Oleh: Rizki P Dewantoro (Kader Muhammadiyah – Alumni SMK)
Dalam 4 tahun terakhir (2021-2024), lulusan SMK menempati posisi pertama jumlah pengangguran tertinggi. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan oleh Data Badan Pusat Statistik (BPS) itu, banyaknya lulusan SMK yang menjadi pengangguran perlu ada solusi konkret baik secara kebijakan hingga inovasi di lembaga pendidikan kita.
Data pada Februari 2024, tingkat pengangguran lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) mencapai 8,62%, disusul sekolah menengah atas (SMA) sebesar 6,73%, lulusan D4-S3 sebesar 5,63%, dan D1-D3 sebesar 4,87%.
Meskipun selalu menempati posisi pertama, jumlah pengangguran lulusan SMK telah mengalami penurunan beberapa tahun terakhir. Selain itu, tingkat partisipasi angkatan kerja lulusan SMK dan diploma terus meningkat setiap tahunnya.
Peningkatan ini mencerminkan bahwa lulusan pendidikan vokasi semakin diminati oleh dunia industri. Dari 2020 hingga 2023, tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan SMK mengalami penurunan sebesar 4,24 persen, sementara tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) meningkat sebesar 4,24 persen untuk lulusan SMK, dan 3,29 persen untuk diploma.
Selain itu, penurunan jumlah pengangguran lulusan SMK perlu terus diupayakan, karena pada dasarnya lulusan SMK diharapkan dapat langsung bekerja. Hal ini berbeda dengan pendidikan SMA yang orientasi kelulusannya lebih pada melanjutkan ke perguruan tinggi.
Angka Sakernas memperlihatkan semakin banyak lulusan SMK yang bekerja dalam satu tahun setelah kelulusan. Data tersebut menunjukkan kenaikan dari 32,1% pada tahun 2021 menjadi 38,4% pada tahun 2023. Kenaikan kebekerjaan setelah satu tahun kelulusan juga dialami oleh lulusan diploma dari kampus vokasi yang menunjukkan angka 50,2% pada tahun 2021, naik menjadi 58,6% pada tahun 2023.
Salah satu strategi utama dalam transformasi pendidikan vokasi adalah memperkuat kemitraan dengan dunia usaha dan industri (DUDI). Kerja sama ini tidak hanya terbatas pada magang atau praktik kerja, tetapi juga melibatkan sektor industri secara langsung dalam proses pembelajaran di sekolah menengah kejuruan dan perguruan tinggi vokasi.
Program seperti Teaching Factory telah diimplementasikan di banyak SMK dan politeknik untuk menciptakan lingkungan belajar yang menyerupai dunia kerja nyata. Hal ini bertujuan agar lulusan SMK dan politeknik dapat memenuhi kebutuhan industri serta mendorong mereka menjadi wirausahawan yang mampu menciptakan lapangan kerja.
Kemajuan inovasi Indonesia tercermin dari peningkatan peringkat dalam Global Innovation Index (GII) oleh World Intellectual Property Organization (WIPO). Indonesia telah mencatat lompatan signifikan melalui kebijakan yang mendukung budaya kewirausahaan, pengembangan klaster, serta kolaborasi riset dan inovasi antara perguruan tinggi dan industri. Pada 2019, Indonesia berada di peringkat ke-85 dari 132 negara dengan skor 29,7 poin, dan terus mengalami peningkatan hingga mencapai peringkat ke-61 dengan skor 31,3 poin pada 2023.
Daya saing Indonesia juga menunjukkan tren peningkatan yang positif, terbukti dengan perolehan peringkat ke-37 dari 60 negara dalam World Competitiveness Ranking (WCR). Program link and match dilaksanakan dari hulu ke hilir secara bersamaan, termasuk menghadirkan guru tamu dari industri untuk mengajar di sekolah dan perguruan tinggi, berbagi pengetahuan serta pengalaman mereka kepada para siswa.
