OPINI — Sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia, menerbitkan Perppu sebagai instrumen hukum untuk mengakomodir aspirasi rakyat dan menyelamatkan negara dari keadaan genting (darurat) tentu pilihan yang harus dilakukan Presiden. Bahkan tindakan yang lebih ekstrem justru pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno. Demi menyelamatkan negara, melalui Keputusan Presiden No. 150/1959 (Dekrit 5 Juli 1959) menetapkan pemberlakuan kembali konstitusi (UUD 1945). Meski kontroversial, 17 hari kemudian (22 Juli 1959), dekrit tersebut ternyata mendapat legitimasi DPR yang secara aklamasi “menerima harapan Presiden untuk bekerja terus dalam bingkai UUD 1945”.
Secara teoritis, tindakan-tindakan Presiden tersebut berlandaskan pada teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Staatsnoodrecht berarti keadaan darurat negara sehingga hukum yang berlaku adalah hukum yang memang dimaksudkan untuk berlaku dalam keadaan darurat (Jimly Asshiddiqie, 2007). Pada situasi ini, negara (cq. Presiden) dapat bertindak dengan cara menyimpang dari ketentuan UU, bahkan jika diperlukan dapat menyimpang dari UUD.
Pengalaman Presiden Jokowi dalam penerbitan Perppu bukanlah yang pertama kali. Bahkan sebelumnya sempat menerbitkan Perppu yang cukup kontroversial, yaitu Perppu No. 2/2017 yang isinya mengubah sebagian materi muatan UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun, pilihan untuk menerbitkan Perppu ini juga bukan hal yang ringan. Karena selain harus mempertimbangkan parameter hukum sesuai Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, penerbitan Perppu juga perlu mempertimbangkan kalkulasi dukungan politik di DPR.
Meski demikian, menurut penulis penerbitan Perppu KPK mestiya tidak terkesan seperti produk hukum murahan dari Presiden. Disamping Presiden juga harus berhadapan dengan kekuatan politik DPR. Presiden juga harus tunduk pada ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang mengharuskan Perppu harus mendapat persetujuan DPR agar dapat disahkan dan berlaku sebagai UU. Sementara itu, Perppu harus dicabut apabila tidak mendapat persetujuan dari DPR.
Selain itu Presiden juga harus tunduk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 yang mengatur Syarat lahirnya Perppu adalah kegentingan yang memaksa. Apa itu kegentingan yang memaksa? Kewenangan Presiden membuat Perppu lahir dari Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Namun apa yang dimaksud ‘kegentingan yang memaksa’? Tidak dijelaskan dalam UUD 1945.
Menurut putusan MK 138/PUU-VII/2009, tafsir kegentingan yang memaksa adalah:
1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Menurut MK, pembuatan Perppu memang di tangan Presiden yang artinya tergantung kepada penilaian subjektif Presiden. Namun demikian tidak berarti bahwa secara absolut tergantung kepada penilaian subjektif Presiden karena sebagaimana telah diuraikan di atas penilaian subjektif Presiden tersebut harus didasarkan kepada keadaan yang objektif yaitu adanya tiga syarat sebagai parameter adanya kegentingan yang memaksa. Dalam kasus tertentu dimana kebutuhan akan Undang-undang sangatlah mendesak untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perppu bahkan dapat menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perppu sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.
Menurut penulis, posisi UU KPK sendiri tidak berada dalam tiga situasi yang termuat dalam Putusan MK diatas. Terutama upaya pemberantasan korupsi tidak akan berhenti dengan adanya UU KPK dan tidak terjadi kekosongan hukum, sehingga tidak ada urgensi mengeluarkan Perppu. Negara tetap menjalankan kewajibannya untuk memberantas korupsi dengan tiga lembaga penegak hukum yaitu KPK, Polri dan Kejaksaan.
Untuk itu penulis menilai belum ada kebutuhan mendesak yang terjadi untuk menyelesaikan persoalaan Korupsi di Indonesia, UU KPK hasil revisi merupakan itikad baik dari DPR dan pemerintah. Namun upaya DPR dan pemerintah menguatkan KPK itu dianggap sebagai upaya melemahkan KPK. Bagi yang sudah membaca dan menganalisis UU KPK yang disahkan sebenarnya hanya ada beberapa Pasal yang harus dihapus atau direvisi nomenklaturnya. Misalnya, terkait penyadapan yang harus mendapatkan izin Dewan Pengawas. Kalau tidak setuju dengan Pasal tersebut bisa mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Pilihan ini cukup rasional dan secara yuridis formal dapat berkekuatan hukum tetap. Tidak ada lagi penolakan dari Anggota DPR karena putusan MK bersifal final dan mengikat setelah dibacakan di depan persidangan yang terbuka untuk umum.
Jika ukuran kebutuhan mendesak hanya dilihat dengan banyaknya aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah akan menjadi preseden buruk ke depan. Hal ini dapat membuat Presiden akan mudah diarahkan untuk menerbitkan Perppu. Cukup dengan demonstrasi yang terstuktur, sistematis, dan massiv maka terciptalah kondisi kebutuhan mendesak yang dapat dimaknai hal ikhwal dan kegentingan memaksa.
Kita bisa membandingkan Perppu Ormas pada tahun 2017. Menurut penulis, saat itu Jokowi dalam keadaan kegentingan yang memaksa karena ada ancaman terhadap eksistensi Pancasila oleh ormas radikal seperti HTI. Ketika yang terancam adalah Pancasila yang merupakan dasar negara dan falsafah hidup bangsa, maka tentu menjadi hal ihwal yang memaksa bagi negara untuk melakukan tindakan hukum. UU Ormas yang ada membuat posisi negara sangat lemah ketika berhadapan dengan ormas radikal, negara tidak bisa serta-merta mencabut status badan hukum ormas radikal. Karena itu UU Ormas harus direvisi melalui Perppu karena melalui proses legislasi sangat lama dan belum tentu berhasil.
Kita semua sadar bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia adalah tugas semua lembaga negara. KPK harus diberikan kewenangan yang sebesar-besarnya tapi tentu harus ada batasan dalam hukum, agar KPK tidak melakukan pemberantasan korupsi dengan cara tidak melanggar Hak Asasi Manusia. KPK harus menggunakan kewenangan yang berikan dalam undang-undang secara transparan, secara akuntable dan juga secara profesional, untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kewenangan, dan disamping itu tentunya untuk menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia sebagai prinsip utama dalam sebuah Negara Hukum dan Demokrasi. (HP/WA Rusdianto Sudirman 0811-4105-237)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.