Penulis: Juanmartin, M.Kes.
SEJAK Selasa (25-7-2023), delapan penambang terjebak di dalam lubang tambang emas di Desa Pancurendang, Kecamatan Ajibarang, Banyumas. Tambang itu ternyata belum berizin meski telah beroperasi sejak 2014. Diketahui, sebanyak 80% warga desa di sana mengandalkan aktivitas penambangan sebagai mata pencarian mereka.
Pada 2017, Polresta Banyumas bersama perangkat desa dan Dinas ESDM Kabupaten Banyumas pernah melakukan sosialisasi kepada warga. Saat itu, warga meminta agar pertambangan itu tetap bisa beroperasi. Pada 2021, pihak Koperasi Sela Kencana sebagai wadah para penambang juga pernah mengajukan izin pertambangan rakyat (IPR), tetapi hingga kini perizinan itu belum juga terbit.
Fakta Miris
Tentu miris menyaksikan rakyat rela berjibaku demi memperoleh penghasilan yang tidak seberapa. Meski nyawa taruhannya, tuntutan agar asap dapur tetap mengepul adalah alasan utama mereka. Akhirnya, terus bertahan menjadi penambang seakan menjadi alternatif satu-satunya.
Di sisi lain, aktivitas pertambangan rakyat yang belum mendapatkan izin operasi (ilegal) memang rawan bagi keselamatan para penambang. Aktivitas pertambangan berjalan seadanya tanpa memperhatikan aspek keselamatan. Bukannya tidak paham akan bahayanya, hanya saja, menjalani pekerjaan ini adalah tuntutan hidup mereka.
Secara umum, pemerintah pernah mengungkap bahwa Indonesia darurat pertambangan tanpa izin (PeTI). Melonjaknya harga komoditas pertambangan menjadi alasan utamanya. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, sampai kuartal III 2022, terdapat lebih dari 2.700 lokasi PeTI di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 2.600-an lokasi merupakan pertambangan mineral dan 96 lokasi merupakan tambang batu bara.
Akan tetapi, problem pertambangan rakyat ini bukan sekadar masalah legal atau tidaknya, melainkan berkaitan dengan upaya rakyat untuk bertahan hidup. Pada saat yang sama, ada regulasi bertingkat dan mekanisme administrasi yang rumit untuk mengantongi izin pertambangan.
Dalam kasus pertambangan di Banyumas ini, upaya untuk memperoleh perizinan sudah pernah ditempuh. Artinya, ada upaya untuk mendapatkan legalitas aktivitas pertambangan rakyat tersebut. Tentu ini juga sebagai bentuk kepedulian agar aktivitas pertambangan dapat memenuhi standar yang menjamin keselamatan para penambang.
Namun, di sisi lain, rumitnya mekanisme perizinan menjadi celah permainan oknum yang tidak bertanggung jawab. KPK pernah menyatakan bahwa sektor pertambangan merupakan sektor yang paling rawan praktik tindak pidana. Pada saat melakukan kajian, KPK menemukan berbagai permasalahan pada sektor minerba, antara lain penataan perizinan, permasalahan penjualan dan ekspor yang tidak valid, serta rendahnya kepatuhan para pelaku usaha.
Sebuah Paradoks
Membuka lapangan kerja, salah satunya melalui kegiatan pertambangan, pada dasarnya merupakan tugas negara dalam rangka tanggung jawabnya untuk menyejahterakan rakyat. Oleh karenanya, jika pertambangan rakyat menjadi tempat untuk mencari nafkah, sudah selayaknya negara memfasilitasi. Dalam hal ini, negaralah yang bertugas mengelolanya.
Kurang etis kalau berdalih bahwa aktivitas pertambangan belum mengantongi izin, sedangkan tidak ada evaluasi mengenai regulasi yang sedang berjalan. Sebagaimana diketahui, pemerintah melalui DPR mengesahkan UU 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Dari UU ini, terdapat sejumlah perubahan signifikan, seperti status Izin Usaha Pertambangan.
Pasal-pasal yang terdapat dalam UU Minerba ini justru menjauhkan amanat pasal 33 ayat 3 tentang pengelolaan kekayaan alam untuk kemakmuran rakyat. Terlebih lagi, UU Minerba juga paralel dengan agenda besar yang tidak kalah kontroversial, yakni RUU Cipta Kerja.
Rakyat sendiri ketika menjalankan aktivitas penambangan, banyak mengalami kendala, salah satunya adalah investasi. Bukan rahasia jika urusan administrasi dan birokrasi di negeri ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Ini berbeda dengan aktivitas penambangan yang ditopang dengan investasi multikorporasi. Makanya, isu oligarki pertambangan tidak pernah lepas dari izin usaha tambang.
Jika negara paham bahwa tambang merupakan kekayaan negara dan rakyat berhak menikmatinya, negara seharusnya mampu melakukan eksplorasi dan eksploitasi yang peruntukannya untuk rakyat. Ironisnya, dalam kasus pertambangan di Banyumas, negara tampak tidak hadir di sana.
Inilah paradoks kegiatan pertambangan di negeri ini. Rakyat bertaruh nyawa, korporasi justru melenggang mulus mengeksploitasi SDA. Lantas, bagaimana solusi dan pandangan Islam mengenai hal ini?
Solusi Islam
Kekayaan alam negeri sejatinya pun milik rakyat. Negara bertanggung jawab mengelolanya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Benar bahwa aktivitas penambangan membutuhkan standar jelas agar keselamatan para pekerja bisa terjamin. Alhasil, negara tidak boleh tinggal diam. Negara harus mengelolanya dan hasilnya dikembalikan untuk menyejahterakan rakyat.
Dalam Islam, kekayaan alam termasuk kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara dan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing.
Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw., “Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal, yakni air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah). Rasulullah saw. juga bersabda, “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli, yaitu air, rumput, dan api.” (HR Ibnu Majah).
Terkait kepemilikan umum, Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu, tetapi seorang sahabat segera mengingatkan beliau saw., “Wahai Rasulullah, tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sungguh, Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut darinya.” (HR At-Tirmidzi).
Mâu al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Namun, ketika kemudian beliau saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—bagaikan air yang terus mengalir—beliau pun menarik kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut terkategori sebagai milik bersama (milik umum).
Atas dasar ini, negaralah yang berhak mengelola kepemilikan umum. Negara dapat melibatkan rakyat dengan status sebagai pekerja. Hasil dari pengelolaan SDA tersebut masuk ke baitulmal yang nantinya akan disalurkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan rakyat.
Khatimah
Begitulah bentuk pertanggungjawaban negara dalam mengelola kepemilikan umum. Sebagai pelayan rakyat, negara pula yang bertanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya.
Inilah amanat syariat kepada para penguasa. Fakta ini tentu kontras dengan kondisi sekarang, regulasi ada, tetapi berpihak pada para konglomerat. Sementara itu, rakyat harus menjadi korban dari kebijakan yang tidak populer. Jika demikian adanya, masihkah mau bertahan dengan sistem sekuler ini? (*)
Sumber: Muslimah News