Sampel di atas cukup jelas bahwa wujud dari perasaan tersebut dipengaruhi oleh background yang beragam, sehingga penjabaran detilnya; ada yang takut terhadap kematian, kemiskinan, kurang dihormati, sakit, dll. Sebagaimana dalam firman Allah swt QS. al Baqarah: 155
ولنبلونكم بشيء من الخوف والجوع ونقص من الأموال والأنفس والثمرات وبشر الصابرين
Terjemahnya:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Ayat di atas menjelaskan bahwa takut merupakan bentuk ujian yang dapat menjadikan seseorang mendapat ampunan dan kasih sayang dari sisi Allah swt, manakala mampu bersikap sabar dengan mengucapkan innalillah wa inna ilaih rajiun. Kendati pun demikian sabar dalam makna leksikalnya identik dengan al imsak (pengendalian diri).
Islam mengajarkan untuk mengelola rasa takut agar dapat bernilai ibadah, menyikapi rasa takut sebagai ujian dan mampu bersabar akan bernilai pisitif. Karena itu, paradigma yang akan terbangun dari “jangan takut corona” memungkinkan hilangnya sikap kehati-hatian, sehingga langkah preventif diabaikan.
Jika rasa takut ini sedikit bergeser pada terma خشية (takut, khawatir dan waswas) maka akan lebih terkesan pada tingkatan awal dalam bentuk pencegahan. Legalitas langkah penemuan hukum dengan metode tersebut, oleh ulama usul fiqhi di sebut sad al zari’ah (سد الذريعة), menyumbat atau mencegah segala sesuatu yang berpotensi menimbulkan mafsadah (kerusakan).
Dengan demikian takut pada Allah tidak boleh disejajarkan atau dikomparasikan dengan takut pada makhluk, terlebih bagi yang tidak memahami dasar penggunaan dan pemilihan kata dalam makna gramatika bahasa Arab, karena akan menghasilkan natijah (konklusi) yang berdampak pada keyakinan atas ketiadaan ikhtiar (usaha) manusia dalam menjalani taqdir.
Wallahu a’alam bi al shawab.
**Penulis adalah lulusan Doktor Konsentrasi Hukum Islam, UIN Alauddin Makassar. Selain bekerja sebagai dosen yang menjabat sebagai Wakil Dekan II Fakshi IAIN Parepare, Sulawesi Selatan, penulis juga seorang dai dan pimpinan Pondok Pesantren Ma’had Mas’udiyah Al Syadziliyah Li Dirasatil Qur’an. Pesantren yang terletak di Jalan Industri Kecil Parepare tersebut kini dalam tahap pembangunan. HP/WA (0852-5574-6171)