Oleh: Faridatus Sae, S. Sosio
(Aktivis Dakwah Kampus, Alumni S1 Universitas Airlangga)
Barang-barang impor dari China dengan harga murah meriah ramai menyerbu negeri ini. Produk manufaktur China yang terus menggempur pasar domestik RI dan belakangan yang mencuat di antaranya tekstil hingga keramik.
Sehingga, muncul kekhawatiran industri dalam negeri tidak sanggup dengan gempuran tersebut dan akhirnya keok. Apalagi impor barang murah dari China sudah lama terjadi dan China terus melakukan inovasi dan penetrasi pasar Indonesia melalui penguatan efisiensi dan skala ekonomi, sehingga biaya rata-rata yang rendah menyebabkan komoditi mereka semakin kompetitif. (Cnbcindonesia.com, 26/7/2024)
Dalam laman yang sama, menurut Ekonom Universitas Brawijaya Wildan Syafitri, bahwa perubahan selera pasar yang cepat dan potensi pasar di masa yang akan datang mampu diadaptasi dengan baik oleh manufaktur China dan didukung oleh infrastruktur yang baik dan kemudahan investasi.
Jika kondisi ini berlangsung terus maka lambat laun industri dalam negeri akan mati karena ancaman ini. Industri dalam negeri perlu lebih baik beradaptasi dengan tren permintaan pasar dan regulasi pemerintah perlu menjaga industri dalam negeri dari serangan impor ini.
Situasi yang terjadi saat ini adalah buah dari China Asean Free Trade Area (CAFTA) yang berdampak buruk pada produk dalam negeri karena barang China lebih murah. Semenjak diberlakukannya CAFTA pada 2010, banyak pihak yang mengingatkan bahwa akan bahaya bagi Indonesia jika memaksakan diri untuk bergabung dalam liberalisasi perdagangan tersebut.
Indonesia mengalami defisit neraca dagang dengan China sejak CAFTA dimulai sampai saat ini. Hanya saja, CAFTA nyatanya tetap saja tidak dibatalkan atau dihentikan oleh penguasa negeri ini. Bahkan, negeri ini terlanjur terjebak dalam perdagangan bebas. Sehingga, dengan banjirnya produk impor yang menguasai pasar dalam negeri justru membuat industri dalam negeri mati dan semakin bergantung dengan produk impor. Sehingga, atas nama mitra dagang, China adalah negara pengimpor terbesar perdagangan Indonesia.
Sedangkan, akibat tingkat kemiskinan yang tinggi terjadi pada rakyat negeri ini. Menjadikan rakyat negeri ini cenderung memilih produk impor yang lebih murah daripada produk lokal yang harganya lebih tinggi. Bahkan, masyarakat saat ini juga cenderung tidak memperhatikan keamanan produk. Apakah aman bahan atau pun kegunaannya, yang terpenting produk murah meriah, terjangkau, dan dapat banyak. Sehingga produk itulah yang dipilih untuk dikonsumsi atau digunakan dalam kehidupannya.
Selain itu, terjadi pada rakyat negeri ini yaitu kondisi rakyat yang memiliki literasi finansial yang rendah. Maka, kondisi ini juga memberikan dampak buruk pada individu maupun rakyat secara umum dalam negeri. (*)