OPINI-Persoalan paling kolosal dan jenaka semenjak peradaban manusia maju dengan begitu pesat adalah, “Berebut dan mempertahankan kekuasaan”. Karenanya harus diakui bahwa kekuasaan itu sangat memesona seseorang rela sakit dan mati-matian karenanya” ungkapan yang disampaikan oleh Michel Foucault saat merumuskan teorinya terkait fenomenologi kekuasaan dalam pengetahuan.
Tidak hanya semata mempesona kekuasaan juga memiliki karakteristrik yang tidak stabil, apabila seseorang sudah mendaku sebagai penguasa cenderung akan lebih tidak dapat dikenali, para penguasa memiliki dualitas kedirian dapat menyesuaikan bergantung akan kepentingan dan keuntungan yang hendak dicapai, bila mana penguasa dihadapkan dengan kostituen nya mereka akan tampak sangat dermawan untuk mencipta trust sosialn nya guna mendapat dukungan dan rasa cinta dari rakyat. Namun dibalik semua kemolekan penguasa, dramaturgi kekuasaan sedang ditayangkan hingga rakyat harus lupa mengenali banyak sandiwara sementara bermain dibalik meja kekuasaan.
Semacamnya kekasih hati rakyat, boleh di katakan dimata para penguasa rakyat hanyalah sekadar gerombolan orang dewasa yang sedang tantrum karena kondisi hidup yang sebenarnya sudah direncanakan oleh para penguasa sendiri. Pada kondisi itulah penguasa wajib memperlihatkan daya magnetiknya agar tetap terlihat cantik dan sempurna dengan budget yang tidak sedikit. Alhasil penguasa tidak ingin meninggalkan dan melepaskan hasrat berkuasanya, tetapi bilamana kekuasaan dengan terpaksa harus ditinggalkan, umumnya para penguasa lebih memilih mempersiapkan seseorang sebagai pewaris sah kekuasaannya.
Dari sinilah hasrat berlebihan terhadap kekuasaan oleh banyak orang atau para penguasa menjadi penyakit tidak berkesudahan, penyakit yang dikenal dengan Post Power Syndrome atau mereka yang hidup dalam bayang-bayang kekuasaan, zelinealis menyebutnya gamon terhadap mantan kekasihnya atau gagal muve on pada kuasa yang pernah dimilikinya, lambat laun orang yang mengidap post power syndrome mulai melupakan dan acu tak acuh kepada tugas dan tanggung jawab dari masyarakat. Menjadikan mereka yang berkuasa saat ini sebagai kekasih hati lalu mendapatkan cinta dari rakyat. Tapi begitulah karakteristik yang tidak pernah stabil dari kekuasaan, layaknya pujangga labil pandai merayu dikala butuh dan berlalu pergi tertinggal luka di hati.
Penyakit yang dialami oleh kebanyakan penguasa ini, begitu sangat berbahaya dan sulit diobati, seperti pepatah ,dua golongan orang yang tidak bisa di berikan nasehat “ Pertama mereka yang sedang jatuh cinta yang kedua penguasa dengan hasrat berkuasanya”. Penyakit Post Power Syndrome sedari dahulu telah jadi problem yang berselimut dalam setiap sudut infrastruktur sosial perpolitikan bangsa ini, bermula dari tangan besi Bung Karno, otoritarianisme ala Pak Harto hingga kekuasaan dinasti yang sementara dibangun oleh Pakde Jokowi.
Akhirnya kita sebagai rakyat biasa berada pada kebingungan berperih, semacamnya patah hati, di tipu politisi dan terpaksa memilih orang yang kedepannya akan korupsi. Sebagaimana relasi antara korupsi dan kekuasaan ibarat dua sisi dari satu mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya kekuasaan merupakan ”pintu masuk” bagi tindakan korupsi. Kurang banyaknya seperti itulah hakikat dari keritik berbentuk pernyataan dari Lord Acton, Guru besar sejarah moderen di Universitas Cambrigde, Ingris, yang hidup di abad ke-19. Dengan adagium-nya yang terkenal itu “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.
Relasi antara korupsi dan kekuasaan yang terjadi di setiap sendi-sendi pemerintahan adalah kejahatan yang sangat serius, kita boleh dan tidak bersepakat bahwa di mana ada kekuasaan yang bebal di sanalah praktik koruptif merajalela, maka korupsi bisa dikategorikan sebagai extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena akibat yang di timbulkan hilangnya hak masyarakat dan berdampak buruk bagi kepentingan publik dan kelangsungan hajat hidup banyak orang seperti kesejahteraan, kesehatan, pendidikan dan pekerjaan yang layak. Belakangan ini mata publik melalui platfrom dan portal media di sajikan banyak kabar mengenai perilaku buruk para penguasa mulai dari pejabat istana, daerah, desa hingga pengusaha yang terjerat kasus korupsi.
