OPINI — Dalam perspektif hadis, perilaku “golput” atau tidak memilih dalam pemilihan umum dapat dipandang sebagai isu yang berhubungan dengan tanggung jawab sosial dan amanah. Islam menekankan pentingnya partisipasi umat dalam urusan sosial dan politik demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab dalam memastikan urusan kolektif berjalan dengan baik.
Dalam konteks politik modern, memilih pemimpin merupakan salah satu bentuk partisipasi dan kontribusi terhadap urusan publik. Tidak memilih atau “golput” bisa dianggap mengabaikan peran tersebut, terutama jika hasil dari ketidakpedulian ini justru membawa pemimpin yang zalim atau kebijakan yang merugikan masyarakat.
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW mengingatkan agar umat tidak tinggal diam di hadapan kemungkaran, baik dengan tangan, lisan, atau hati. Dengan tidak memilih, seseorang bisa dinilai kurang berupaya mencegah munculnya keburukan atau mempromosikan kebaikan dalam pemerintahan.
Namun, jika “golput” didasarkan pada alasan moral yang kuat, misalnya karena semua calon dinilai tidak layak dan dapat membawa kemudharatan, perspektif hadis juga memberi ruang bagi ijtihad. Dalam situasi di mana tidak ada pilihan yang dianggap baik, seseorang perlu mempertimbangkan pilihan yang membawa dampak paling ringan atau melakukan amar ma’ruf nahi munkar dengan cara lain. Hal ini menuntut kecermatan dan kesadaran politik yang tinggi agar keputusan yang diambil benar-benar membawa manfaat atau setidaknya meminimalkan keburukan.
Secara keseluruhan, Islam melalui hadis-hadis Rasulullah SAW mendorong umat untuk aktif berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat dan berpolitik. “Golput” tidak bisa serta-merta dicap sebagai perilaku yang salah, tetapi umat Islam diajak untuk lebih bijak dan bertanggung jawab dalam menentukan sikap politiknya. Prinsip utama yang harus dipegang adalah mendahulukan kemaslahatan dan menghindari kerusakan bagi umat secara keseluruhan.
Dalam perspektif hadis, perilaku “golput” atau tidak memilih dalam pemilu terkait erat dengan konsep amanah dan tanggung jawab sosial. Islam menekankan bahwa setiap individu memiliki kewajiban untuk berperan dalam menciptakan kemaslahatan dan menghindari kerusakan. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menekankan bahwa setiap orang, termasuk rakyat, memiliki tanggung jawab dalam urusan publik, termasuk dalam memilih pemimpin yang adil dan amanah.
Pemilihan umum atau Pemilihan Kepala Daerah adalah sarana untuk memastikan pemimpin yang terpilih membawa nilai-nilai kebaikan dan keadilan. Memilih pemimpin yang buruk atau abai dalam memilih dapat berkontribusi pada kebijakan zalim yang merugikan masyarakat luas.
Dengan demikian, bersikap “golput” tanpa alasan yang kuat bisa dipandang sebagai bentuk pengabaian tanggung jawab sosial. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman” (HR. Muslim).
Ketika seseorang memilih untuk tidak memilih, potensi bahaya seperti terpilihnya pemimpin yang tidak amanah dapat menjadi kenyataan. Misalnya, dalam Pemilu 2019 di Indonesia, beberapa golongan masyarakat memilih untuk golput karena merasa bahwa kedua calon presiden tidak sepenuhnya mewakili aspirasi mereka. Akibatnya, jumlah golput mencapai sekitar 23% dari total pemilih. Meskipun hal ini adalah hak politik, keputusan tersebut berisiko menempatkan masa depan pemerintahan di tangan mayoritas yang memilih tanpa pertimbangan matang. Di beberapa daerah, muncul keluhan bahwa pemimpin yang terpilih ternyata tidak memenuhi harapan rakyat dan tidak mampu menuntaskan masalah seperti korupsi atau ketimpangan ekonomi.
