OPINI–Jebakan merupakan satu istilah yang mengandung makna buruk. Berdasakan KBBI ia berarti alat (rayuan dan sebagainya) yang digunakan untuk memikat atau melemahkan musuh dan sebagainya. Dan apa yang terjadi hari ini, bahwa sesungguhnya Indonesia telah masuk jebakan yang diciptakan kapitalisme global. Terperosok dalam jurang utang yang demikian menganga, namun tetap dipandang sebuah kondisi prestatif.
Di saat Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan Utang Luar Negeri (ULN) terbesar sedunia, Menteri Keuangan Indonesia justru didaulat sebagai Menteri Keuangan terbaik dunia. Hal demikian dijelaskan oleh Kemenkeu sendiri karena laporan Bank Dunia itu tidak menyertakan negara-negara maju, melainkan hanya negara-negara dengan kategori berpendapatan kecil dan menengah. Juga dengan alasan bahwa ULN yang dimaksud tidak murni ULN pemerintah. Namun juga diselipi ULN dari BI, BUMN dan swasta. (ekonomi.bisnis.com, 14 Oktober 2020).
Sungguh amat kontradiktif, banyaknya utang dipandang sebagai prestasi yang layak dikagumi. Nalar sehat tentu akan berpikir, ‘ada apa ini?’. Maka tak mengherankan ketika sebagian politisi senior angkat bicara terkait hal ini.
Salah satunya datang dari Fadli Zon (anggota DPR fraksi Gerindra) dimana realitanya saat ini perekonomian di Indonesia semakin sulit. Nilai tukar rupiah pun kian melemah, di samping utang negara yang terus menumpuk. Bahkan Rizal Ramli (pakar ekonomi dan politikus Indonesia) berkomentar seperti ini, “Nah saya mengatakan begini, mungkin penilaian ini dari satu komunitas masyarakat asing dilihat dari luar mungkin saja memang benar bahwa menteri keuangan kita itu adalah menteri keuangan terbaik di mata asing bukan di mata rakyat Indonesia,” pungkasnya. (Tribunnews.com, 17/10/2020)
Jika mau jujur melihat kondisi yang ada, tentu semua akan mengatakan bahwa negeri ini tidak sedang baik-baik saja. Ada demikian banyak PR pemerintah terkait berbagai problem yang tengah membelit negeri. Salah satunya dari persoalan ekonomi. ULN yang terus meningkat, dimana per Agustus 2020 ini tercatat Rp6.076,9 triliun (kurs Rp14.700). (KOMPAS.com, 15/10/2020). Itu level makro.
Apa yang terjadi di level mikro jauh lebih memprihatinkan. Banyaknya rakyat miskin yang terus bertambah. Terlebih ketika ujian pandemi disikapi dengan kebijakan yang tidak tepat. Hal itu semakin menghimpit kehidupan rakyat kecil. Tingkat kesejahteraan kian mengkhawatirkan, kebutuhan hidup makin sulit dijangkau. Pangan, sandang dan papan. Begitupun dengan pendidikan dan kesehatan.
Distribusi harta kekayaan demikian timpang. Si kaya makin kaya, sementara kebanyakan rakyat miskin tetap berada di posisinya, bahkan justru kian terpuruk.
Hal ini menghasilkan dampak lanjutan berupa meningkatnya problem kriminalitas. Padahal aset bangsa berupa harta kekayaan alam demikian melimpah. Namun tak sampai bisa dikecap manfaatnya oleh rakyat banyak.
Menkeu sendiri menyadari bahwa keruwetan yang terjadi salah satunya disebabkan warisan utang dari para penjajah. Di masa awal kemerdekaan, kolonial Belanda tercatat telah mewariskan utang demikian banyak. Sebesar US$ 1,13 miliar setara dengan Rp16,6 triliun (kurs Rp14.700). Ditambah dengan warisan berupa kondisi ekonomi yang rusak parah.