Merujuk pada laporan hasil pemantauan tren penindakan kasus korupsi yang dirilis oleh Antikorupsi.org dan ICW tercatat sepanjang 3 tahun terakhir kasus korupsi di negeri ini mengalami peningkatan yang begitu menakutkan sebanyak 791 kasus di semua lini sektor pemerintahan dan swasta. Oleh karenanya jangan heran dan bersedih hati bila kemiskinan struktural semakin meningkat, pajak yang ditanggung oleh rakyat melonjak tinggi, fasilitas dan akses untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan semakin ruwet dan dimahalkan serta banyak regulasi atau peraturan dari pemerintah yang sangat kontroversial lalu dipaksakan untuk diterima oleh rakyat sebagai produk kebijakan yang baik, seperti PP TAPERA (Tabungan Perumahan Rakyat) dan lain sebagainya. Inilah fakta dan sekaligus risiko sebagai rakyat yang hidup dalam lingkaran setan antara korupsi dan kekuasaan. Rakyat yang memberikan rasa cintanya kepada penguasa sebagai kekasih hati akan hidup dalam kesedihan-kesedihannya saja “setiap rakyat yang hidup di negeri ini akan merasakan mati, patah hati, ditipu politisi serta haknya di korupsi”.
Kesenjangan harapan hidup yang buruk akibat dari relasi korupsi dan kekuasaan ini mesti wajib di sudahi, rakyat harus terlibat aktif dalam mengorganisir diri untuk melawan mengatakan tidak untuk praktik korupsi. Karena berharap kepada elit negara atau penguasa dan semacamnya sama saja menambah goresan di luka yang belum kering, mereka tidak lagi boleh diberikan kepercayaan dan rasa cinta yang berlebihan, rakyat sudah saatnya sadar dan tercerahkan. Bahwa mereka yang datang (politisi)lima tahun sekali dengan agenda politik berbekal amplop tidak lain iyalah orang-orang yang memuja kekuasaan, mereka yang berlebihan dan libido terhadap kekuasaan adalah pelaku korupsi ketika memperoleh dan menduduki kekuasaan, seperti kata W.S, Rendra “politik adalah cara merampok dunia, politik adalah cara menggulingkan kekuasaan untuk menikmati giliran berkuasa”, untuk mengakhir hubungan haram atau relasi antara korupsi dan kekuasaan, semacamnya patah hati ada tata cara rakyat bersuci dari korupsi.
Tata cara bersuci dari korupsi dapat dimulai dari diri pribadi. Pertama, sebagai masyarakat biasa di negeri ini, waabil khusus kepada orang muda yang dalam kacamata politisi sebagai generasi emas mendatang dengan DPT 54% memiliki posisi dan peluang sebagai penentu arah dan masa depan bangsa. Dari aspek ideologis orang muda meski mantap dengan paradigma progresif baik memilih ataupun berpartisipasi aktif terkait dalam agenda kewarganegaraan, secara taktis orang muda berkewajiban dalam mengawal, mengadvokasi serta mengawasi segala tindak dan aktivitas kekuasaan yang berorientasi pribadi dan merampas hak-hak hajat hidup rakyat antaranya korupsi.
Kedua, para politisi dalam hal ini mereka yang diberi kuasa dan mendapatkan daulat rakyat untuk merumuskan kebijakan haruslah memiliki integritas disertai gagasan yang baik, sebagai politisi yang baik integritas dan kualitas gagasan adalah salah satu tata cara bersuci dari korupsi, tidak hanya bermodalkan baliho besar gagasan kecil apalagi amplop dan satu keresek sembako atau baju kaos. Namun pertanyaan nya apakah politisi semacam ini akan pernah kita temui dalam setiap kontestasi?, rakyat mesti sudah pandai dan secara sadar melihat aktor politik yang memihak atas kepentingan hajat hidup rakyat bukan kepentingan partai politiknya atau golongan dan kronik-kroniknya. Selanjutnya mereka (para politisi) adalah yang lahir dari penderitaan dan berbaur dengan keringat rakyat, politisi yang sudah terlatih patah hati, hadir sebagai oposisi loyal di tengah-tengah kekuasaan, di trotoar jalan berdiri di barisan paling depan mengangkat megapone sambil menyanyikan darah juang bersama rakyat.
Ketiga, tata cara terakhir bersuci dari korupsi adalah keterlibatan aktif dari golongan orang muda atau kepemimpinan orang muda dalam instansi dan institusi pemerintahan. Tidak berarti dengan ini memberikan legitimasi atas grasah-grusuh dan huru-hara kepemimpinan dinasti yang sementara membayangi bangsa hari ini, melainkan kepemimpinan orang muda adalah hadirnya kaum muda progresif yang terpercaya memiliki latar belakang yang jelas, kaderisasi politik yang matang, serta pandangan dan gagasan politik progresif yang ditawarkan. Bangsa ini membutuhkan aktor politik dari golongan orang muda tidak sekadar plonga-plongo yang disokong oleh kekuasaan keluarga. Sosok orang muda seperti Bung Sjahrir, Semaoen, Njotoe dan sosok orang muda seperti D.N Aidit serta Tan Malaka. Sosok orang muda seperti itulah yang kita nantikan di oktober 2024 mendatang, adalah orang muda yang sudah selesai dengan patah hatinya, tidak memiliki syahwat berlebihan terhadap kekuasaan, anti korupsi dan terlatih Patah hati.
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS.COM tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.