Demonstrasi massa adalah upaya penyampaian aspirasi publik terhadap pemerintah. Jika merujuk konsep sistem politik David Easton (1951), maka aksi penyampaian aspirasi tersebut adalah wujud dari fungsi (input) dalam sistem politik. Buruh dan mahasiswa misalnya, sebagai elemen infrastruktur politik memerankan dua fungsi sekaligus, yaitu masukan dan penolakan untuk diproses dan diputuskan oleh suprastruktur politik atau pemerintah. Sebagai sebuah sistem, tentu setiap fungsi subsistem bergantung dengan fungsi yang lain. Sehatnya sebuah sistem politik sangat ditentukan oleh sirkulasi komuniks input dan outpun tersebut.
Fungsi input dalam tahap perancangan UU OLCK seolah tidak berjalan. Untuk kluster ketenagakerjaan misalnya, dilansir dari salah satu media online, Ketua KSPI Said Iqbal mengemukakan bahwa “pemerintah bakal hanya menjadikan buruh ‘stempel’…, pemerintah tak akan benar-benar menampung aspirasi serikat buruh sebagaimana penyusunan RUU Cipta Kerja. Padahal, saat itu buruh sempat mengirimkan draf RUU Ciptaker harapan mereka, tapi tak disenggol DPR”.
Demikian juga dalam tahap proses politik di DPR dimana pada tahap pengesahan cenderung tergesa-gesa dan tidak melalui proses pertimbangan yang proporsional dari seluruh pihak yang berkepentingan. Hingga adanya output dalam bentuk undang-undang yang telah disahkan, UU OLCK juga menyisakan problem sosial dilihat dari masifnya penolakan elemen masyarakat. Anwar Arifin (2011) dalam bukunya perspektif ilmu komunikasi menggambarkan bahwa sistem politik itu ibarat tubuh manusia dimana komunikasi adalah darahnya. Analogi dapat menggambarkan adanya penyumbatan komunikasi dalam proses berdemokrasi di Republik Indonesia.