OPINI — Nilai etis dalam Islam selalu berbarengan dengan beban perbuatan (افعال المكلف) yang ditetapkan oleh Allah swt. Keelokannya terletak pada aspek ajaran dasarnya yang berbanding lurus dengan nilai etika. Misalnya, ibadah yang melibatkan sekumpulan orang banyak, nilai etika menjadi penopang kualitas ibadah untuk dirinya dan orang lain. Anjuran bersiwak ketika hendak mendirikan shalat dan menghindari makan bawang, menjadi indikator bahwa beribadah mesti menghargai keberadaan individu lain agar dapat lebih khusyu.
Tercemarnya udara akibat bau menyengat dalam etika berjama’ah sangat dilarang maka dengan metode mafhum al muwafaqah dalam usul fikh meletakkan paradigma, jika bau tersebut dilarang maka dipastikan penularan penyakit juga dilarang, bahkan dihukumi haram. Inilah alasan imbauan social distancing pasca merebaknya Covid-19.
Agar tidak terjadi penularan maka orang yang telah terpapar virus Covid-19 dituntut agar mengisolasi diri dan tidak boleh melakukan aktivitas ibadah bersama dengan orang lain, seperti jema’ah shalat lima waktu, shalat jum’at, shalat tarwih dan tempat umum lainnya. Sebaliknya orang sehat dan tidak terpapar Covid-19 seharusnya menghindari tempat yang diduga potensi penularannya tinggi.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pandemi covid yang tinggi, beberapa wilayahnya sudah dinyatakan kategori zona merah, hingga perkembangan terakhirnya semarak Ramadhan kali ini, tidak dimeriahkan dengan shalat tarwih berjama’ah di mesjid, melainkan dilaksanakan di rumah.
Shalat berjema’ah memang lebih afdhal ketimbang dengan menyendiri, namun untuk kondisi seperti ini, tidak berarti bahwa di rumah tidak bisa mendapatkan pahala berjema’ah bersama keluarga. Artinya penekanan dalam hadis bukan pada tempat (mesjid) akan tetapi pelaksanaan berjema’ahnya. Keterangan nilai selisih dapat ditemukan melalui riwayat Abdullah bin Umar
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: صلاة الجماعة تفضل صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة ، وفي رواية بخمس وعشرين درجة. رواه البخاري
Artinya:
Rasulullah saw bersabda. Shalat berjema’ah memiliki kemuliaan dari pada shalat menyendiri dengan (selisih) dua puluh tujuh derajat, dalam riwayat lain disebutkan dua puluh lima derajat (HR. Bukhari).
Fikh al hadits (kandungan hadis), antara lain:
1. Pengikut mazhab Syafi’ menilai bahwa hadis tersebut menjadi indikator bahwa berjema’ah tidak menjadi persyaratan wajib dalam shalat, karena shalat menyendiri tetap diberi pahala, sehingga hukumnya adalah sunnat mu’aqqadah. Pendapat ini ditolak oleh sebagian ulama dengan menetapkan hukum wajib ‘ain. Sebagaimana dalam riwayat disebutkan
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من سمع النداء فلم يأت فلا صلاة له إلا من عذر. رواه ابن ماجه
Artinya:
Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang mendengar suara adzan dan tidak mendatanginya (mesjid) tanpa ada udzur maka tidak sah shalatnya.
2. Penyebutan angka pada hadis di atas tampak berbeda, yakni menyebutkan selisih 25 dan 27 derajat, oleh imam al Nawawi dijelaskan bahwa perbedaan itu, didasari oleh kondisi orang yang mendirikannya dan kualitas shalatnya. Pahala 27 dan 25 derajat dipengaruhi oleh kesempurnaannya, pemeliharaan praktiknya, kekhusyukan, dan kuantitas jema’ahnya.
Asumsi bahwa shalat berjema’ah di mesjid lebih afdhal di banding berjema’ah di rumah, alasan utamanya terletak pada kuantitas jemaah yang lebih banyak, dengan menghidupkan suasana ibadah di mesjid. Rasulullah saw bersabda.
وعن أَبي هريرة قَالَ: قَالَ رسولُ اللَّهِ صلي الله عليه وسلم: صَلاةُ الرَّجُلِ في جَماعةٍ تُضَعَّفُ عَلى صلاتِهِ فِي بَيْتِهِ وفي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرينَ ضِعفًا، وذلكَ أَنَّهُ إِذا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلى المَسْجِدِ، لا يُخْرِجُه إِلاَّ الصَّلاةُ، لَمْ يَخْطُ خَطْوةً إِلاَّ رُفِعَتْ لَه بهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّتْ عَنْه بهَا خَطِيئَةٌ، فَإِذا صَلى لَمْ تَزَلِ المَلائِكَة تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ في مُصَلاَّه، مَا لَمْ يُحْدِثْ، تَقُولُ: اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اللَّهُمَّ ارحَمْهُ. وَلا يَزَالُ في صَلاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلاةَ متفقٌ عَلَيهِ.
