Oleh : Dr Agus Muchsin, Dosen IAIN Parepare
OPINI — Bekerja dari rumah, sebuah pesan bijak untuk para pejuang melawan covid 19, setiap saat didemonstrasikan agar penyebaran virusnya dapat ditekan. Realisasi terhadap imbauan ini sangat berat, terlebih peruntukannya kepada makhluk berkarakter dinamis dan berkembang seperti manusia.
Heraclitus menyebutnya panta rei, tidak ada yang tidak berubah, semua akan mengalir, dinamisasi masyarakat sewaktu-waktu berubah. Prolog ini, sepertinya menggiring untuk menguak histori budaya kerja di luar rumah, tentang kapan dimulai, siapa yang memulainya, dan sejak kapan pekerjaan itu mulai terorganisir?
Rentetan pertanyaan yang akan menggiring pada jawaban abiguitas, tak seorang pun mampu mendetilkannya, terlebih jika hanya menyandarkan pada manusia pertama, dengan mengkalkulasi tingkat kebutuhannya yang sederhana dan kuantitas komunitas relatif sedikit.
Alam masih begitu ramah menyediakan kebutuhan primer untuk kelangsungan hidupnya, mempertahankan hidup tidak perlu memaksakan diri untuk bekerja, hidup lebih enjoi cukup dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain (nomaden). Ini pun tidak diketahui sejak kapan berakhirnya dan kapan mereka mulai belajar beraktivitas dengan bercocok tanam, mengembala, barter dst.
Disamping primer seperti di atas, terdapat kebutuhan sekunder dan tersier. Pemenuhan pada tingkat ini, tampak ketidak-mampuan untuk membedakan di antara ketiga tingkat kebutuhan tersebut. Skala prioritasnys tidak jelas, sekunder diidentifikasi sebagai primer atau tersier dijadikan sekunder. Pola memaneg kebutuhan diacak secara amburadul, akibatnya menjadi faktor dominan untuk eksis di luar dan saling berkonpetitif, demi sebuah identitas dan kuantitas.
Jika eksplorasi bebas berikut ini dijadikan tolok ukur untuk menjawab sederetan pertanyaan di atas, maka tetap terperangkap pada jawaban ambiguitas karena kebenaran data ilmiah untuk ini, hanya kebenaran postulat yang biasanya digunakan untuk menurunkan keterangan lain, sebagai landasan awal untuk menarik suatu kesimpulan.
Benang merah dari diskusi ini berawal dari hiruk-pikuknya kehidupan, yang setiap hari memaksa orang meninggalkan rumah, meski dalam keadaan anaknya masih tertidur. Pulangnya pun saat tengah malam, saat anaknya sudah dalam keadaan tertidur. Satu sikap atas alternatif hidup dengan menjatuhkan pilihan dengan alasan masa depan anak-anaknya.
Dalih tersebut lambat laun membentuk siklus harapan yang berbuntut pada pergerakan masyarakat yang sulit untuk dikendalikan, ibarat diskinesia tardif dengan tangan dan kaki dibelenggu karena gerak tak terkendali. Gerak sosial itu pun demikian menjadi lamban, dibelenggu atas himbauan bekerja dari rumah dan tinggal di rumah akibat merebaknya virus covid 19.
Social balances terutama bidang ekonomi akhirnya terkendala, harga-harga kebutuhan di pasar mengalami kenaikan, sebagian pelaku ekonomi memanfaatkan moment di tengah kepanikan masyarakat, munculnya pemodal yang memborong beberapa jenis kebutuhan dan turunnya daya beli dari masyarakat, suatu ketika akan berdampak pada strukturisasi kemiskinan global.
Karena itu, pemerintah mesti tanggap dan berhati-hati dalam memberikan solusi dengan mengeluarkan kebijakan dalam menangani kelangkaan pasokan sejumlah bahan pokok, dan melakukan pengawasan terhadap lonjakan harga pasar. Sekedar ingin memperkenalkan satu lembaga yang pernah eksis dalam otoritas hukum Islam yakni wilayah al muhtasib sebuah lembaga khusus dengan kompetensi pengawasan pasar.
Rasulullah saw suatu ketika melakukan inspeksi pasar dan menemukan praktik penimbunan barang yang berefek pada ketidak stabilan harga. Rasulullah saw bersabda dalam HR. Imam Timidzi.
