OPINI — Terharu saat mengingat kisah dari hamba Allah Swt yang beribadah dengan kualitas ketaatan sulit tertandingi oleh hampir semua makhluk. Apresiasi atas ketundukannya suatu ketika disampaikan oleh seorang sufi besar bernama Al-Hallaj (w. 301 H) dengan mengatakan “ما كان في اهل السماء موحد مثل ابليس” (tidak ada penduduk langit yang menyerupai murninya tauhid iblis).
Konon tidak satu pun ruang yang tidak pernah ditempati bersujud kepada Allah swt. Namun saat diperintahkan bersujud pada Nabi Adam as, Azazil (kemudian disebut Iblis) enggan melakukannya. Seperti dalam firman Allah swt pada QS. al Baqarah : 34
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ
Terjemahnya
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Kisah pembangkangan Iblis atas perintah bersujud tersebut cukup jelas karena kesombongannya, merasa bahwa dirinya lebih mulia dari nabi Adam dengan dalih اناخيرا منه خلقتني من ناروخلقته من طين (aku lebih mulia dari dirinya, Engkau menciptakanku dari api, sementara Adam diciptakan dari tanah). Akibatnya Allah murka, melaknat dan mengusirnya hanya karena satu pelanggaran yang dilakukannya.
Bagi Iblis, bersujud pada Nabi Adam memang sulit diterima dengan dua alasan, pertama yaitu esensi penciptaan iblis lebih mulia. Kedua Iblis tidak pernah bersujud kepada selain Allah tiba-tiba diminta bersujud pada nabi Adam dengan notabene sebagai makhluk. Kesalahan terbesarnya adalah mengabaikan esensi perintah yang sumbernya dari Allah Swt.
Konsekuensi atas keangkuhannya diusir dari surga, dengan memohon kepada Allah Swt untuk diberikan kesempatan menyesatkan manusia hingga akhir zaman. Permohonan diterima, namun sejak saat itu dilaknat oleh Allah, hingga diliputi oleh penyesalan karena pintu tobat ditutup atas dirinya. Itulah Iblis yang dalam pemaknaan leksikalnya merupakan pecahan kata dari fi’il ابلس -يبلس artinya menyesal.
Menyikapi satu perintah kadang membutuhkan kebijaksanaan dengan memahami maksud dan tujuannya. Salah dalam mengambil sikap, terkadang akan berefek pada diri, keluarga dan lingkungan, bahkan tidak jarang berbuntut pada penyesalan atas perbuatan yang berdampak pada individu lain.
Sikap terhadap imbauan untuk tidak berkumpul dan menjaga jarak, bekerja dari rumah dan shalat jum’at diganti dengan shalat duhur di rumah. Imbauan tersebut perlu dipahami dengan melihat esensi perintahnya berdasarkan kronologi atas dikeluarkannya. Intinya, bukan sebagai larangan shalat jum’at dan bukan alasan melemahkan iman (ضعف الايمان), melainkan karena alasan kemanusiaan.
Satu kitab Badzlu al Ma’un fi fadhli al Tha’un oleh al Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al Asqalani menyebutkan salah satu alasan dan motivasi dalam penyusunan kitabnya adalah kesalahan pemerintah Mesir, telah mengumpulkan jama’ah untuk melakukan doa bersama di tanah lapang saat mewabahnya tha’un. Seperti dalam kutipan berikut:
Artinya:
Aku berkata : dan terjadi pada zaman kami, ketika awal merebaknya penyakit tha’un di Mesir, pada tanggal 27 Rabi’ul akhir tahun 833. Adalah jumlah yang meninggal ketika itu kurang dari 40 orang. Maka mereka keluar di tanah lapang tepat pada tanggal 4 Jumadil ula, setelah menunaikan puasa selama 3 hari sebagaimana pelaksanaan istisqa (shalat minta hujan). Mereka berkumpul dan berdoa dan sesaat mendirikan shalat, kemudian kembali. Tatkala sebulan berlalu maka orang yang meninggal di Mesir melampaui seribu perhari, dan terus bertambah (karena terjangkiti).
