OPINI — Memasuki awal tahun 2020 beberapa daerah yang akan melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah mulai hangat membicarakan tentang figur calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Responsnya pun beragam, mulai dari politisi, pengusaha, birokrat, anggota DPR/DPRD, dan keluarga mantan kepala daerah yang sudah pernah menjabat kembali muncul ke permukaan. Munculnya nama-nama keluarga kepala daerah yang pernah menjabat ini menandakan betapa sullitnya membendung adanya dinasti politik dalam pelaksanaan pilkada.
Dinasti politik pada umumnya dimaknai sebagai pembagian kekuasaan dalam menjalankan pemerintahan yang hanya terpusat pada sekelompok orang atau keluarga elite tertentu baik karena garis keturunan, hubungan darah, atau karena ada ikatan perkawinan. Dalam bentuk yang agak halus dinasti politik sering muncul dengan cara mendorong sanak keluarga kelompok elite tertentu untuk terus memegang kekuasaan secara demokratis.
Menurut penulis dalam konteks Indonesia, munculnya dinasti politik adalah sebuah keniscayaan. Ini diakibatkan karena sistem demokrasi kita masih banyak dipengaruhi oleh konsep demokrasi liberal yang masih menganggap bahwa inti dari politik adalah hak-hak individual, sehingga hak politik seseorang dipandang sebagai bagian dari hak individu. Bahkan dalam konstitusi kita Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Jadi, semua warga negara dari berbagai latar belakang pun dijamin haknya untuk ikut serta dalam kontestasi politik. Kesempatan itu semakin terbuka luas manakala adanya aturan tentang desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah. Di tengah kebebasan itu, ada satu fenomena yang dirasa janggal, namun sulit dicegah yaitu praktik politik dinasti.
Politik dinasti muncul di banyak wilayah misalnya di Dinasti Limpo di Sulawesi Selatan, Dinasti Narang di Kalimantan Tengah, Dinasti Sjahroeddin di Lampung, ataupun Dinasti Fuad di Bangkalan (Madura). Akan tetapi, politik dinasti yang paling masif terjadi di Banten dengan Dinasti Chasan Sochib (Kelompok Rau). Dalam satu periode yang sama, hampir seluruh anggota keluarga dinasti ini memegang jabatan penting dalam politik di provinsi tersebut.
Tentu praktik politik dinasti ini lebih banyak dampak negatif, karena politik dinasti akan mengaburkan atau bahkan meniadakan fungsi checks and balances dalam pemerintahan. Kita tentu sulit mengharapkan seorang anggota DPRD dari dinasti A mengkritisi ekskutif yang juga berasal dari dinasti A di mana mereka memiliki hubungan kekerabatan. Dan checks and balances yang buruk akan mengarah ke pratik korupsi, sebagaimana yang terjadi di Banten.
Secara etika politik, praktik dinasti politik tentunya sangat tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, dimana dalam hal ini dinasti politik muncul sebagai musuh demokrasi itu sendiri karena peran publik sama sekali tidak dipertimbangkan. Kata rakyat, Demokrasi, dan kata Politik dalam konstitusi kita pada dasarnya merujuk pada hal yang sama yaitu untuk kesejahteraan umum atau kepentingan orang banyak. Artinya politik dalam faham ketatanegaraan kita secara prinsipil harus bersumber dan sekaligus diarahkan untuk kepentingan umum/kesejahteraan umum. Jadi secara tegas Politik dinasti berlawanan dengan prinsip demokrasi karena didalamnya yang menjadi dasar dan tujuan adalah kepentingan pribadi (private interest).
Menurut penulis, cara efektif mencegah kecenderungan politik dinasti yaitu pertama adalah melalui kebijakan (undang-undang) yang membatasi orang untuk mendapatkan kekuasaan yang sarat konflik kepentingan. Salah satunya adalah undang-undang atau pasal pembatasan politik dinasti. Tapi pasal ini sudah ditolak oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai akan menghalangi hak konstitusional seseorang untuk berpartisipasi dalam pemilu. Namun menurut penulis larangan keluarga petahana tidak dapat dikatakan melanggar hak konstitusional warga Negara karena pada prinsipnya hanya bersifat mengatur bukan mematikan atau mencabut hak politik seseorang. Dan hal ini sesuai dengan Pasal 28 J ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 Yang menyatakan :
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. “
Pembatasan itu penting karena mengingat Petahana (baik kepala daerah maupun wakil kepala daerah) dinilai atau dianggap sebagai posisi yang paling rawan untuk disalahgunakan dibanding jabatan politik lainnya. Sehingga pembentuk undang-Undang merasa perlu memberi berbagai batasan agar jabatan atau posisi politik sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak disalahgunakan. Dengan begitu para calon yang akan bertarung dalam pilkada berada dalam posisi equal atau setara tanpa adanya penyalahgunaan kewenangan, pengunaan fasilitas, serta pengaruh ataupun intervensi dari petahana. Ketika pencegahan melalui hukum positif sudah tidak bisa, maka yang harus dilakukan yaitu memperketat mekanisme seleksi calon kepala daerah ataupun calon wakil kepala daerah.
Tentu yang paling berperan di sini adalah Pengurus Partai Politik utamanya di tingkat pusat yang mengeluarkan rekomendasi dukungan kepada pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Partai politik harus menjamin pasangan calon yang di rekomendasikan mempunyai kapasitas dan integritas yang dapat diterima masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Bukan berdasarkan hubungan kekerabatan ataupun seberapa besar mahar politik yang dibayarkan calon tertentu.
Selain itu partai politik harus menguatkan kelembagaan partai yang masih lemah untuk melakukan kaderisasi dan rekrutmen kader, tidak sekadar merekrut calon yang punya modal ekonomi dan popularitas tinggi yang biasanya berasal dari kelompok dinasti politik.
Kemudian yang kedua yaitu dengan meningkatkan pendidikan politik kepada masyarakat agar memilih calon sesuai kompetensinya dan bukan hanya karena popularitas yang besar karena calon tersebut merupakan anak, istri, atau kerabat kepala daerah yang sebelumnya menjabat. Ketiga, yaitu mencegah dan menindak pelaku politik uang. Selama ini calon yang muncul berasal dari kelompok dinasti yang notabene telah memiliki sumber daya ekonomi yang banyak sehingga memungkinkan untuk melakukan money politics untuk membuat mereka terpilih. Dalam survei LIPI 2019, terlihat bahwa 47 persen responden bersifat permisif terhadap politik uang.
Dinasti politik memang sama sekali tidak mencederai prosedur demokrasi kita, akan tetapi secara prinsip sangat merusak subtansi politik dan demokrasi, dengan tidak adanya regulasi yang mengatur mengenai larangan keluarga petahana untuk ikut serta dalam pilkada, maka kini hanya kedaulatan rakyat yang mampu untuk membatasi terjadinya politik dinasti. Untuk itu usaha-usaha dalam mencerdaskan kehidupan bangsa harus terus ditingkatkan agar rakyat dapat menjadi pemilih cerdas untuk mencegah terjadinya praktek politik oligharki yang kini semakin berkembang di berbagai daerah. (*)
Editor: Dian Muhtadiah Hamna