Berikutnya, Dan Nimmo (2005) dalam bukunya komunikasi politik juga membagi pembicraan menjadi tiga jenis. Pembicaraan pengaruh (kamu lakukan x maka kamu dapatkan Y), pembicaraan kekuasaan (kamu lakukan x saya lakukan y), dan pembicaraan otoritatif (lakukan x, jangan lakukan y). Yang dipertontonkan di publik adalah pemerintah cenderung menggunakan pendekatan pembicaraan yang otoritatif dengan memaksakan UU OLCK disahkan tanpa melalui uji publik yang matang.
Semestinya, penguasa mengedepankan pembicaraan pengaruh (persuasive talk) yang lebih dialogis untuk meyakinkan publik. Komunikasi public pemerintah harusnya didahului dengan tuntasnya sosialisasi benefit sosial dan ekonomi UU OLCK. Logikanya, masyarakat akan menerima dengan baik UU OLCK jika memahami manfaat individu dan kolektif Undang-Undang tersebut. Jadi, ibarat strategi perdagangan, yakinkan dulu konsumen bahwa manfaat produk anda dibutuhkan sebelum memproduksi secara massal produk tersebut.
Terakhir, paradigma komunikasi kritis yang dicetuskan oleh Jurgen Habermasn (1991) telah meletakkan kerangka sistem komunikasi dalam ranah publik. Habermas membedakan komunikasi strategis dan komunikiasi rasional. Komunikasi strategis dimotivasi oleh pencapaian kepentingan suatu subjek. Sedangkan komunikasi rasional diupayakan untuk menemukan titik temu atau jalan tengah dari berbagai kepentingan subjek dan subjek (intersubjek). Apa yang dimaksud oleh Habermas sebagai komunikasi rasional atau tindakan komunikasi (communicative action) agaknya belum terwujud dalam komunikasi publik kebijakan UU OLCK.