Penulis: Hadiwaratama R. Jusran, S.Pd (Guru SD Muhammadiyah 2 Parepare)
PIJAR OPINI — Salah satu faktor banyaknya orang yang ingin bercita-cita menjadi seorang guru adalah karena tunjangannya, bukan karena keikhlasan di dalam membagi ilmunya. Kalau dilihat dari segi material ataukah gaji guru selama ini apalagi setiap tahunnya yang kenaikannya hanya melalui gaji ke-14 maka seorang guru sangat ketinggalan, namun yang menjadikan seorang guru membeli rumah, mobil, motor, prabot dan lain sebagainya di karenakan tunjangannya. Tunjangan yang dimaksudkan di sini adalah tunjangan profesi atau yang lebih santer kita dengar tunjangan Sertifikasi.
Sertifikasi kadang hanya disebut dengan sertifikasi atau kualifikasi saja. Yang mana menjadi suatu ketetapan yang diberikan oleh suatu organisasi profesional terhadap seseorang untuk menunjukkan bahwa orang tersebut layak untuk melakukan suatu pekerjaan atau tugas spesifik di dalam mengajar dan mendidik. Jadi Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang belum memiliki sertifikat pendidik dan dianggap sudah profesional di dalam mengajar. Adapun Permen yang mengatur Sertifikasi yaitu Peraturan Menteri No 18 tahun 2007 dan Permendikbud nomor 29 tahun 2016.
Kenyataaan di lapangan atau di sekolah saat sekarang ini berbanding terbalik dengan defenisi serta permen yang mengaturnya. Sungguh eronis ketika seorang guru malas masuk mengajar padahal mereka sudah menerima tunjangan sertifikasi. Ada juga guru yang bahkan mengajar di beberapa sekolah dikarenakan ingin mencukupkan jam mereka untuk mendapatkan sertifikasi. Kalau di pandang dari sudut yang berbeda itukan tidak adil. Berarti tunjangan sertifikasi untuk guru belum terasa dan merata.
Inilah yang mungkin yang menjadi pekerjaan rumah bagi skpd terkait atau disdikbud supaya bisa langsung memantau dilapangan atau ke tiap sekolah, melihat dan mengamati kepada semua guru yang sudah bersertifikasi dan yang belum bersertifikasi supaya data di dapodik benar-benar urgen bukan akal-akalan pihak sekolah saja. Namun kesan saya sebenarnya kalau bisa guru yang kreatif, inovatif dan berprestasi juga bisa di perjuangkan untuk mendapatkan sertifikasi baik yang sudah PNS ataupun yang belum PNS supaya sertifikasi itu dapat berjalan secara merata dan tidak berjalan di tepat. Jangan sampai ada image yang mengatakan asal bapak senang saya pasti bantu.
Kalau dilihat dari segi perjuangan PGRI selama ini seakan-akan mati suri tak ada perjuangan sedikit pun khususnya di daerah yang pemimpinnya takut dengan kepala daerah dan suka menganggap dirinya lebih cerdas di banding dengan anggota PGRI yang lain, dalam hal ini saya tidak menyalahkan tapi prihatin dengan kebijakan-kebijakanya. Kalau ada guru yang bermasalah dengan peserta didik langsung di tindak tegas tapi kalau berbicara tentang nasib guru tidak ada komentar sedikit pun. Maka dari itu mungkin sebaiknya pimpinannya diganti setiap tahunnya supaya ada yang namanya regenerasi atau reformasi organisasi supaya bisa juga di rasakan nikmatnya tunjangan sertifikasi oleh setiap guru di berbagai daerah, ini hanya sekadar saran dari sang penulis.
Jadi tugas seorang pemimpin atau kepala pemerintahan baik pusat , provinsi maupun daerah harus mencari jalan bagaimana sehingga semua guru bisa mendapatkan tunjangan sertifikasi secara merata tanpa ada guru yang di anak tirikan dalam artian mengambil jam di sekolah lain. Inilah yang sering di cita-citakan penulis supaya semua guru dapat tunjangan sertifikasi serta tepat sasaran kepada guru profesional dalam arti sebenarnya, bukan pada guru yang malas masuk mengajar di sekolah. Tanpa maksud menyinggung pemerintah daerah , provinsi maupun pusat yang merasa dirinya pintar dan mempunyai sekolah tinggi serta tidak tahu berterima kasih kepada guru yang telah mendidiknya. (*/ris)