Beribadah secara berjamaah perlu disalahi untuk sementara waktu, cara-cara penanganan jenazah korban virus korona menyalahi kebiasaan sebelumnya. Tradisi Penyambutan dengan ziarah kubur, Perayaan puasa Ramadhan dan Idul Fitri bagi muslim dilakukan menyalahi cara-cara sebelumnya, penampilan di luar rumah dengan keharusan menggunakan masker, hal ini menyalahi kebiasaan sebelumnya. Menjaga kebersihan secara super ketat menyalahi perilaku sehari-hari sebelumnya.
Masih banyak lagi hal-hal di mana saat ini dalam rangka memutus penyebaran virus yang satu ini harus kita Out of Box. Tentu saja pergeseran perilaku ini bukan disebabkan karena pergeseran etika dan moralitas, tetapi lebih kepada kepentingan situasional dalam rangka kemaslahatan yang lebih besar dan lebih luas serta jangka panjang. Nilai sikap selanjutnya dalam paradigma “korona” adalah Imunitas. Imunitas adalah sikap dan kesadaran serta perilaku menjaga diri agar selalu memiliki imun atau ketahanan atau kekebalan tubuh. Untuk mewujudkan nilai ini diperlukan selain basis sikap mental spiritual juga diperlukan perilaku hidup sehari-hari yang mendukung.
Menjaga stabilitas kesehatan melalui pola hidup sehat mencakup menjaga konsumsi tubuh agar memenuhi keseimbangan zat-zat yang diperlukan oleh tubuh, dalam istilah al-Quran “halalan thayyiban”. Salah satu yang relevan untuk itu adalah berkaitan dengan kuliner khas Makassar yang bergizi yaitu Coto, Konro dan Nasi dalam ejaan CORONA. Membiasakan kebersihan selalu terjaga pada diri maupun lingkungan sekitar, sebagai hal lain yang tidak kalah pentingnya.
Dengan terwujudnya sikap, mental dan perilaku berbasis paradigma “Vaksin Korona” ini maka berarti kita telah melakukan suatu upaya kontributif dalam menghadapi Pandemi Covid 19. Jika mengacu pada paradigma “Vaksin” di atas sebagai konten dan oksigen PAI maka pembelajaran agama Islam ditengah pandemi harus berorientasi pada internalisasi semangat agar senantiasa secara variartif membangun kreatifitas yang intensif dalam upaya menyikapi kondisi yang tidak memberi ruang untuk hidup seperti biasa.
Selanjutnya jika mengacu pada paradigma “Korona” sebagai paradigma ide dan nilai-nilai maka itu berarti bahwa dalam implementasinya PAI harus mengembangkan nilai 7 K yaitu kesadaran, kepahaman, kesabaran. Kepatuhan atau ketaatan, Keihlasan, kepedulian dan keyakinan. Tujuh K mengandung makna bahwa nilai-nilai dari K dalam angka tujuh menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut sangat relevan dibangun dalam masa pandemi tanpa ada jeda.
Artinya implementasi nilai-nilai itu terdapat dalam 7 hari seminggu. Dalam menghadapi kehidupan di masa pandemi yang nilai-nilai mental spiritual tersebut menjadi modal fundamental agar terbangun katahanan mental spiritual. Secara utuh PAI harus meramu senyawa ide yang terdapat dalam paradigma “Vaksin Korona” dan menjadikannya sebagai paling tidak oksigen dalam pembelajaran Agama Islam untuk “diijeksi” pada kesadaran, sikap dan perilaku peserta didik.
Oleh karena itu konten dan atmosfer pembelajaran Agama Islam harus menghadirkan nilai-nilai tersebut. Dengan hadirnya nilai-nilai senayawa Vaksin Korona di atas maka itu dapat menempatkan PAI kontekstual dan kontributif. Ini artinya PAI dapat menagkap dan memanfaatkan peluang yang ada untuk menunjukkan eksistensinya.
In uridu illa al-islah mastataktu, wa ma taufiqi illa bi Allah wa ilaihi unib. Wa Allahu al-Muwaffiq Ila Aqwaam al-Thariiq. Wa Allahu ‘a’ lam bi al-shawab. Wassalam.
Penulis: Bahtiar (Tenaga Pendidik IAIN Parepare)
Editor: Misbah Sabaruddin