عن معمر بن عبد الله بن نضلة قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول لا يحتكر إلا خاطئ
Artinya:
Dari Mu’ammar bin Abdullah bin Nadhlah berkata, aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda. Tiadalah seseorang yang melakukan penimbunan terkecuali dia berdosa
Hadis riwayat Imam Ahmad, Rasulullah saw bersabda.
من احتكر طعاماً أربعين ليلة فقد برئ من الله وبرئ الله منه
Artinya.
Barang siapa yang menimbun bahan makanan selama 40 (empat puluh) malam maka ia terlepas dari Allah dan Allah lepas darinya.
Konteks dari dua hadis tersebut berkisar tentang upaya penyeimbangan siklus ekonomi dengan aksi turun langsung memantau aktivitas pasar, mulai dari sistem perputaran uangnya hingga praktik ekonominya (المعاملة).
Menariknya kalau ternyata aktivitas pasar menuntut pemerintah untuk nenetapkan standar harga barang, maka dengan kaidah, الضرورات تبيح المحضورات (keadaaan darurat membolehkan kelonggaran) dibolehkan untuk melakukan tasy’ir al ijbar. Oleh al Syauqani didefenisikan sebagai,
أن يا مر سلطان أونوابھا أوكل من ولى من امورالمسلمين أمرا أھل السوق أن لا يبيعوا أمتعتھم الا سعر كذا فيمنع من الزيادة علیھا أوالنقصان لمصلحة
Artinya:
Perintah penguasa atau wakilnya atau setiap pemerintah yang menangani urusan kaum muslim, untuk menerintahkan bagi pelaku ekonomi di pasar untuk tidak menjual barang dagangannya kecuali dengan harga yang telah ditetapkan, dilarang untuk menambah atau menguranginya dengan tujuan untuk kemaslahatan
Penentuan harga dalam mekanisme pasar adalah hak prerogatif antara penjual dan pembeli, dalam al Qur’an tidak disebutkan keterlibatan pihak di luar dari keduanya. Secara teks cukup jelas dalam QS. al Nisa’: 29 Allah swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, janagnlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang kalian saling ridha. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kalian.
Sistem perekonomian dalam ayat di atas memberikan kekuasaan penuh terhadap individu untuk mengelola hartanya, namun tetap memperhatikan prinsif keadilan, kebersamaan dan kerelaan sehingga sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis. Sebaliknya Islam juga sangat sosialis, memperhatikan ekonomi lemah, dan tidak melakukan eksploitasi. Namun sangat berbeda dengan ekonomi komunis sosialis yang aktivitas ekonomi sepenuhnya di tangan pemerintah.
Pembatasan keterlibatan pemerintah dalam praktik ekonomi Islam dapat di kaji dalam hadis dari Anas bin Malik, saat Rasulullah saw didatangi banyak orang untuk menetapkan harga pasar setelah mengalami lonjakan, ketika itu Rasulullah saw enggang untuk melakukannya dengan jawaban bahwa naik turunnya harga di tangan Allah swt.
“Sesungguhnya banyak manusia datang kepada Rasulullah dan berkata, “Tentukanlah harga bagi kami, harga-harga kami.” Rasulullah saw bersabda, “Wahai manusia! Sesungguhnya naiknya (mahalnya) harga-harga kalian dan murahnya itu berada di tangan Allah swt, dan saya berharap kepada Allah ketika bertemu Allah (nanti), dan tidaklah salah satu orang terhadapku, (aku memiliki) kezaliman dalam harta dan tidak pula dalam darah.”
Dengan demikian penentuan harga oleh selain kesepakatan penjual dan pembeli hukumnya adalah haram karena terdapat satu syarat esensial yang tidak terpenuhi yakni sikap ridha dari keduanya, sehingga ketika Rasulullah saw diminta untuk melakukannya maka di jawab, tidak seorang pun aku dzalimi dalam urusan harta dan darahnya, meski dalam konteks pemahaman lain dikatakan bahwa jawaban Rasulullah seperti itu karena lonjakan harga bukan rekayasa dari pedagang.
Solusi terhadap problema sosial atas kebijakan ekonomi ini jika mutlak dilakukan maka dapat digunakan pendekatan mashlahah al mursalah dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Tindakan tersebut sangat dibutuhkan masyarakat
2. Adanya kesewenang-wenangan dan kekompakan pedagang yang menentukan harga
3. Penetapan harga mesti didasarkan pada penelitian ahli ekonomi
4. Penetapan harga atas dasar pertimbangan menguntungkan pedagang
5. Pemerintah melakukan pengawasan berantai terhadap harga dan ketersediaan barang. (*)