OPINI — Gelaran pilkada serentak pada 2020 ini akan semakin menggeliat. Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di berbagai kabupaten/kota di Indonesia dipastikan digelar di 270 daerah di 9 provinsi di Indonesia. Tepatnya ada 224 kabupaten, dan 37 kota secara serentak akan melaksanakan pesta demokrasi.
Setidaknya dari jumlah kabupaten kota tersebut, mayoritas akan didominasi petahana untuk maju pada pertarungan pemilihan kepala daerah 2020. Namun demikian, patut diawasi penyalahgunaan kekuasaan ataupun jabatannya karena kesempatan dalam akses kekuasaan akan sangat terbuka lebar. Seperti contoh program-program bantuan, sosial, hibah atau dalam bentuk yang lain. Dimungkinkan juga adanya transaksi-transaksi dalam penggunaan anggaran daerah untuk kepentingan petahana. Tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menjaga stabilitas profesional dalam bekerja dan bersifat netral dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Petahana harus bisa membedakan suatu kegiatan itu sebagai bentuk tugas pemerintahan atau kampanye. Namun, praktik-praktik semacam itu sering kita lihat dalam setiap peristiwa pemilihan kepala daerah. Disinilah peran-peran pihak terkait harus jeli dan selalu memberi pengawasan, khususnya pengawas pemilu dan juga masyarakat. Para pihak sudah selayaknya memberi ruang yang cukup untuk mengawasi incumbent dalam pilkada ini.
Kalau dilihat dari jadwal proses tahapan pilkada pada 8 Juli nanti akan dilakukan penetapan calon kepala daerah, dan pada tanggal 11 Juli-19 September petahana harus mengambil cuti. Oleh karenanya, selama cuti petahana tidak boleh menggunakan fasilitas negara dalam bentuk apapun dan harus melepaskan tanggungan negara sebagai petahana. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan UU No 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota. Dan juga ditegaskan dalam Peraturan KPU nomor 18 tahun 2019 atas perubahan kedua PKPU No 3 tahun 2017 pasal 4 ayat 1 huruf r terkait dengan kesediaan cuti di luar tanggungan negara selama kampanye.
Mengapa calon petahana tidak mundur saja? Kalau hal ini terjadi, tentu akan menjadi sebuah terobosan yang luar biasa dalam penyelenggaraan pilkada ini. Hal ini sangat dimungkinkan terjadi dalam proses pelaksanaan pilkada. Oleh karenanya perlu adanya kajian mendalam dari banyak pihak, khususnya penentu kebijakan dalam membentuk regulasi sehingga pilkada akan semakin ringan dalam pengawasannya. Jika hal itu terjadi, maka kemungkinan terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan dapat dihindari.
Isu Korupsi
Tidak hanya petahana, pendatang barupun bermunculan ikut serta meramaikan bursa pemilihan kepala daerah. Program-program unggulan, adu gagasan, ide maupun program yang bersifat kearifan lokal akan banyak ditawarkan para calon.
Korupsi tentu akan menjadi isu seksi dalam menjadi bagian dari program yang ditawarkan. Isu ini akan menarik dan menjadi program yang nanti akan ditawarkan saat kampanye nanti.
Sejauh mana mereka akan mengangkat isu ini dalam pilkada nanti? Kita layak menunggu para calon yang memiliki konsep besar dalam memerangi korupsi. Terlebih korupsi masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi kita semua. Sebagai calon kepala daerah isu ini penting untuk dijadikan program unggulan dan merupakan salah satu indikator integritas seorang pemimpin jika mampu memberi tauladan yang baik soal korupsi. Konsep memerangi korupsi tentu akan menjadi mudah dalam tataran janji, visi maupun misi. Tetapi terpenting adalah mampukah seorang calon kepala daerah mengusung isu ini menjadi pilar utama dalam menciptakan good goverment jika nantinya terpilih.(Rasyid, 2001). Untuk menjadi calon kepala daerah seperti diketahui membutuhkan ongkos politik yang sangat mahal. Kalau tidak memiliki kemampuan finansial yang kuat, bisa jadi akan tersingkir dengan sendirinya. Ongkos politik ini bisa jadi akan sangat mahal karena banyak hal yang harus dipenuhi dalam mengikuti proses pilkada. Mulai dari penyiapan atribut kampanye, konsolidasi kelompok-kelompok, properti, logistik hingga “mahar” kendaraan politik.
Akan sangat kecil peluangnya jika calon yang akan maju dalam perhelatan ini tidak memiliki amunisi yang kuat. Apalagi jika yang maju adalah calon pendatang baru dan dianggap belum banyak dikenal masyarakat. Bagaimana dengan petahana? Tentu persiapan demi persiapan sudah dilakukannya dengan matang. Peta politik dipastikan sudah dipersiapkan dengan matang. Yang perlu diwaspadai adalah jika petahana tersebut memanfaatkan posisinya dengan memanfaatkan fasilitas negara atau sejenisnya untuk memuluskan tujuannya. Apalagi jika hal itu terjadi pada masa-masa petahana masih menjabat. Hal-hal seperti itu sering mewarnai dalam sebuah proses pemilihan kepala daerah. Contoh yang sering kita dengar adalah modus “mobilisasi” ASN (Aparatur Sipil Negara) untuk mendukung salah salah satu calon dari petahana. Atau bisa jadi menggunakan peluang-peluang lain yang berujung pada tindakan korupsi. Peran penegak hukum sudah semestinya bertindak.
Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus mengaudit kegiatan pejabat negara selama masa kampanye. Kepolisian, kejaksaan dan juga KPK harus ikut serta menyelidiki jika terjadi modus-modus korupsi seperti ini agar pilkada bersih, berintegritas, bermartabat dapat terealisasi.
Keberhasilan pelaksanaan pemilihan kepala daerah ini, tentu menjadi pekerjaan kita bersama. Dana besar yang dianggarkan pemerintah lebih dari Rp9 triliun ini harus dipertanggungjawabkan pada masyarakat. Akan sangat ironis jika pelaksanaan pilkada yang menggunaakan uang rakyat yang sangat besar ini tidak digunakan dengan sebaik-baiknya.
Sudah selayaknya ikut berkontribusi mengawasi penggunaan anggarannya. Setidaknya bisa melakukan pengawasan proses pilkada. Sebagai contoh mengawasi petahana untuk tidak menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk kontestasi pilkada. Atau paling tidak ikut berkontribusi memilih calon yang bebas dari praktik korupsi.
Pemimpin yang bebas korupsi adalah sebuah keniscayaan. Komitmen dan record calon pimimpin menjadi salah satu indikator sebagai seorang tokoh yang memiliki andil besar dalam mengusung isu korupsi sebagai program prioritas. Tidak hanya visi dan misi yang menjadi sorotan, tetapi bagaimana integritas dan rekam jejak calon menjadi menarik untuk menjadi perhatian.
Kita sudah rindu pemimpin yang tidak hanya menyuarakan korupsi. Tetapi mereka yang jiwanya memang anti korupsi dengan prinsip dan keteguhan yang sangat kuat. Ditengah redupnya “kekuatan” KPK, berharap ada energi baru yang bisa menguatkan penegakan korupsi dari berbagai lini. Termasuk berharap pada pemimpin-pemimpin daerah baru yang akan berkontestasi pada tahun ini dalam memerangi korupsi. Mungkinkah hal ini akan terwujud? (*)
Penulis : DR Agus Triyono,
Dosen di Universitas Dian Nuswantoro Semarang, Pengamat Komunikasi, Mitra Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta.