dari bulan, meskipun hanya beberapa menit. Pemikiran ini dicetuskan pakar antariksa Muhammadiyah Wardan Diponingrat.
Menurut Buku Panduan Hisab Muhammadiyah, menurut metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal, awal bulan baru terjadi pada hari ke-29 ketika tiga syarat terpenuhi secara total.
Sementara syarat yang dimaksud adalah telah terjadi ijtimak, ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan piringan bulan bagian atas masih berada di atas ufuk saat matahari terbenam. Bulan berjalan akan diperpanjang 30 hari jika salah satu persyaratan ini tidak terpenuhi, dan bulan berikutnya akan dimulai lusa.
Muhammadiyah berpandangan bahwa metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal lebih pasti dibandingkan dengan strategi retribusi lainnya, misalnya retribusi bawaan imkanur rukyat. Muhammadiyah berpendapat bahwa bulan baru akan terjadi keesokan harinya jika Bulan berada di atas cakrawala saat matahari terbenam di seluruh Indonesia, terlepas dari ketinggiannya meski hanya 0,1° di atas cakrawala.
Nahdlatul Ulama: Metode Rukyatul Hilal
Dengan dalih mengikuti ijtihad ulama empat mazhab dan sunnah Nabi dan para sahabat, Nahdlatul Ulama (NU) menerapkan kriteria ini di Indonesia. Namun, hisab tetap digunakan, meski tidak untuk menentukan kapan bulan Hijriah dimulai. Sebaliknya, itu digunakan sebagai alat.
Dengan mengamati hilal secara langsung, kriteria penentuan awal bulan penanggalan Hijriah adalah Rukyatul Hilal. Bulan kalender saat ini terpenuhi (istikmal) selama 30 hari jika bulan baru (sabit) tidak terlihat atau tidak terjadi.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)”.
Perbedaan dalam Menentukan Rukyah Hilal
Kebanyakan dari kita, belum tau bagaimana cara untuk melihat hilal. Apalagi alat optik seperti teleskop masih minim dimiliki oleh masyarakat. Sehingga susah dalam menetapkan kapan masuk 1 Syawal.
Maka kebanyakan dari kita akan bertanya-tanya. Kapan Idulfitri? Hari apa? Kapan tiba 1 Syawal 1444 H? Hal tersebut tergantung anda akan mengikuti ijtihad dari mana, apakah dari Muhammadiyah ataukah Pemerintah dan NU.
Penetapan tentang kapan tibanya 1 Syawal dengan dilaksanakan salat Idulfitri adalah sebuah hal yg kontroversial. Yaitu masalah perbedaan pendapat dari dua sisi yang berlainan sehingga terjadi suatu konflik.
Akibatnya pada Idulfitri tahun 2023, akan dilaksanakan dua kali dalam tahun ini yang didasari oleh 2 pendapat:
Jumat, 21 April 2023, saudara kita dari Muhammadiyah berhari raya karena hasil dari hisab Wujudul Hilal, posisi hilal sudah ada di atas ufuk lebih dari nol derajat.
Sabtu, 22 April 2023, saudara kita dari NU, Persatuan Islam (Persis), dan pemerintah sebagaimana hasil hisab imkanur rukyat yang memakai kriteria Neo Mentri Agam Brunei. Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) di mana tinggi hilal masih di bawah tiga derat.
Perbedaan ini sering kali menjadi perselisihan sehingga terjadi percekcokan antara kaum muslimin dalam menetapkan kapan berhari raya. Padahal itu hanyalah sebuah pilihan.
Sampai saat ini, dari zaman Nabi Saw, Sahabat, Tabi’in bahkan sampai hari ini, dalam menentukan awal bulan Hijriyah pada dasarnya telah digunakan Strategi Rukyatul Hilal dan Hisab. Antara kedua teknik tersebut, belum pernah selesai, yang pada akhirnya jika hilal tidak terlihat di lokasi, jalan yang diambil adalah Istikmal. Kemudian bagaimana dengan hasil Hisab? Padahal hasil hisab para ahli mengungkapkan bahwa hilal berada di atas ufuq (katakanlah antara 0 sampai 2 derajat), padahal untuk rukyat bisa saja gagal atau tidak berhasil. Apakah kita tetap bersikukuh Istikmal dengan dalih bahwa itu yang dilakukan Nabi, para sahabat, dan sebagainya, sementara hasil hisab tampak tertutup untuk menentukan awal bulan penanggalan Hijriah? Ini tampaknya dinomor duakan, atau hanya untuk membantu mempermudah rukyat.
Jika seseorang bertaklid untuk mengikuti ijtihad pemerintah di hari Sabtu. Maka dia harus tetap menjalankan dan menambah puasanya di hari Jum’at. Apabila seseorang bertaqlid untuk mengikuti ijtihad Muhammadiyah maka laksanakanlah salat Idulfitri di hari Jum’at dan berbukalah. Maka masing-masing mengikuti hasil ijtihad yang telah diyakininya tanpa saling menyalahi.
Sekarang, pertanyaannya adalah apakah kita masing-masing baik dari organisasi agama (Islam) mana pun, jika kita mau dan mampu mengorientasikan kembali pemikiran kita untuk membuka diri untuk menjunjung tinggi kebersamaan dan menipiskan perbedaan, maka insya Allah derajat variasi pelaksanaan awal Ramadhan atau Idulfitri dari tahun ke tahun tidak akan terulang kembali. Setidaknya perbedaan itu akan hilang dengan sendirinya. Wallahu A’lam.
Maka di Hari Raya Idulfitri ini, yang merupakan hari kemenangan kita, mari kita menjujung tinggi nilai persaudaraan tanpa perselisihan disebabkan masalah perbedaan pendapat. Minal Aidin wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin.(*)
Penulis : Arfian Alinda Herman (Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, IAIN Parepare)