PIJARNEWS.COM — Penggalan lagu Pasha Ungu yang mengandung pertanyaan “pernahkah kau merasa hatimu hampa?”. Lagu ini terkenal dikalangan anak muda termasuk dikalangan orang tua, pertanyaan dalam lagu ini menggelitik.
Perasaan hati yang hampa itu bisa sebagai akibat dari suatu ikhtiar atau rencana yang tak kesampaian padahal segala daya upaya untuk mencapainya sudah diupayakan secara maksimal atau bisa juga sebagai bentuk keputus asaan, frustasi yang seolah tak mungkin lagi ada solusinya atau bisa juga karena tidak ada teman ngobrol untuk membahas masalah pelik yang sedang dihadapi seseorang.
Hati yang terasa hampa yang paling tidak rasional tetapi banyak orang yang tak kuasa cepat move on, yaitu ketika seseorang mengalami putus cinta karena seolah si dia tak ada lagi penggantinya. Tentu beragam penyebab yang membuat hati seseorang menjadi hampa, kalangan muda menyebutnya bete atau galau.
Seorang sahabat saya menceritakan tantangan yang pernah dilaluinya sambil matanya berkaca-kaca, suatu urusan yang amat sangat penting dan strategis, bukan hanya untuk kepentingan dirinya tetapi yang lebih terpenting adalah urusannya itu dimaksudkan untuk kemaslahatan masyarakat luas.
Tetapi apa hendak dikata meski segala upaya telah dilakukan untuk meraih apa yang direncanakan ternyata disaat enjoritime, pupus sudah harapan itu. Urusan sahabat saya itu membutuhkan biaya 2,5 milyar, tentu uang yang tidak sedikit untuk ukuran pekerja pada umumnya. Sebelumnya ada juga biaya yang dikeluarkan sekitar 500-an juta rupiah.
Tetapi semua pengorbanannya berupa uang, tenaga dan pikiran tak membawa hasil. Tentu manusiawi jika hati sahabat saya itu terasa hampa, psikisnya tidak kuat menghadapi hasil akhir yang mengecewakannya. Namun saya sangat gembira mendengar ceritanya karena disaat semua akses sudah tertutup, sahabat saya itu segera berwudhu dan sholat sunat dua rakaat, suatu simbol bahwa dia yakin bahwa Tuhan pengambil keputusan terbaik.
Seberapa kuat seseorang menghadapi perasaan hati yang hampa?, jawabannya sangat subjektif, setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda dan masing-masing orang memiliki sikap dan cara yang berbeda merespon perasaan hati yang sedang hampa.
Ada yang tetap optimis seraya membatin bahwa kali ini saya gagal tetapi esok insya Allah saya akan berhasil. Sebaliknya ada pula yang pasimis seraya membatin bahwa saya tidak cocok dengan bidang ini. Sikap optimislah yang seharusnya menjadi pilihan agar rencana atau niat baik itu akan terus tertanam di dalam hati sebagai penyemangat.
Sikap otimis itulah yang membuat seseorang memiliki karakter yang kuat, konsisten pada pilihan yang diyakininya sehingga orang lainpun terpengaruh dengan sikap dan keyakinannya dan akhirnya terkonsolidasi menjadi keyakinan kolektif terhadap cita-citanya yang mulia itu.
Perasaan hati yang hampa itu, waktunya tidak boleh lama, terlebih jika yang mengalaminya adalah pemimpin, karena akan memberi efek buruk bagi pengikutnya, pengikutnya bisa kehilangan semangat untuk bertahan padahal perjuangan untuk mencapai cita-cita bersama itu membutuhkan sikap optimis dan keyakinan kolektif.
Untuk mengatasi permasalahan yang ruwet conplicated tidak semudah membalik telapak tangan, ketika orang lain mengalaminya kita bisa memberi semangat dan solusi tetapi giliran kita yang mengalaminya terlebih ketika hati terasa hampa, tentu peran orang lain sangat berarti.
Jika sekiranya ada diantara pembaca yang mengalami permasalahan besar dan berefek menjadi hati anda menjadi hampa, apa sikap dan tindakan yang anda tempuh untuk keluar dari permasalahan tersebut ?
Penulis: Ibrahim Fattah (Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Parepare)
Kontak person: tlp/wa 08124265292.