Namun, ada situasi di mana golput bisa dipandang sebagai pilihan ijtihad yang sah dalam Islam. Jika seseorang meyakini bahwa semua calon yang tersedia akan membawa kemudharatan, maka menahan diri dari memilih bisa menjadi cara untuk menghindari keterlibatan dalam sesuatu yang dianggap batil.
Sebagai contoh, dalam pemilihan daerah tertentu, jika semua calon memiliki rekam jejak buruk seperti korupsi atau melanggar hak asasi manusia, sebagian pemilih memilih untuk golput sebagai bentuk protes. Dalam konteks ini, golput dipilih bukan karena abai, tetapi sebagai bentuk sikap moral dan bentuk nahi munkar.
Dengan demikian, perspektif hadis tidak secara mutlak mengharamkan golput, tetapi mengajak umat untuk mempertimbangkan setiap keputusan politik dengan bijak. Partisipasi dalam pemilu adalah salah satu jalan untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, namun jika semua pilihan dinilai buruk, seseorang bisa memilih untuk golput dengan pertimbangan matang. Prinsip utamanya adalah mencari solusi yang membawa maslahat terbesar dan meminimalkan kerusakan bagi umat.
Selain itu, hadis juga mengajarkan pentingnya memilih pemimpin yang memiliki integritas dan kompetensi. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya” (HR. Bukhari).
Dalam konteks pemilu, memilih pemimpin adalah upaya menghindari kerusakan dan kehancuran yang bisa muncul akibat kepemimpinan yang tidak kompeten. Ketika umat memilih untuk golput tanpa alasan yang jelas, mereka berisiko membiarkan kursi kepemimpinan jatuh ke tangan yang tidak layak, yang bisa membawa kerugian bagi bangsa dan masyarakat luas.
Fakta yang relevan adalah Pemilu 2014 di Tunisia pasca-Revolusi Jasmine. Setelah tumbangnya rezim otoriter, rakyat dihadapkan pada pilihan pemimpin baru. Namun, sebagian pemilih memilih golput karena menganggap bahwa para kandidat yang muncul tidak sepenuhnya mewakili cita-cita revolusi. Akibatnya, partisipasi pemilih menurun dan kelompok tertentu dengan basis suara lebih kecil tetapi solid justru berhasil mengamankan posisi strategis. Situasi ini menunjukkan bahwa golput, meskipun merupakan hak setiap individu, dapat membuka peluang bagi kelompok dengan agenda tertentu untuk mendominasi pemerintahan.
Islam mengajarkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak hanya dilakukan secara langsung, tetapi juga bisa melalui jalur politik. Pemilu adalah kesempatan bagi umat untuk berkontribusi dalam menentukan arah kebijakan negara. Hadis tentang pentingnya memilih pemimpin dengan amanah dan tanggung jawab menggambarkan bahwa umat Islam harus proaktif dalam memilih pemimpin yang berpotensi mewujudkan keadilan. Rasulullah SAW sendiri pernah menekankan pentingnya mempercayakan jabatan kepada orang yang pantas, seperti dalam penunjukan Muadz bin Jabal sebagai gubernur di Yaman karena kecakapannya dalam ilmu dan keadilannya dalam memutuskan perkara.
Namun, jika golput dipilih sebagai bentuk kritik politik yang konstruktif, hal ini perlu disertai dengan aksi nyata lainnya, seperti advokasi, gerakan masyarakat sipil, atau dakwah yang mendorong perubahan. Sikap pasif tanpa usaha alternatif justru akan menjauhkan masyarakat dari prinsip keadilan dan perbaikan yang diajarkan oleh Islam. Dalam pandangan Islam, setiap perbuatan harus diorientasikan pada kemaslahatan bersama, sehingga bahkan dalam memilih untuk tidak memilih, umat tetap harus mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat luas.
Dalam ajaran Islam, memilih pemimpin bukan sekadar hak individu, tetapi juga bagian dari amanah yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Rasulullah SAW mengingatkan bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menegakkan keadilan dan memprioritaskan kepentingan umat. Hadis-hadis tentang kepemimpinan menekankan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas kontribusi mereka terhadap urusan publik. Karena itu, pemilu menjadi salah satu sarana penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang dapat mengemban amanah tersebut dengan baik.
