PIJAR OPINI — Ma’cakar bukanlah panggilan seorang emmak. Atau dua orang yang saling mencakar. Tapi, ma’cakar merupakan aktifitas pasar tradisional, dalam memilih pakaian bekas. Belum diketahui siapa pertama kali mempopulerkan istilah ma’cakar.
Namun, konon kabarnya, semuanya rela terkena cakar, saat rebutan pakaian bekas. Dari situlah kira kira
istilah ini melekat, hingga sekarang.
Soal kualitas. Eeiiits…. Tunggu dulu. Betul memang pakaian bekas. Tapi tidak kalah saing dengan pakaian mewah, yang terpajang dalam etalase cantik, di bawah temaram lampu lux mall.
Harga cakar, hanya ratusan ribu. Itupun yang sudah dipilah dan digantung hanger oleh penjual, lalu
harga di Up, dengan dalih, uang capek memilah cakar.
Selebihnya yang dijual karungan (Ball) melantai, hanya puluhan ribu. Kabarnya, pernah ada yang jual Rp 35 ribu sudah dapat tiga baju. Tentu sangat layak pakai. Betul memang bekas. Soal merk, semuanya juga ori. Karena pakaian itu impor dari beberapa negara eropa, dan negara negara lainnya.
Uniknya, terkadang sesama pembeli tiba tiba berdiskusi hangat, tentang pakaian yang mereka pilih, baik
ukuran, warna, dan model. (seolah olah teman lama yang baru ketemu, setelah sekian tahun terpisah).
Padahal faktanya, mereka belum saling kenal. Dan tak pernah kenalan, hingga mereka pulang ke rumah
masing masing. Hahahahahaa
Tak ada penilaian struktur dan lapisan sosial dalam hal ma’cakar. Tak ada gensi. Semuanya polos seakan
telanjang. Semuanya larut dan menyatu, seperti halnya gula dan kopi, saat diseduh air mendidih.
**
Beda di Mall. Selain hanya cuci mata, Interaksi hanya terjadi dengan pembeli dan penjual. Selebihnya
tidak. Tak ada tawar menawar. Begitupun dengan harga. Jika di mall pakaian tentu dibandrol ratusan
ribu, hingga jutaan rupiah.
*
Sayangnya, cakar kini terancam punah. Terhantui aturan, yang berujung dengan tingginya pajak. Padahal cakar ini murah, meriah, dan mewah. Sangat cocok dengan ekonomi negara kita yang sekarat. Beruntung, masih ada “oknum” yang meloloskan cakar, saat melewati lautan lepas dari negeri seberang. Teringat Zorro, yang berani melanggar aturan. Semuanya demi kaum marginal, karena ekonomi yang tak merakyat. Entahlah, ia pahlawan atau sampah. (*)