OPINI-Pilkada serentak 2024 ternyata masih membuka pintu lebar-lebar lahirnya calon tunggal alias kotak kosong. Setidaknya ada 1 Provinsi, 37 Kabupaten, dan 5 Kota yang dapat dipastikan akan melawan Kotak Kosong pada tanggal 27 November 2024 mendatang.
Pada pelaksanaan Pilkada 2017-2020 yang lalu dari 545 daerah yang melaksanakan pilkada, terdapat 50 paslon tunggal (9,17%) padahal saat itu persyaratan pencalonan masih 20% kursi atau 25% suara sah. Namun pada Pilkada 2024 yang akan datang terdapat 43 calon tunggal dari 545 daerah (7,89%) padahal Putusan MK 60/PUU-XXII/2024 sudah menurunkan ambang batas pencalonan yang relatif lebih membuka ruang untuk mencegah lahirnya Calon Tunggal.
Berdasarkan data yang diperoleh penulis dari KPU RI Daftar Daerah dengan 1 Paslon dalam Pilkada antara lain sebagai berikut:
Pilkada Provinsi (1 Pilgub) yaitu Papua Barat 1 Paslon (calon Gubernur dan Wakil Gubernur)
Pilkada Kab/Kota (5 Pilwalkot dan 37 Pilbup) yaitu:
1. Aceh 2 kabupaten (Aceh Utara dan Aceh Taming)
2. Sumatera Utara 6 kabupaten (Tapanuli Tengah, Asahan, Pakpak Bharat, Serdang Berdagai, Labuhanbatu Utara, dan Nias Utara)
3. Sumatera Barat 1 kabupaten (Dharmasraya)
4. Jambi 1 kabupaten (Batanghari)
5. Sumatera Selatan 2 kabupaten (Ogan Ilir dan Empat Lawang)
6. Bengkulu 1 kabupaten (Bengkulu Utara)
7. Lampung 3 kabupaten (Lampung Barat, Lampung Timur, dan Tulang Bawang Barat)
8. Kepulauan Bangka Belitung 2 kabupaten dan 1 kota (Bangka, Bangka Selatan, dan Kota Pangkal Pinang)
9. Kepulauan Riau 1 kabupaten (Bintan)
10. Jawa Barat 1 kabupaten (Ciamis)
11. Jawa Tengah 3 kabupaten (Banyumas, Sukoharjo, dan Brebes)
12. Jawa Timur 3 kabupaten dan 2 kota (Trenggalek, Ngawi, Gresik, Kota Pasuruan, dan Kota Surabaya)
13. Kalimantan Barat 1 kabupaten (Bengkayang)
14. Kalimantan Selatan 2 kabupaten (Tanah Bumbu dan Balangan)
15. Kalimantan Timur 1 kota (Kota Samarinda)
16. Kalimantan Utara 1 kabupaten dan 1 kota (Malinau dan Kota Tarakan)
17. Sulawesi Utara 1 kabupaten (Kepulauan Siau Tagulandang Biaro)
18. Sulawesi Selatan 1 kabupaten (Maros)
19. Sulawesi Tenggara 1 kabupaten (Muna Barat)
20. Gorontalo 1 kabupaten (Puhowato)
21. Sulawesi Barat 1 kabupaten (Pasangkayu)
22. Papua Barat 2 kabupaten (Manokwari dan Kaimana)
Berdasarkan data di atas, penulis menyimpulkan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 belum mampu menutup celah hukum lahirnya Kotak Kosong dalam PIlkada. Hal tersebut bisa jadi karena konsolidasi di daerah sudah terbentuk sebelum keluarnya putusan MK, atau mungkin sisa waktu yang sangat singkat tidak cukup bagi partai politik untuk melakukan konsolidasi internal agar dapat mengusung kader terbaiknya sebelum tanggal 29 agustus 2024.
Namun apapun itu, Calon Tunggal dan Kotak Kosong menjadi salah satu anomali dalam sistem penyelenggaraan pilkada serentak di Indonesia. Kondisi ini menggambarkan bagaimana Partai Politik benar-benar gagal dalam menjalankan Fungsi kaderisasi dan rekrutmen politiknya. Padahal idealnya dengan adanya Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 syarat pencalonan calon kepala daerah memberikan peluang yang seluas-luasnya agar partai politik dapat mengusung kadernya sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.
Dibeberapa daerah kita bisa saksikan ada calon kepala daerah yang hanya di usung oleh satu Partai politik, akan tetapi hal tersebut tidak dapat dilakukan di 37 Kab ,5 kota dan 1 provinsi yang telah penulis uraian di atas.
