OPINI– “Cuci tangan” kali ini bukan bermakna kiasan seperti pemahaman pengagum kontekstual sebagai perilaku tidak turut campur dalam suatu masalah walaupun mengetahuinya. Namun suatu tindakan sanitasi sesuai pemaknaan tekstual, dengan membersihkan tangan dan jari jemari yang menggunakan air ataupun cairan lainnya.
Anjuran mencuci tangan saat merebaknya jenis virus mematikan covid 19 sekarang ini marak didengungkan, baik melalui penyuluh kesehatan atau melalui media dll. Sejarah medis pernah mencatat bahwa di sekitar abad VIII seorang dokter dari Honggaria Ignaz Phillip Semmelweis (1 juli 1818) berhasil mendemonstrasikan gerakan cuci tangan.
Aksi tersebut berhasil menekan tingginya angka kematian dan menyelamatkan banyak jiwa dari risiko demam nifas. Fenomena ini menkonstruk persepsi kolektif sosial yang mengangkat namanya dan menjadikannya populer sebagai pelopor mencuci tangan.
Sebelum gerakan tersebut, di sekitar tahun 570-632 M telah hadir tokoh yang memperkenalkan gaya hidup bersih; mandi, wudhu, tayammum, hingga hal yang terkecil seperti mencuci tangan. Rasulullah saw bersabda dalam HR. Bukhari:
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا ، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda. Jika salah seorang diantara kalian bangun dari tidurnya maka janganlah memasukkan tangannya ke dalam bejana hingga mencucinya sebanyak tiga kali, karena dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam (meletakkannya saat tidur).
Umumnya ulama menempatkan hadits di atas pada pembahasan al adab fi al naum (etika/adab tidur), bahwa orang baru terbangun dianjurkan untuk membersihkan tangan lebih awal sebelum melakukan sesuatu.
Jika teks ini dipahami dengan menggunakan kaedah ‘am (umum), dalam ushul al fiqh العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب (I’itibar didasarkan pada keumuman lafadz, bukan karena kekhususan sebab), maka perintah mencuci tangan bukan pada sebab tidak mengetahui posisi tangan saat tidur (seperti dalam teks). Namun secara umum, konteksnya dimaknai bahwa ketika itu tangan diragukan telah menyentuh sesuatu benda yang di anggap najis dan kotor.
Terma najis dalam makna leksikalnya adalah kotor, dekil, kusam, polusi, dan tercemar namun secara syar’i adalah segala kotoran yang menyebabkan seseorang terhalang untuk beribadah kepada Allah swt. Jelasnya, tidak semua yang kotor dikategorikan sebagai benda najis, misalnya tanah kotor tapi bukan najis.
Pengertian di atas menarik jika dikaitkan dengan perintah mencuci tangan seperti dalam keterangan hadis. Sepertinya penekanannya bukan pada najis semata tetapi juga pada sesuatu yang kotor, karena di dalam teks tidak menyebutkan indikator ibadah, sehingga secara umum dimaknai sebagai upaya memelihara kebersihan.
Bagi Islam, kebiasaan hidup bersih bukan hanya pada saat hendak beribadah tapi hampir di semua aktivitasnya, sehingga Allah swt sangat mencintai orang bersih seperti dalam QS. al Baqarah : 222
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Terjemahnya:
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang yang mensucikan diri.
Sehubungan dengan merebaknya virus covid 19, salah satu anjuran WHO selain sosial distancing adalah berusaha untuk selalu hidup bersih dan membiasakan mencuci tangan, sebagai satu organ tubuh yang sangat aktif dan terbiasa menyentuh muka. Angela (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa, rata-rata orang menyentuh mukanya 23 kali dalam satu jam. Bagian yang paling banyak disentuh adalah mulut, sebanyak empat kali dengan durasi 1 – 12 detik (Kompas.com, 19/3/2020).
Penyebaran dan penularan virus melalui tangan, sebenarnya sudah disampaikan sejak dahulu melalui salah seorang sahabat bahwasanya Rasulullah saw berwudhu setelah bersentuhan dengan orang penyakitan. Sebagai mana dalam HR. al Thabrani.
عن عبد الله بن مسعود قال رسول الله صلي الله عليه وسلم : كنا نتوضأ من الأبرص إذا مسسناه.
Artinya.
Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah saw bersabda. Kami berwudhu setelah bersentuhan dengan penderita kusta.
Sama halnya dengan anjuran untuk mandi dalam al qaul al qadim (perkataan terdahulu) dari Imam Syafi’ bagi orang yang sudah memandikan jenazah. Selanjutnya dalam al qaul al jadid (perkataan baru), pendapat itu berubah dan menyarankan untuk berwudhu.
Dua kasus seperti dikemukakan di atas dalam kajian fiqh tidak menjadi sebab untuk melakukan wudhu dan mandi. Kusta bukan hadas kecil yang menuntut untuk dilaksanakannya wudhu, demikian al janaiz (jenazah) tidak termasuk kategori hadats besar yang menuntut orang menyentuhnya untuk mandi.
Dengan demikian, Islam memberikan dua solusi untuk hidup sehat yakni dengan dua praktik hidup bersih yakni melalui memelihara wudhu dan membiasakan mandi. Adapun illat (alasan) hukum dalam anjuran tersebut adalah untuk menghindari penularan penyakit, sehingga dapat dianalogikan dengan antisipasi penyebaran virus covid 19. (*)