Oleh: Rizki P. Dewantoro, M.Si (Pegiat Iqro Movement/Kader Muhammadiyah)
Terdapat momen emosional Mendikbudristek Nadiem Makarim saat perayaan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2024. Dalam lima tahun terakhir, konsep “Merdeka Belajar,” yang awalnya dianggap sekadar slogan, telah berkembang menjadi sebuah gerakan pendidikan yang melibatkan berbagai pihak di Indonesia.
Pada kesempatan tersebut, Nadiem menyampaikan harapan agar semangat Merdeka Belajar terus berlanjut. Gerakan ini menghasilkan sejumlah kebijakan, termasuk Program Guru Penggerak (PGP), Sekolah Penggerak (SP), Platform Merdeka Mengajar (PMM), dan Kurikulum Merdeka.
Sejak penerapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, perubahan kurikulum di Indonesia mengalami perlambatan. Setelah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada tahun 2006, dan Kurikulum 2013 (K-13) pada tahun 2013, Kurikulum Merdeka akhirnya menjadi kurikulum nasional pada tahun 2024. Perubahan ini terjadi setelah K-13 diberlakukan selama 11 tahun, dengan setidaknya empat menteri pendidikan yang berbeda.
Kurikulum Merdeka menawarkan pembelajaran intrakurikuler yang beragam, memungkinkan siswa memiliki lebih banyak waktu untuk memahami konsep dan mengembangkan keterampilan. Guru diberi fleksibilitas dalam memilih materi ajar, sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan minat siswa. Kurikulum ini juga memperkenalkan proyek yang mendukung penguatan profil pelajar Pancasila, yang tidak terikat pada target pembelajaran tertentu atau konten mata pelajaran.
Namun, beberapa studi nasional dan internasional menunjukkan bahwa Indonesia mengalami krisis pembelajaran, di mana banyak siswa kesulitan memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar. Temuan ini juga mengungkapkan adanya kesenjangan pendidikan yang signifikan antara berbagai wilayah dan kelompok sosial di Indonesia.
Dalam konteks kurikulum, penting untuk membedakan antara kerangka kurikulum nasional dan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Kurikulum nasional adalah pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah untuk digunakan oleh guru dalam menyusun kurikulum di tingkat sekolah. Sebaliknya, kurikulum tingkat satuan pendidikan seharusnya dievaluasi dan diperbaiki secara periodik untuk menyesuaikan dengan perubahan karakteristik siswa dan perkembangan isu-isu kontemporer. Kurikulum nasional harus memberikan ruang bagi inovasi dan fleksibilitas agar dapat dikembangkan oleh masing-masing sekolah.
Perubahan kurikulum nasional memerlukan penyesuaian dari seluruh elemen sistem pendidikan. Proses ini harus dikelola dengan hati-hati untuk mencapai hasil yang diinginkan, yaitu peningkatan kualitas pembelajaran di Indonesia. Tidak lain adanya pengembangan kurikulum adalah untuk membentuk sumberdaya manusia yang mampu bersaing dengan bangsa lain.
Pendidikan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mengembangkan sumber daya manusia. Betapa tidak, Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. Selain itu, tingkat daya saing bangsa Indonesia juga lebih rendah dibandingkan beberapa negara ASEAN lainnya. Bahkan, temuan terbaru menunjukkan bahwa tingkat IQ atau kecerdasan penduduk Indonesia berada di peringkat ke-113 dengan skor indeks 78,59.
Dalam Kurikulum Merdeka, penjurusan di tingkat SMA ditiadakan, sehingga siswa dapat memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat dan bakat mereka dengan panduan dari guru bimbingan konseling. Hal ini memungkinkan siswa berdiskusi dengan orang tua, wali, dan guru tentang minat dan bakat mereka serta rencana masa depan.
Penerapan Kurikulum Merdeka dapat terus berjalan dengan dukungan regulasi yang kuat, seperti Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang menjadi acuan bagi pengembangan kompetensi guru dan kepala sekolah. Selain itu, asesmen yang baik, seperti Asesmen Nasional (AN), sangat penting untuk mengevaluasi kemampuan berpikir kritis siswa. Dukungan publik juga menjadi faktor kunci untuk keberlanjutan penerapan kurikulum ini.
Untuk meringankan beban guru, dokumen yang perlu disiapkan hanyalah kurikulum operasional satuan pendidikan dan rencana pembelajaran (RPP). RPP bisa dibuat dengan sederhana, bahkan hanya satu halaman. Tidak ada kewajiban membuat modul ajar yang kompleks dalam implementasi Kurikulum Merdeka.
Kurikulum Merdeka membawa visi baru untuk pendidikan Indonesia, dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan berpusat pada kebutuhan peserta didik. Dengan memberikan guru lebih banyak keleluasaan dalam memilih metode dan materi pembelajaran, Kurikulum Merdeka memungkinkan siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka sendiri, serta mendukung perkembangan kompetensi yang lebih luas.
Pendekatan tersebut mencerminkan kesadaran akan pentingnya pembelajaran yang tidak hanya terbatas pada pencapaian akademik, tetapi juga pada pengembangan karakter dan keterampilan berpikir kritis. Dalam jangka panjang, fleksibilitas ini diharapkan dapat mengatasi krisis pembelajaran yang tengah dihadapi Indonesia, mendorong siswa untuk lebih aktif dan antusias dalam proses belajar.
Masa depan pendidikan Indonesia sangat bergantung pada dukungan dan konsistensi dalam menerapkan Kurikulum Merdeka. Perubahan paradigma ini memerlukan kerja sama antara berbagai elemen pendidikan, mulai dari guru, sekolah, hingga masyarakat. Dukungan regulasi yang kuat dan evaluasi yang efektif melalui Asesmen Nasional, akan menjadi fondasi untuk mencapai tujuan ini.
Dengan dukungan publik yang kuat, Kurikulum Merdeka memiliki potensi untuk menjadi tonggak perubahan yang dapat mengarahkan pendidikan Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah, di mana siswa tidak hanya siap secara akademik, tetapi juga secara moral dan sosial, untuk menghadapi tantangan dunia yang terus berkembang.
Selain tantangan dalam pengembangan sumber daya manusia, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga mempengaruhi arah pendidikan di Indonesia. Perkembangan ini telah membuka peluang bagi munculnya berbagai profesi dan pekerjaan baru, seperti konten kreator hingga Youtuber.
Hal ini menuntut sistem pendidikan untuk beradaptasi dan memberikan pengetahuan serta keterampilan yang relevan dengan tuntutan dunia kerja yang terus berubah. Pendidikan tidak hanya harus fokus pada aspek akademis tradisional, tetapi juga perlu melibatkan teknologi dan keterampilan digital agar siswa dapat bersaing dan berkontribusi dalam ekosistem global yang semakin dinamis. (*)