Perilaku golput, di satu sisi, merupakan hak politik warga negara. Namun, dalam perspektif Islam, hak ini harus diiringi dengan kesadaran bahwa keputusan untuk tidak memilih tetap memiliki konsekuensi sosial. Rasulullah SAW mengajarkan pentingnya berperan aktif dalam mencegah kemungkaran dan mendukung kebaikan.
Jika seseorang memilih untuk golput karena merasa tidak ada calon yang memenuhi syarat, maka ia tetap memiliki kewajiban moral untuk terlibat dalam proses lain yang mendorong perbaikan, seperti memberikan kritik atau melakukan advokasi.
Contoh lain yang relevan adalah Pemilu 2009 di Iran, di mana sebagian warga negara memilih golput sebagai bentuk protes terhadap ketidakpuasan mereka terhadap calon-calon yang tersedia. Akibatnya, meskipun jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara cukup tinggi, suara golput dan protes memperlemah legitimasi pemerintah yang terpilih. Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun golput dapat digunakan sebagai bentuk ekspresi politik, ia juga membawa risiko menimbulkan ketidakstabilan atau mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan.
Dalam Islam, memilih pemimpin tidak hanya soal menyatakan dukungan, tetapi juga bagian dari ikhtiar kolektif untuk mengarahkan bangsa menuju kebaikan. Golput tanpa alasan yang jelas bisa dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab tersebut. Misalnya, dalam pemilihan kepala daerah di beberapa wilayah Indonesia, terdapat kasus di mana masyarakat memilih untuk tidak datang ke TPS karena kecewa dengan kinerja kandidat petahana atau merasa skeptis terhadap kandidat baru. Namun, sikap seperti ini justru berpotensi memperburuk keadaan karena membuka ruang bagi pemimpin yang tidak layak untuk menang dengan suara minim.
Selain itu, hadis-hadis juga mengingatkan agar umat tidak menyerahkan kekuasaan kepada orang yang tidak ahli. Golput dalam kondisi di mana salah satu calon lebih layak dibandingkan yang lain akan berakibat pada terpilihnya pemimpin yang lebih buruk. Dalam hal ini, umat Islam didorong untuk memilih pemimpin terbaik di antara opsi yang ada, meskipun tidak sempurna, karena menghindari keburukan yang lebih besar merupakan bagian dari prinsip fiqh yang dikenal sebagai dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada meraih manfaat).
Pemilu juga menjadi bagian dari cara umat terlibat dalam amar ma’ruf nahi munkar di ranah kebijakan publik. Partisipasi dalam pemilu adalah bentuk kontribusi nyata dalam memilih pemimpin yang diharapkan dapat membawa kebijakan yang bermanfaat bagi rakyat. Jika semua umat Islam memilih untuk golput, maka pemerintahan berisiko dikuasai oleh orang-orang yang tidak memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kebaikan, yang berakibat pada munculnya kebijakan yang merugikan masyarakat secara luas.
Hadis-hadis Rasulullah SAW mengajarkan bahwa umat Islam harus mengambil peran dalam setiap aspek kehidupan, termasuk politik, untuk menjaga agar kemaslahatan tetap terpelihara. Pilihan untuk golput harus dilandasi oleh pertimbangan yang matang, bukan sekadar sikap apatis. Selain itu, jika keputusan untuk golput diambil, umat tetap diharapkan melakukan langkah-langkah lain untuk mengawasi jalannya pemerintahan dan memastikan kebijakan publik tidak menyimpang dari prinsip-prinsip keadilan dan kemaslahatan.
Secara faktual, fenomena golput sudah muncul di berbagai negara sebagai bentuk protes politik, termasuk di Indonesia. Dalam Pemilu Indonesia, angka golput cukup signifikan dan cenderung stabil, dengan tren sekitar 20-30% sejak era reformasi. Pada Pemilu 2019, tingkat partisipasi pemilih mencapai 81%, yang berarti sekitar 19% dari pemilih tidak menggunakan hak suara mereka. Angka ini memperlihatkan bahwa meskipun ada dorongan kuat untuk memilih, masih banyak orang yang merasa tidak terwakili atau kecewa dengan kandidat yang tersedia.
