OPINI — Dalam tradisi klasik, bangsa-bangsa Yahudi, Majusi dan Nasrani menyambut tahun baru dengan melakukan ritual ibadah dan juga pesta pora.
Dari beberapa referensi menyebutkan kerajaan Babilonia merupakan bangsa pertama yang merayakan tahun baru. Bagi mereka, tahun baru ini adalah kemenangan Dewa Langit Marduk melawan Dewi Laut yang jahat, Tiamat. Raja Babilonia menerima mahkota baru.
Dalam penanggalan tahun masehi, kerajaan Romawi dikenal sebagai pencetus pertama penanggalan dan pergantian tahun dengan siklus matahari. Mereka menamai bulan pertama dengan nama Janus, dewa Romawi, yang memiliki dua muka untuk memandang ke depan dan belakang.
Bangsa Romawi memperingati tahun baru dengan berbagai pengorbanan kepada Janus, bertukar hadiah, mendekorasi rumah, dan mengunjungi beberapa pesta.
Bangsa Mesir menandai pergantian tahun dengan melihat banjir sungai Nil. Perhitungan ini bersamaan dengan munculnya bintang Sirius. Sedangkan Cina menentukan tahun baru pada bulan baru kedua saat titik balik Matahari setelah musim gugur.
Pada abad pertengahan, Paus Gregory XIII pada 1582 merubah dan menetapan 1 Januari sebagai tahun baru Masehi. Kekuasaan Kekristenan Eropa memberi makna religius di sekitar pergantian tahun seperti 25 Desember sebagai Hari Natal dan antara 22 dan 25 Maret sebagai perayaan Paskah, seperti yang dirayakan umat Nasrani hingga hari ini.
Dari rangkaian sejarah singkat di atas, ditarik kesimpulan bahwa perayaan tahun baru Masehi disambut dengan berbagai tradisi ritual yang berdimensi religiusitas dan budaya, yang tentu saja mengandung nilai-nilai kesakralan.
Bagaimana tahun kekinian? Nampaknya perayaan tahun baru masehi telah bergeser dan tercerabut dari nilai-nilai religi yang sakral. Bangsa-bangsa modern tetap menyambut awal tahun, tapi dengan nuansa hedonistik dan bahkan bermaksiat, jauh dari nilai religius semua agama-agama.
Bangsa-bangsa kekinian memperingatinya tanpa nilai. Mereka sekedar berhura ria, berkumpul, berpesta, penuh kesenangan. Celakanya, sebagian generasi merayakannya dengan pesta kemaksiatan, misalnya mabuk bersama atau bahkan zina.
Hendaknya para agamawan mengembalikan sakralitas tahun baru dengan nilai-nilai agama. Dari rilis Prof. H. Nasir Mahmud, guru besar UINAM via media sosial mengemukakan beberapa tradisi agama-agama terdahulu. Menurut beliau membunyikan terompet adalah tradisi agama Yahudi, sebagai panggilan beribadah, mungkin semacam azan dalam Islam.
Selanjutnya…