Pesan tulisan dalam kitab tersebut mengajarkan tentang kesalahan atas perilaku eksklusif, terhadap konsep bahwa manusia melakukan perbuatan yang sudah dikehendaki dan ditetapkan Allah tanpa ada ikhtiyar. Paham ini ditemukan dalam aliran Jabariyah, salah satu aliran Mutakallimin abad ke-2 Hijriyah. Aliran ini mirip dengan Fatalisme atau Predestination dalam filsafat Barat.
Paham tersebut, kembali mencuat di tengah merebaknya virus Covid-19. Hasil uji laboratorium tentang pandemi global, bahwa virus tersebar di hampir semua wilayah geografis, tidak diterima oleh sekelompok dari mereka dengan alasan keyakinan. Klaim terhadap suatu tempat masih tetap steril, diyakini tanpa melalui hasil uji laboratorium ilmiah. Akhirnya, ilmu lain tidak diberikan tempat oleh mereka, padahal pesan ilmiah dalam al Qur’an sangat universal dan memberikan peluang terhadap integrasi keilmuan. Peran intelektual bidang keilmuan relevan akan ikut berkontribusi dalam menyelesaikan problematika umat. Rasulullah saw bersabda:,
قال صلى الله عليه وسلم: «إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة، قال: وكيف إضاعتها؟ قال: إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة» (رواه البخاري).
Artinya:
Rasulullah saw bersabda: jika amanat dihilangkan maka tunggulah waktu kehancurannya. Seorang bertanya, bagaimana amanat itu hilang? Rasul menjawab, jika urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah waktu kehancurannya (HR. Bukhari).
Seruan untuk melakukan Social Distance atau Phyisical Distance sebagai upaya preventif, merupakan wujud nyata atas kolaborasi dan integrasi bidang keilmuan. Konklusi yang dianggap memberikan solusi tersebut tidak hanya di Indonesia, bahkan negara Islam di hampir seluruh belahan dunia bersepakat untuk itu.
Meski sebagian kecil tengah berupaya untuk menolak kesepakatan itu, seakan tidak menerima satu metode penemuan hukum (استنباط الحكم) dalam Islam yakni al Ijma’ (konsensus). Kontroversi dikalangan ulama memang terdapat golongan yang menolak landasan ini. Mereka hanya mengakui konsensus saat pemilihan khalifah pertama pasca wafatnya Rasulullah saw.
Setelah wilayah Islam meluas, konsensus tidak legal dengan alasan mustahil mereka bersepakat dengan melampaui seperdua dari jumlah totalitas. Sebagaimana dalam qaidah al fiqhiyah disebutkan
لا ينكر المختلف فيه وانما ينكر المجمع عليه
Artinya
Tidak diingkari perselisihan di dalamnya namun justru diingkari adalah kesepakatan di dalamnya.
Persyaratan ini memang ketat bahkan sangat minim kemungkinannya terjadi. Namun dengan isu global pemutusan mata rantai persebaran virus Covid-19, qaidah tersebut terbantahkan karena sebagian besarnya di belahan dunia Islam bersepakat untuk Social Distancing atau Physical Distancing. Akhirnya tulisan ini mencoba menuangkan satu pertanyaan.
Andaikan virus ini adalah Dajjal, apakah perintah mengunci pintu, mengikat tangan isteri dan anak perempuan, agar tidak keluar rumah (lockdown total) akan tetap dipatuhi? Atau sebaliknya berkumpul di tempat ibadah? Pertanyaan ini kurang rasional tapi sekedar ingin menguak kontroversi isu atas datangnya kiamat di tengah merebaknya virus Covid-19. Wallahu a’alam bi al shawab. (*)
*Penulis adalah lulusan Doktor Konsentrasi Hukum Islam, UIN Alauddin Makassar. Selain bekerja sebagai dosen yang menjabat sebagai Wakil Dekan II Fakshi IAIN Parepare, Sulawesi Selatan, penulis juga seorang dai dan pimpinan Pondok Pesantren Ma’had Mas’udiyah Al Syadziliyah Li Dirasatil Qur’an. Pesantren yang terletak di Jalan Industri Kecil Parepare tersebut kini dalam tahap pembangunan. HP/WA (0852-5574-6171)