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra berkata. Rasulullah saw telah bersabda, shalat berjema’ah akan dilipat-gandakan (pahala) atas shalat di rumah, demikian di pasar dengan 25 kali lipat, jika demikian itu dia berwudhu dan memperbaiki wudhunya, kemudian keluar menuju mesjid semata-mata hendak mendirikan shalat. Tidaklah langkah-langkahnya itu terkecuali akan diangkat derajatnya dan dihapus dosa-dosanya. Jika dia shalat, Malaikat senantiasa bersalawat atasnya selama berada dalam tempat melaksanakan shalat, dan tidak berbicara (urusan dunia). Malaikat mendoakannya. Ya Allah ampunilah dia, kasihilah dia. Dan dia pun mendapatkan pahala shalat selama menunggu waktu shalat. (HR. Bukhari dan Muslim)
Berjema’ah di mesjid dengan pahala berlipat ganda berlaku pada shalat fardu. Sementara untuk shalat sunat, afdhalnya adalah di rumah. Khusus untuk shalat tarwih ulama bersepakat dilaksanakan berjema’ah di mesjid dengan alasan pengembangan syi’ar. Hal ini, relevan dengan kronologi awal pelaksanaannya secara berjema’ah, seperti dalam riwayat Aisyah ra.
عن عائشة أم المؤمنين رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى ذات ليلة في المسجد فصلى بصلاته ناس ثم صلى من القابلة فكثر الناس ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما أصبح قال قد رأيت الذي صنعتم ولم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم وذلك في رمضان (رواه البخاري)
Artinya.
Dari Aisyah ummul mu’minin ra berkata, bahwasanya Rasulullah saw, suatu malam shalat di mesjid, kemudian diikuti oleh beberapa orang, kemudian malam berikutnya diikuti oleh banyak orang. Kemudian pada malam ketiga mereka kembali berkumpul, begitu pula malam keempat, namun Nabi tidak keluar bersama mereka, saat subuh, Nabi bersabda, sungguh aku melihat yang telah kalian lakukan, tiadalah yang menghalangiku untuk keluar bersama kalian terkecuali aku hanya takut kalian menjadikannya wajib. Kejadian itu di bulan Ramadhan (HR. Bukhari)
Mazhab Syafi’iyah menjadikan hadis di atas sebagai dasar pelaksanaan shalat tarwih meski dalam pandangan sebagian lainnya, menganggap bahwa yang dimaksud adalah shalat lail (shalat malam). Al Nawawi menyebutkan bahwa tarwih berbeda dengan shalat lail (malam) karena ia bagian dari shalat lail, seperti tahajjud adalah bagian dari shalat lail.
Bagi mazhab Syafi’iyah, jumlah raka’at shalat tarwih adalah 20 (dua puluh), sementara tahajjud 8 (delapan) raka’at. Dasar penetapan jumlah 20 (dua puluh) raka’at adalah perbuatan penduduk Madinah (عمل اهل المدينة) yang di motori oleh Umar bin Khattab saat menjadi khalifah. Ketika itu diikuti oleh sejumlah sahabat yang pernah hidup satu fase dengan Rasulullah saw, sehingga mustahil mereka bersepakat untuk melakukan kebohongan.
Sekiranya jumlah itu hanya keinginan Umar bin Khattab semata maka akan menuai protes umat. Ketegasannya dalam memimpin bukan berarti beliau anti kritik. Syekh Jalaluddin al Suyuti dalam Tafsir al Durr al Mantsur fi Tafsir al Ma’tsur menjelaskan bahwa suatu ketika Umar bin Khattab diprotes karena dalam pidatonya hendak memangkas uang mahar.
Meski demikian sebagian ulama menganggap shalat tarwih sebagai tahajjud yang pelaksanaannya didahulukan, sehingga jumlahnya 8 (delapan) raka’at, ditambah 3 (tiga) raka’at witir. Adapun dalil perpegangannya adalah riwayat dari Aisyah.
سَأَلتَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : ” مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
Artinya:
Aisyah ra pernah ditanya tentang shalatnya Rasulullah saw di saat ramadhan. Aisyah menjawab, Nabi tidak pernah melampaui sebelas rakaat, baik di waktu Ramadhan atau selainnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Pengikut Syafi’iyah menyebutkan bahwa hadis tersebut, adalah dalil shalat witir dengan jumlah maksimal 11 (sebelas) rakaat. Indikatornya ada pada kalimat “di bulan Ramadhan atau bulan selainnya”, sehingga rasionya cukup jelas, karena tidak ada shalat tarwih di luar Ramadhan.
Dengan demikian merebaknya virus Covid-19 hingga Ramadhan bulan ini, perlu disikapi secara bijak. Tempat yang dianggap zona merah dan dikhawatirkan pandemi virus covid, sebaiknya melaksanakan shalat tarwih berjema’ah di rumah. Rasulullah di saat khawatir akan suatu ketika, tarwih dijadikan wajib, beliau lebih memilih berdiam diri di rumah Aisyah ra dan mengintip perbuatan sahabatnya. Wallahu a’alam bi al Shawab. (*)
*Penulis adalah Dosen IAIN Parepare dan Pendakwah.