Menurut penulis, selain kegagalan partai politik dalam melakukan kaderisasi dan rekrutmen politik, salah satu pemicu lahirnya kotak kosong adalah biaya politik untuk maju di pilkada tidaklah murah. Sudah menjadi rahasia umum biaya yang harus di siapkan pasangan calon bisa mencapai puluhan atau bahkan ratusan milyar. Biaya tersebut meliputi biaya sosialisasi melalui medsos,baliho, spanduk, operasional tim, dan yang paling sulit untuk di hitung adalah biaya deal politik dengan partai politik.
Jargon politik tanpa mahar sangat sulit untuk dipercaya mengingat pragmatisme elit parpol dalam mengeluarkan rekomendasi dukungan kepada calon kepala daerah sangatlah tinggi. Semakin banyak jumlah kursi atau perolehan suara sah parpol maka semakin mahal pula harga untuk mendapatkan B1 KWK parpol tersebut.
Kondisi inilah sebenarnya yang harus menjadi bahan evaluasi pelaksanaan pilkada ke depan. Masih banyak ruang-ruang gelap transaksi politik yang belum mampu di jangkau oleh pengawas pemilu karena partai politik tidak memiliki transparansi dan standar yang jelas apa indikator yang digunakan dalam memberikan rekomendasi kepada pasangan calon kepala daerah.
Misalnya jika ada kader yang potensial untuk di usung, namun yang di utamakan figur non parpol atau justru mengusung kader partai lain membuat parameter pencalonan kepala daerah tidak jelas dan cenderung pragmatis.
Oleh karena itu menurut penulis, konsep ideal jika ingin mewujudkan sistem pencalonan kepala daerah yang terukur maka Partai Politik harus melakukan uji kompetensi dan kepatutan kepada kader yang ingin maju dalam pilkada. Partai politik wajib mengutamakan kadernya dan figur non parpol baru bisa diusung setelah bergabung menjadi kader parpol.
Kemudian ke depan perlu adanya koalisi permanen pencalonan nasional dan daerah, oleh karena itu pembentuk undang-undang perlu melakukan revisi UU Pemilu yang nantinya dapat mengatur ketentuan koalisi pencalonan pilpres harus sama dengan koalisi pilkada.
Sehingga sejak awal partai politik dalam menentukan koalisi sudah bisa mempertimbangkan strategi dan mempersiapkan kadernya untuk bertarung baik di Pilpres maupun di Pilkada. Jangan sampai ada partai politik yang keluar dari koalisi setelah hasil pilpres keluar.
Syarat berikutnya adalah menghapus Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden bagi partai parlemen. Supaya koalisi pencalonan yang terbentuk benar-benar murni hasil kesepakatan bersama demi kebaikan bangsa dan negara, bukan kawin paksa akibat upaya memenuhi persyaratan angka ambang batas pencalonan. Sehingga ketika partai politik sudah berkoalisi pada pencalonan di pilpres, maka partai politik sudah paham konsekuensinya harus juga berkoalisi sampai ke pencalonan pilkada.
Dan apabila Calon Presiden dan Calon Kepala daerah yang di usung Partai Politik Tersebut terpilih, koalisi pengusung yang akan mengisi kabinet (pilpres), yang tidak menang dalam pilpres dan pilkada dengan otomatis menjadi oposisi di DPR dan DPRD sebagai kontrol eksekutif. Begitupun di daerah Gubernur/Bupati dan Walikota terpilih secara otomatis programnya sejalan dengan pemerintah pusat, sehingga sinkronisasi dan keberlanjutan program pemerintah pusat dan daerah dapat lebih mudah untuk dilaksanakan demi kepentingan seluruh warga negara.
Selama regulasi pencalonan kepala daerah masih menggunakan pola seperti yang terjadi saat ini, maka potensi terjadinya calon tunggal dalam pilkada masih akan terus terjadi. Demokrasi memang kita harus akui membutuhkan biaya yang mahal, akan tetapi jika setiap partai politik dapat menerapkan sistem rekrutmen dan kaderisasi dengan baik maka setidaknya bangsa ini tidak akan kekurangan calon pemimpin.
Meskipun biaya demokrasi mahal selama calon pemimpin yang ditawarkan kepada pemilih merupakan figur terbaik yang mempunyai integritas yang kuat, maka siapapun yang terpilih masyarakat tidak perlu khawatir, karena figur yang ditawarkan partai politik adalah kader terbaik yang sudah teruji integritas dan kapasitasnya melalui seleksi secara ketat melalui sistem kaderisasi internal partai politik.
Semoga saja Partai Politik di Indonesia bisa membenahi sistem kaderisasi dan rekrutmen politiknya akar dalam penyelenggaraan pilkada serentak tidak ada lagi Calon Tunggal atau Kotak Kosong. (*)
Penulis: Rusdianto Sudirman, S.H,M.H, C.Me (Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Parepare)