OPINI — Di era milenial saat ini, seseorang sangat mudah untuk mendapatkan informasi. Mulai dari adanya fitur-fitur baru dan adanya kemajuan teknologi yang cepat berkembang saat ini. Sehingga tidak heran jika seseorang dengan mudahnya mengetahui informasi yang lagi trending topik. Baik itu melalui media massa maupun media sosial seperti facebook, whatsapp, instagram, twiter dan lain lain.
Salah satu kejadian yang sangat menyita perhatian masyarakat adalah kasus pembunuhan yang terjadi pada Brigadir J. Terlebih lagi terdakwa dari pembunuhan tersebut adalah seorang Jenderal Polisi. Kasus tersebut sangat menyita perhatian masyarakat, sebab kejadian ini diklaim sebagai pembunuhan berencana sehingga mayarakat dibuat tercegang. Terlebih lagi adanya sandiwara yang dibuat oleh para pelaku, seolah-olah korban telah melakukan pelecehan terhadap istri dari pelaku.
Hati orang tua manakah yang tidak sedih saat anaknya dituding telah melakukan pelecehan terhadap istri dari seorang jenderal, akan tetapi kasus pelecehan yang ditudingkan kepada korban akhirnya dihentikan sebab tidak adanya bukti yang mengatakan bahwa Brigadir J melakukan pelecehan terhadap istri pelaku.
Seiring berjalannya waktu, kasus pembunuhan ini pun hampir menemukan titik terang di mana dihadirkanlah saksi-saksi. Baik itu dari keluarga, kerabat, maupun saksi dari pelaku juga dihadirkan dalam persidangan. Dari keterangan saksi, masyarakat kembali dibuat tercengang. Sebab salah satu saksi, yakni Susi yang bertindak sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan Brigadir J yang merupakan Asisten Rumah Tangga (ART) dari pelaku, memberikan keterangan yang dapat dikatakan sebagai kesaksian yang berbohong dan berbelit-belit serta tidak konsisten dalam memberikan pernyataan.
Susi ini telah bekerja sebagai asisten rumah tangga pelaku, yakni Ferdy Sambo (FS) sejak bulan Juli 2020. Tak heran jika sebagian masyarakat berpendapat dan mengeluarkan argumentasinya bahwa Susi ini ingin membela FS, sehingga ia memberikan keterangan yang berbelit-belit.
Pada saat persidangan, hakim sering kali memberikan teguran kepada Susi karena ia memberikan keterangan yang tidak masuk akal bahkan sering kali menjawab tidak tahu dan ia tampak tidak tenang pada saat diberikan pertanyaan. Tampaknya Susi ini berpikir dan tidak langsung menjawab, sehingga membuat Jaksa curiga bahwa Susi ini telah menggunakan handsfree (suatu alat elektronik untuk melakukan percakapan tanpa menggunakan tangan), sehingga JPU mempertanyakan kepada saksi terkait kecurigaan Jaksa karena apa yang disampaikan Susi berbeda dari keterangan polisi yang ditulis dalam berita acara pidana.
Bukan hanya Hakim yang dibuat kesal, Jaksa Penuntut Umum maupun pengacara juga dibuat kesal dengan keterangan yang diberikan oleh Susi.
Hakim kemudian memberikan teguran kepada Susi bahwa apabila ia terbukti memberikan keterangan yang palsu dalam hal ini ia berbohong, maka JPU diminta untuk menangani atau memproses kasus tersebut terkait dugaan saksi yang memberikan keterangan palsu.
Ultimatum berpangkal dari jaksa penuntut umum yang meminta agar hakim melakukan konfrontasi terkait keterangan Berita Acara Pidana (BAP) dari saksi sebelumnya, yakni Kuat Ma’ruf.
JPU kemudian membacakan isi dari berita acara pidana Kuat Ma’ruf yang ternyata ada perbedaan keterangan yang disampaikan dari saksi Susi. Isi berita acara pidana Kuat Ma’ruf mengatakan bahwa, “Saat saya berada di teras rumah melalui jendela kaca teras rumah ke arah anak tangga saya melihat Nofriansyah Yosua mengendap-endap menuruni tangga seolah-olah mencari apakah ada orang di bawah lantai.”
Kemudian, saat itu karena muka Nofriansyah keadaan merah seperti ketakutan. Selanjutnya, saya gedor kaca jendela sambil teriak ke Nofriansyah woy. Namun, ternyata atas teriakan tersebut Yosua malah lari ke dapur.” Berbeda dengan keterangan yang dikatakan Susi bahwa “Kuat berada di garasi bersama saya.”
Perbedaan keterangan itu pun membuat semakin kuatnya pendapat bahwa Susi ini berbohong dalam memberikan keterangan, sehingga kuasa hukum dari Bharada E, yakni Ronny Talapessy meminta agar Susi ini diberikan sanksi dengan pasal 174 tentang kesaksian palsu dengan ancaman pasal 242 KUHP pidana 7 tahun.
Terlepas dari adanya keingingan atau pengajuan dari kuasa hukum Bharada E yang meminta agar Susi ini dipidana, hakim juga harus mampu melihat bagaimana kondisi dari Susi dan seorang hakim haruslah pandai dalam memberikan hukuman tidaklah etis jika seorang hakim hanya memperhatikan kondisi yang ada dalam hal ini kasus tersebut dikarenakan viral dan lagi marak-maraknya dibicarakan oleh masyarakat, lantas hakim menjatuhkan pidana terhadap Susi.
Kita sebagai masyarakat tidak boleh membenarkan apa yang dilakukan oleh Susi.
Seperti yang kita ketahui bahwa keterangan saksi dalam sebuah kasus tindak pidana sangatlah penting karena dengan adanya keterangan yang diberikan maka itu akan menjadi pertimbangan dari seorang hakim untuk memberikan vonis atau hukuman bagi pelaku, sehingga pemberian keterangan yang jelas dan sesuai fakta tanpa adanya manipulasi yang dilakukan oleh saksi itu sangat esensial bagi hakim. Pasal 1 angka 27 KUHAP juga memberikan penjelasan bahwa keterangan saksi ini merupakan alat bukti dalam perkara pidana yang di mana keterangan dari saksi ini membahas mengenai suatu peristiwa yang mereka dengar sendiri, lihat, dan bahkan mereka alami sendiri.
Andai kata seseorang memberikan saksi yang dibarengi dengan kebohongan maka orang tersebut dapat diberikan sanksi sesuai dengan Pasal 242 ayat (1) dan (2) KUHP dengan pidana penjara 7 (tujuh) sampai 9 (sembilan) tahun. Seseorang yang memberikan saksi dibarengi dengan kebohongan hendaklah diberi hukuman agar masyarakat kedepannya takut, sehingga mereka tidak akan memberikan keterangan yang palsu sebab mereka telah mengetahui jikalau ia memberikan keterangan yang dibarengi dengan kebohongan maka ia akan dipidana sesuai dengan Pasal 242 dalam KUHP.
Apalah susahnya kita diminta menjadi saksi dan mengatakan hal yang benar. Bukankah itu sesuatu yang sangat terhomat dan kita dapat membantu hakim dalam menemukan pelaku.
Juris quidem ignorantium cuique nocere, facti verum ignorantiam non nocere (pengabaian terhadap hukum akan merugikan semua orang, tetapi pengabaian terhadap fakta tidak).
Penulis : Purnama Suci (Mahasiswa IAIN Parepare)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan