OPINI— “Musibah yang tak terelakkan bagi umat Islam adalah meninggalkan shalat Jum’at hingga pada hitungan tiga kali berturut-turut”.
Sebuah statemen yang cukup merisaukan bagi masyarakat muslim di Indonesia. Betapa tidak, di tengah merebaknya Covid 19, banyak yang tidak melaksanakan shalat jumat hingga batas angka tersebut, akibat adanya imbauan untuk mengurangi kontak sosial, tinggal di rumah dan bekerja dari rumah.
Alasan ini masih dalam batas rasional, akal masih mampu mencerna ketimbang dengan seorang yang tidak melaksanakan shalat jum’at dengan dalih “jum’atan di Mekah”. Entah ini hanya sebuah guyonan atau sekedar melegitimasi perilakunya, atau secara spiritual memang seperti itu. Jelasnya, jadwal pelaksanaan shalat jumat antara Indonesia dan Mekkah memiliki selisih dengan posisi lintang dan bujur yang berbeda.
Sekedar ingin menguak alasan hingga tidak melaksanakannya, ternyata terdapat satu pendapat tentang pelaksanaan shalat jum’at yang mempersyaratkan hanya bisa dilakukan di mesjid jami’.
Mungkin ini menjadi benang merah dari statmen tersebut, alasan tidak jum’atan di mesjid ternyata karena tidak terpenuhinya syarat sahnya (bukan mazhab Syafi’). Meski demikian muslim Indonesia tidak berpegang pada pendapat itu karena mayoritas bermazhab Syafi’iyah.
Adapun dasar hukum wajibnya pelaksanaan shalat jum’at dapat ditemukaan dalam Q.S al Jumu’ah: 9
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ الله وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
Hai orang-orang beriman, apabila kamu diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu mengingat Allah. Tinggalkanlah jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Satu riwayat (Mustofa al-Bugho & Ali Asy-Syarbaji dalam Kitab Fikah Mazhab Syafie) tentang pelaksanaan shalat jum’at menjelaskan bahwa, perintahnya sejak Rasulullah saw masih berada di Mekah yakni sebelum berhijrah ke Madinah. Namun karena ketika itu orang-orang Islam lemah dan tidak berkemampuan untuk berkumpul maka pelaksanaannya tertunda hingga Rasulullah saw hijrah ke Madinah (Yatsrib). Untuk pertama kalinya dilaksanakan berkat salah seorang sahabat dari golongan Anshar bernama al Sa’ad bin Zurarah, berhasil menghimpun untuk pelaksanaan shalat jum’at.
Imam madzhab bersepakat bahwa hukum pelaksanaan shalat jum’at adalah wajib, sebagaimana dalam qaidah al amr disebutkan bahwa hukum dasar dalam perintah adalah wajib (الاصل في الامرللوجوب). Mereka juga bersepakat bahwa meninggalkan tanpa udzur adalah pelanggaran berat, dikategorikan munafiq dan akan dikunci hatinya, sebagaimana dalam teks hadits riwayat al Abu Daud, Rasulullah saw bersabda:
عن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه قال رسول الله صلي الله عليه وسلم: مَنْ تَرَكَ الجُمُعَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللهُ عَلَى قَلْبِه
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw telah bersabda. Siapa meninggalkan shalat Jumat tiga kali karena meremehkan, niscaya Allah menutup hatinya,” (HR At-Turmudzi).
