OPINI — Potret kehidupan global acap kali dibicarakan dalam forum pertemuan berskala nasional maupun internasional, masalah terbesar oleh hampir semua negara adalah krisis ekologi bersamaan dengan rusaknya lapisan ozon dan pemanasan global. Atmosfer yang menyelimuti sekaligus tameng bumi dari jatuhnya meteor, dikabarkan semakin menipis sehingga akan berefek pada keseimbangan ekosistem terutama bagi manusia. Hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungan akan tidak harmonis dan berefek pada perubahan cuaca ekstrim dan sulit diprediksi, sehingga cukup berpengaruh terhadap ketersediaan pangan dunia.
Di era industrialisasi, saat manusia memasuki peradaban moderen yang didukung oleh kemajuan sains dan teknologi, maka sikap untuk mengelola alam dan lingkungan pun semakin maju, terlebih ketika didukung oleh informasi digital yang kedahsyatannya mempengaruhi kehidupan global. Menyikapi peradaban industrialisasi inilah kemudian memaksa manusia untuk saling berkompetitif untuk mengambil peran terhadap alam lingkungan demi untuk pemenuhan kebutuhannya.
Dilematisnya ada pada sikap bahwa di satu sisi manusia secara bijak harus memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di sisi lain mempertahankan lingkungannya. Ibarat dua kekuatan raksasa saling beradu ilmu, raksasa ekonomi dan ekologi. Akankah prinsip dan praksis ekonomi dapat dipertemukan dengan ekologi?
Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk hidup dengan benda tak hidup di lingkungannya. Inti dari tujuan ilmu ini adalah untuk mensterilkan dan menjaga kelestarian lingkungan.
Sebaliknya ekonomi mengajarkan perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran, yang bisa diperoleh melalui eksplorasi terhadap alam lingkungan, sementara kendala terbesar dalam ekonomi adalah ketidakseimbangan antara kebutuhan manusia dengan ketersediaan bahan baku dari lingkungannya, sehingga potensi kerusakan lingkungan cukup besar seperti; perluasan lahan industri, penebangan pohon, pembabatan hutan, polusi udara hingga polusi suara.
Sepanjang percaturan antara ekonomi dan ekologi tersebut, tercatat bahwa pemenangnya adalah ekonomi. Hingga pada akhirnya di era merebaknya Covid 19, ekonomi tersungkur sebagai akibat dari; imbauan untuk tinggal di rumah, bekerja dari rumah, kebijakan lockdown, oprasionalisasi pabrik-pabrik untuk sementara dikurangi, bahkan ada yang tutup. Kendaraan lalulintas darat perlahan berkurang seiring dengan pembatasan aktivitas luar rumah.
Fenomena dahsyat ini menjadi indikator bahwa percaturan itu dimenangkan oleh ekologi. Betapa tidak, Seechewal seorang warga negara India, sebagai pegiat kesadaran terhadap pencemaran lingkungan, telah bekerja selama lebih dari 30 tahun, saat melihat gunung Himakaya yang tertutup salju dengan jelas dari atap rumahnya dan menyaksikan langsung bintang di malam hari, tiba-tiba terstruktur kalimat takjub “Saya belum pernah melihat yang seperti belakangan ini,” (baca; Liputan6.com, New Delhi).
Satu rekayasa global oleh Allah SWT dengan merefresh alam agar kembali menjadi steril, sekaligus menjadi penyadaran terhadap manusia untuk mengelola alam ini. Pesan moral dalam Islam melalui kajian الفقه البيعة (Fiqh Lingkungan), menekankan bahwa المحافظة علي البيعة (pemeliharaan terhadap alam) saatnya dinaikkan posisinya pada level al dharuriyah (primer), bukan lagi pada tataran al hjiyah (sekunder).
Konsep dasar dalam al Qur’an disebutkan bahwa Allah memposisikan manusia sebagai khalifah (pemimpin) untuk memakmurkan alam, karena segala sesuatunya pun diciptakan agar manusia bisa mengambil manfaat darinya. Allah swt berfirman dalam Q.S al Baqarah:
هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ لَكُم مَّا فِى ٱلْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ ٱسْتَوَىٰٓ إِلَى ٱلسَّمَآءِ فَسَوَّىٰهُنَّ سَبْعَ سَمَٰوَٰتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Terjemahnya:
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Al Qurthubi menjelaskan maksud dari kalimat bahwa “Allah meciptakan segala sesuatunya untuk kalian” yakni:
استدل من قال إن أصل الأشياء التي ينتفع بها الإباحة
Artinya;
Menjadi dalil bagi yang berpendapat bahwa dasar atas segala sesuatu yang bermanfaat adalah hukumnya boleh.
فهذه الأشياء كلها مسخرة للآدمي
Artinya:
Ayat ini menjadi dasar bahwa segala sesuatunya ditundukkan untuk keturunan Nabi Adam as (manusia).
Islam memberikan kekuasaan pada manusia untuk mengelola alam, namun tidak berarti bahwa kekuasaan itu tak berbatas seperti dalam paham antroposentrisme dengan persepsi bahwa manusia sebagai pusat dari alam semesta dan hidupnya semata-mata untuk kepentingannya sendiri. Asumsi ini justru mengkonstruk keegoan/keakuan dari manusia, sehingga segala sesuatunya dianggap hanya instrument untuk mencapai kepentingannya, tanpa mempertimbangkan bias kerusakan atas perbuatannya. Allah swt dalam Q.S Ar Rum: 41
ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Terjemahnya;
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Dengan demikian hiruk pikuk peradaban dunia sesaat menjadi senyap dengan merebaknya virus covid-19, aktivitas sosial perlahan dibatasi dengan tetap di rumah, bekerja dari rumah dan jarak interaksi mesti melampaui 2 meter. Sepertinya fenomena ini merupakan rekayasa ekologi dengan skenario langsung dari sang pencipta.(*)