Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi., M.Si
Presiden Jokowi menyatakan segera mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Media Sustainability (keberlanjutan media). Ini adalah produk hukum yang akan mengatur pola kerja sama dan hubungan antara media dan platform global demi ekosistem pers yang berkeadilan. (Viva News, 6-2-2023).
Perpres Media Sustainability
Perpres Media Sustainability ini menyandarkan pada UU 40/1999 tentang Pers. Presiden Jokowi mengatakan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G. Plate telah mengajukan izin prakarsa mengenai rancangan perpres tentang kerja sama perusahaan platform digital dengan perusahaan pers untuk mendukung jurnalisme berkualitas. Jokowi pun meminta kepada Menkominfo dan Dewan Pers mengebut draf Perpres tersebut agar selesai dalam waktu maksimal sebulan.
Jokowi menjelaskan dasar rancangan Perpres tersebut, yakni karena industri media konvensional menghadapi tantangan cukup berat. Menurut Jokowi, sebagian media saat ini sudah mengembangkan diri ke media digital, tetapi dominasi platform asing dalam mengambil belanja iklan daring—yang porsinya mencapai 60%—menyulitkan media dalam negeri. Akibatnya, sumber daya keuangan media konvensional menjadi berkurang. Oleh karena itu, Jokowi berharap Perpres tersebut dapat menjadi solusi.
Namun, menilik tantangan dunia pers saat ini yang tidak hanya persoalan seputar industri media, seperti apa output yang bisa menjadi peluang bagi revolusi pers nasional?
Pilar Demokrasi
Sudah rahasia umum bahwa pers adalah salah satu dari empat pilar demokrasi. Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro mengingatkan agar media tidak melupakan misi utamanya dan kembali kepada idealismenya semula, jika dari sisi finansial sudah relatif terpenuhi.
Namun, di balik itu, kita bisa melihat bahwa pers juga mengemban kepentingan pihak-pihak yang bermain di alam demokrasi itu sendiri, tidak terkecuali jejaring konglomerasi media. Lihat saja, sejumlah politisi maupun pejabat negara bahkan menduduki posisi penting di berbagai media mainstream di negeri ini.
Realitas ini sekaligus menegaskan bahwa pers justru makin kehilangan idealismenya sebagai sarana penyiaran, yakni yang semestinya menyebarluaskan kebenaran, malah menjadi menderaskan kepentingan pihak tertentu. Kerja sama antara media konvensional dan perusahaan platform digital juga menunjukkan secara kasat mata akan lepas tangannya penguasa terhadap pengelolaan dan pengawasan dunia pers nasional dan cenderung menyerahkan pers pada jejaring kapitalis.
Kebebasan Pers yang Bertanggung Jawab?
Jika kita cermati, terminologi “media yang bertanggung jawab” justru lekat dengan kepentingan para kapitalis, terutama bos media. Dengan kata lain, media-media kecil yang masih berpeluang menjadi media lurus terpaksa harus mengikuti arus deras kapitalisasi media jika mereka tidak ingin terlindas begitu saja. Kondisi ini berdampak pada konten-konten yang memuat berbagai kepentingan tersebut, utamanya tentu saja konten sekuler dan liberal.
Di sini kita akan menyadari bahwa keberadaan Perpres Media Sustainability makin meliberalkan konten media. Profesionalisme jurnalistik maupun persaingan dengan media asing lebih tampak sebagai dalih untuk menopengi upaya penyusupan konten liberal tersebut.
Buktinya, kita bisa mengukur sejauh mana kesungguhan penguasa memblokir konten-konten porno dan L6 87q? Padahal kita tahu bahwa para kreator konten porno maupun para pegiat L6 87q jelas-jelas menggunakan media sebagai sarana untuk menyebarkan ide sesatnya. Juga betapa kencangnya gelombang budaya pop Korea (Korean wave). Tambahan lagi beragam ide konsumerisme dan hedonisme, seperti judi dan pinjaman online. Realitasnya, kerusakan generasi yang bersumber dari gawai pribadi malah makin menjadi-jadi.
Sebaliknya, konten-konten dakwah dan Islam kafah malah dimasukkan ke dalam “daftar hitam” sebagai konten dan media radikal. Represifitas media pun tidak terhindarkan, media-media islami justru panen pemblokiran. Kondisi ini tidak hanya melanda media portal, tetapi juga sejumlah akun media sosial dengan wujud pembatasan maupun suspensi sehingga akun-akun dakwah menjadi terbatas menyebarkan ide Islam.
Khilafah Mengelola Dunia Pers
Sebagai pembanding pers versi kapitalisme, hendaknya kita menilik pengelolaan pers yang dilakukan oleh negara Islam (Khilafah). Berawal dari firman Allah Taala dalam QS Al-Maidah [5]: 47, “Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.”
Allah Swt. juga mengingatkan kita dalam QS Al-Hujurat [49]: 6, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kedua ayat ini jelas menggambarkan bahwa pemutus aturan yang tidak bersumber dari Allah adalah orang fasik, sedangkan orang fasik adalah orang yang harus diwaspadai ketika dirinya membawa berita. Di titik ini kita bisa menstandardisasikan akan seperti apa gambaran koridor dan konten media nasional pascapenerbitan Perpres Media Sustainability tadi, yang keberadaannya jelas-jelas mengukuhkan pilar demokrasi terlebih di tengah panasnya tahun politik ini.
Ini tentu sangat berbeda dengan kebijakan Khilafah yang menjadikan pers semata-mata sebagai sarana penerangan dan penyiaran konten-konten Islam. Bagi Khilafah, penerangan adalah aktivitas penting bagi dakwah dan negara. Keberadaannya berhubungan langsung dengan Khalifah selaku kepala negara Islam.
Meski Khilafah membolehkan individu/swasta memiliki perusahaan media, Khilafah akan mengeluarkan garis-garis politik negara dalam mengatur informasi sesuai ketentuan hukum-hukum syariat. Hal ini adalah wujud kewajiban negara dalam melayani kemaslahatan Islam dan kaum muslim.
Walhasil, media tidak akan seenaknya memuat beragam kepentingan tertentu serta yang serba bebas. Pemilik media informasi justru harus bertanggung jawab atas semua konten media yang disebarkannya. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas segala bentuk penyimpangan terhadap hukum syariat sebagaimana individu rakyat lainnya, tidak terkecuali ketika media miliknya memuat konten-konten yang diharamkan Islam.
Khatimah
Sungguh, media dalam Khilafah berperan membangun masyarakat islami yang kuat karena selalu berpegang teguh dan terikat dengan tali agama Allah Swt., serta menyebarluaskan dakwah dan pemikiran Islam. Dalam media tersebut, tidak ada tempat bagi pemikiran-pemikiran yang rusak dan merusak maupun berbagai informasi yang sesat dan menyesatkan. Wallahualam bissawab. [*)
Sumber: Muslimahnews.net