Selain itu, dalam beberapa pemilihan kepala daerah (pilkada), fenomena golput lebih menonjol. Sebagai contoh, pada Pilkada DKI Jakarta 2017, yang berlangsung panas dan menjadi perhatian nasional, tingkat partisipasi pemilih di putaran pertama hanya 77%. Artinya, 23% pemilih tidak berpartisipasi, meskipun pilkada ini memiliki dampak politik yang besar. Salah satu alasan yang sering dikemukakan adalah ketidakpuasan terhadap kandidat yang dianggap tidak sesuai dengan harapan pemilih.
Fenomena serupa juga terjadi di negara-negara lain. Pada pemilihan presiden Iran 2009, sebagian masyarakat memilih untuk golput sebagai bentuk protes terhadap dugaan kecurangan dan ketidakpuasan terhadap sistem politik. Di Tunisia, pasca-revolusi, partisipasi pemilih menurun drastis karena kekecewaan terhadap kandidat yang dianggap tidak mampu mewujudkan cita-cita demokrasi. Ketika suara golput tinggi, muncul tantangan baru, yaitu rendahnya legitimasi pemimpin terpilih dan potensi munculnya ketidakstabilan sosial-politik.
Golput juga dapat memperburuk situasi ketika kelompok tertentu, yang solid dan terorganisir, mampu mendominasi pemilihan dengan perolehan suara rendah. Dalam beberapa kasus, seperti di India dan Filipina, pemimpin populis berhasil terpilih karena rendahnya partisipasi pemilih secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah partisipasi pemilih, semakin besar peluang bagi kelompok tertentu untuk memenangkan kontestasi politik tanpa menghadapi persaingan ketat.
Di Indonesia, meskipun golput tidak dilarang secara hukum, pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) gencar melakukan kampanye untuk meningkatkan partisipasi pemilih. Upaya ini didasari pemahaman bahwa rendahnya partisipasi politik dapat mengurangi kualitas demokrasi dan berpotensi memunculkan pemimpin yang tidak kompeten. Selain itu, sikap apatis dan ketidakpedulian politik seringkali dimanfaatkan oleh politisi atau kelompok tertentu untuk memenangkan pemilu dengan strategi yang tidak sehat, seperti politik uang atau manipulasi isu.
Namun, golput juga bisa menjadi bentuk protes moral yang terorganisir. Misalnya, dalam beberapa pemilu lokal, masyarakat sengaja tidak memilih sebagai bentuk kritik terhadap kebijakan pemerintah atau kandidat yang dianggap tidak layak. Dalam kasus seperti ini, golput digunakan sebagai alat untuk menyampaikan pesan bahwa pemilih menginginkan perubahan yang lebih fundamental. Meski demikian, efek dari sikap golput seringkali tidak membawa hasil langsung dan justru menimbulkan risiko terpilihnya pemimpin yang lebih buruk.
Faktanya, fenomena golput menimbulkan dilema bagi demokrasi. Di satu sisi, ia merupakan ekspresi hak politik; di sisi lain, golput dapat melemahkan proses politik dan membuka peluang bagi pemimpin yang tidak kompeten atau tidak memiliki legitimasi yang kuat. Hal ini membuat isu golput menjadi persoalan kompleks yang memerlukan kesadaran politik tinggi dan pertimbangan yang matang bagi setiap pemilih.
Kesimpulannya, hadis-hadis Rasulullah SAW mengajak umat Islam untuk bijak dan bertanggung jawab dalam bersikap dalam urusan politik, termasuk dalam pemilu. Golput bisa menjadi bentuk nahi munkar dalam kondisi tertentu, tetapi tidak boleh menjadi alasan untuk abai terhadap tanggung jawab sosial. Partisipasi aktif dalam memilih pemimpin adalah bagian dari upaya mewujudkan amar ma’ruf dan memastikan kebijakan publik berada di tangan orang yang tepat. Sebaliknya, jika golput dijadikan pilihan, maka harus disertai dengan langkah nyata lain yang mendukung perbaikan dan perubahan positif bagi masyarakat. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.