Penguatan Pendidikan Vokasi dan Kewirausahaan
Kerja sama dengan pemerintah daerah, terutama pemerintah provinsi yang memiliki wewenang atas pengelolaan SMK, Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan, konsorsium industri, dan lembaga terkait lainnya, juga menjadi faktor penting dalam penguatan pendidikan vokasi. Berbagai kebijakan telah diterapkan untuk mendukung kewirausahaan dan menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia.
Kunci keberhasilan dalam menciptakan wirausahawan yang tangguh adalah melalui pendidikan berkualitas dan kebijakan yang mendorong inovasi. Dengan fokus pada peningkatan akses dan kualitas pendidikan, serta penguatan pendidikan vokasi, Indonesia diharapkan dapat mengatasi tantangan di sektor pendidikan dan mempersiapkan generasi masa depan yang lebih baik.
Ketua Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Bambang Setiaji menulis buku Jihad Kewiraswastaan: Menolong Diri dan Ummat, di mana jihad artinya perjuangan ditambah kewiraswastaan yang sangat penting. Penduduk kita 270 juta, angkatan kerjanya separuh, jadi yang memerlukan pekerjaan kurang lebih 150 juta, pemerintah hanya menampung 5 juta, jadi yang 145 juta harus diselesaikan oleh para pengusaha, para wiraswastawan.
Oleh karena itu, para generasi muda harus berjuang dalam bidang yang sangat berat ini. Perannya sangat besar sekali, kalau bisa mendirikan sebuah usaha, misalnya menolong dalam mempekerjakan 10 orang, dia punya istri dan anaknya 2, maka sudah menolong 40 orang.
Pendidikan vokasi, yang menggabungkan teori dan praktik secara seimbang dengan orientasi utama pada kesiapan kerja, kini semakin relevan untuk menjawab kebutuhan pasar dan tantangan era kompetisi global.
Kurikulum pendidikan vokasi berfokus pada pembelajaran keahlian (apprenticeship of learning) di bidang kejuruan khusus, sehingga lulusannya diharapkan siap memasuki dunia kerja. Namun, meskipun pendidikan vokasi menjadi jawaban atas kebutuhan pasar tenaga kerja, tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan SMK masih menjadi masalah yang perlu segera diatasi.
Kemudian Komisi IX DPR RI yang membidangi pendidikan memiliki peran penting dalam mendorong penurunan angka pengangguran lulusan SMK. Langkah-langkah konkret yang perlu diambil mencakup beberapa aspek, di antaranya mendorong pemerintah untuk secara serius mengevaluasi permasalahan yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK. Evaluasi ini penting untuk mengidentifikasi kesenjangan antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri.
Pemerintah perlu menyediakan pelatihan kerja yang disesuaikan dengan tuntutan industri, termasuk memperhatikan aspek pendidikan perilaku dan pengetahuan yang dibutuhkan di dunia kerja. Ini penting untuk memastikan bahwa lulusan SMK tidak hanya menguasai keterampilan teknis, tetapi juga memiliki soft skills dan pengetahuan yang relevan.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) perlu menetapkan regulasi terkait penyelenggaraan dan pembinaan pelatihan vokasi. Regulasi ini harus mencakup tiga kompetensi utama yang wajib dimiliki oleh calon tenaga kerja, yaitu keterampilan (skills), pengetahuan (knowledge), dan perilaku (attitude). Hal ini penting agar lulusan SMK dapat bersaing di pasar kerja yang semakin ketat.
Pemerintah, melalui Tim Koordinasi Nasional Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi, perlu meningkatkan koordinasi antara kementerian dan lembaga terkait dalam mengatasi tingginya pengangguran lulusan SMK. Koordinasi yang efektif akan memastikan bahwa kebijakan pendidikan vokasi yang diambil dapat berjalan selaras dan berkelanjutan. (*)