عن أبي عثمان عن أسامةابن زيد قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :مَنْ تَرَكَ ثَلَاثَ جُمُعَاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ كُتْبَ مِنَ المُنَافِقِيْنَ
Artinya:
Dari Abu Utsman dari Usamah bin zaid berkata. Rasulullah saw telah bersabda. Siapa yang mendengarkan azan pada tiga shalat Jumat, kemudian ia tidak menghadirinya, niscaya namanya ditulis ke dalam golongan orang munafik,” (HR At-Thabarani)
Dua hadits di atas cukup mewakili problem sosial selama ini diperdebatkan antara kelompok yang tetap hendak menunaikannya dan yang mengikuti imbauan pemerintah atas dukungan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar tidak menunaikannya. Problema ini sebenarnya dapat merusak stabilitas keberagamaan, ketika tidak ada upaya untuk memberikan penjelasan sesuai dengan matode penetapan hukum (istinbath al hukm) yang biasanya digunakan oleh para ulama fiqh (fuqaha).
Memahami teks atau dalil untuk menetapkan hukum syar’i dengan metode istinbath memiliki dua manhaj yakni; metode pemahaman tekstual (طرق اللفظية ومعني الحروف) dan pemahaman kontekstual (طرق المعنوية). Kategori dalil di atas adalah qath’i al dalalah (sesuatu yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus dipahami darinya dan tidak mengandung kemungkinan takwil serta tidak ada tempat peluang untuk memberikan pengertian yang lainnya). Sehingga manhaj yang digunakan adalah pemahaman tekstual (طرق اللفظية ومعني الحروف).
Selanjutnya setelah diketahui kriterianya maka selanjutnya dilakukaan pelacakan untuk mengukur ke-qaath’i-annya dengan berdasar pada qaidah ushul al fiqh agar diketahui sejauh mana batas untuk melakukan interpretasi. Misalnya:
Al-Zahir Dalam kitab-kitab Ushul Fiqh ialah lafal yang masih menerima kemungkinan arti lain (ihtimal) di dalam dalalahnya.
Al-Nash Nash adalah lafal yang tidak mengandung arti lain (ihtimal) yang timbul dari dalil.
Al-Mufassar adalah lafal yang menunjukkan kepada maknanya sesuai dengan maksud konteks kalimat.
Muhkam adalah lafal yang menunjukkan makna yang dimaksud, dalilnya qath’i dan tidak memerlukan ta’wil, takhsis dan nasakh.
Jika diidentifikasi dalil di atas maka tingkat ke-qath’i-an nya, berada pada poin ketiga yakni al-mufassar. Maknanya mesti dipahami sesuai dengan maksud konteks kalimat, karena ayat yang terkait dengan pelaksanaan shalat jum’at masih menjadi persoalan furu’iyah (cabang) yang memungkinkan masih diperdebatkan oleh para ulama imam madzhab. Tulisan ini tidak akan menyebutkan empat mazhab yang umum diperpegangi oleh umat Islam bermazhab sunni, melainkan hanya mengangkat dua pendapat berbeda dalam masalah yang sama yakni tentang penetapan syarat wajib dan syarat sah shalat jum’at dan sekadar hanya ingin membuktikan bahwa problem ini masuk dalam kategori furu’iyah (cabang).
Imam Syafi’ menyebutkan syarat yang berbeda dengan Imam Abu Hanifah (Baca: Syekh Abdurrahman Al-Juzairi, Al Fiqh ‘Ala Mazahib Al Arba’ah). Berikut dapat di perhatikan perbedaan atas keduanya:
Madzhab Imam Syaf’i
Sholat Jum’at dan kedua khutbahnya secara yakin dilaksanakan pada waktu Dzuhur.
Dilaksanakan dalam suatu bangunan yang luas (memadai) dan tidak sah dilaksanakan di padang pasir. Dilaksanakan secara berjamaah. Jumlah jamaahnya mencapai empat puluh orang.
Mendahulukan Shalat Jum’at daripada shalat lainnya. Mendahulukan dua khutbah lengkap dengan syarat dan rukunnya.
Madzhab Imam Abu Hanifah
Di dalam kota, maka shalat Jum’at tidak diwajibkan atas orang yang tinggal di desa.
Ada izin dari penguasa (pemimpin) atau wakilnya yang dipercayakan.
Masuk waktu, maka shalat Jum’at tidak sah kecuali apabila waktu Dzuhur telah masuk.
Berkhutbah. Khutbah dilakukan sebelum sholat Jum’at. Berjama’ah, maka shalat Jum’at tidak sah apabila dilaksanakan sendirian.
Diperkenankan untuk masyarakat umum oleh imam (penguasa), maka shalat Jum’at tidak sah dilaksanakan di suatu tempat yang sebagian orangnya dilarang memasuki daerah tersebut. Shalat Jum’at juga sah dilaksanakan di tanah lapang dengan dua syarat:
1) Mendapat izin dari imam (penguasa).
2) Tanah lapang tersebut tidak jauh dari kota dengan jarak lebih dari satu farsakh (3 mil) dan hendaklah antara tanah lapang dengan kota itu terhubung.
Sampel perbedaan pendapat (ikhtilaf) antara kedua madzhab tersebut sudah cukup untuk menjawab problematika ibadah shalat jum’at ditengah merebaknya virus covid 19.
Tidak dilaksanakannya shalat jum’at bukan hanya semata-mata karena alasan darurat kemanusiaan melainkan sudah dijelaskan secara detil dalam madzhab Hanafi bahwa tidak boleh dilaksanakan tanpa izin dari penguasa. Fenomena sosial keberagamaan di Indonesia memang mayoritas bermadzhab Syafi’iyah, namun bukan berarti bahwa madzhab lain tidak ada peluang untuk dijadikan dasar (hujjah). Terdapat satu sampel dengan kejadian berulang, misalnya; Bersentuhan kulit lawan jenis dengan selain mahram bagi mayoritas jama’ah haji dan umrah asal Indonesia dinyatakan batal karena mazhab tersebut menyebutnya sebagai salah satu hal yang membatalkan wudhu. Artinya, ketika wudhu batal maka thawaf dan beberapa ibadah yang mempersyratkannya otomatis akan ikut menjadi batal. Jika itu dikategorikan sebagai darurat maka alasan tersebut, tidak ditolerir oleh pengikut Syafi’ karena hanya berlaku selama tiga hari (bandingkan batasan hari atas hukum darurat untuk mengqasar shalat bagi musafir).
Karena itu, umumnya jama’ah diajarkan untuk intiqal al madzhab (pindah madzhab) selama dalam pelaksanaan ibadahnya, namun konsekuensi atas alternatif tersebut harus pindah satu paket (qadhiyah). Ketika pindah dari satu madzhab ke madzhab lain tidak boleh dibatasi hanya pada pembatalan wudhu semata, melainkan mulai dari tata cara wudhu, syarat, rukun hingga hal-hal yang membatalkannya.
Menghindari tempat keramaian untuk memutus mata rantai virus covid-19, hingga mengikuti anjuran pemerintah untuk shalat duhur di rumah sebagai pengganti shalat jum’at, tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai munafiq atau tertutup hatinya. Analogi terhadap intiqal al mazhab (perpindahan mazhab) pada persoalan wudhu sudah cukup menjadi isyarat bahwa pelaksanaan shalat jum’at saat merebaknya covid-19 memaksa kita untuk melirik dan mengamalkan mazhab Hanafiyah dengan menetapkan syarat sahnya, harus dengan izin pemerintah.
Dengan demikian satu qaidah yang bisa dijadikan pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam problematika shalat jum’at ini adalah ترك الاركان والشروط باطل (meninggalkan rukun dan syarat hukumnya adalah batal). Salah satu syarat sah dari pelaksanaan shalat jum’at menurut madzhab Hanafi adalah mendapat izin dari pemerintah. Wallahu a’alam bi al shawab. (*)
Tulisan opini yang dipublikasikan di media online ini menjadi tanggung jawab penulis secara pribadi. PIJARNEWS tidak bertanggung jawab atas persoalan hukum yang muncul atas tulisan yang dipublikasikan.