OPINI — Manusia dalam menjalani hidupnya niscaya penuh warna-warni. Ada saatnya senang, ada pula saatnya susah. Hari ini tersenyum, esok hari menangis. Ada waktunya mendaki, ada juga waktunya menurun. Ada masanya hidup manusia berada dalam kedamaian dan kenyamanan, ada juga masanya ia diliputi kekhawatiran dan ketakutan.
Dua keadaan yang berpasangan ini merupakan keniscayaan hidup manusia. Karenanya, agama (Islam) melalui lisan dan contoh praktis dari Nabi Muhammad saw mengenalkan ‘resep sederhana’ dalam menyikapi dua kenyataan hidup yang dirasakan manusia. Yaitu senantiasa melafalkan dan meresapkan dzikir yang intinya tetap dalam spirit syukur dan rasa terima kasih atas karunia-Nya yang terformulasi dalam kalimat pujian al-hamdulillâh rabb al-‘âlamîn.
Namun, ucapan mulia ini tidak keluar begitu saja. Ia memiliki rangkaian dzikir tak terpisahkan dengan dzikir-dzikir lain untuk semakin menguatkan sikap kepasrahan manusia.
Al-hamdulillâh rabb al-‘âlamîn merupakan kalimat al-i’tirâf (pernyataan pengakuan) manusia bahwa dirinya lemah, butuh, bahkan bertekuk di hadapan kemahabesaran dan kemahakuasaan Allah ‘azza wa jalla. Seorang hamba, secara spiritual, belum mampu mengucap kalimat tahmîd (Al-hamdulhillâh) sebelum ia terlebih dahulu mengucap kalimat subhanâllâh (Mahasuci Allah). Ber-tasbîh merupakan upaya membebaskan diri dari buruk sangka dan pandangan negatif kepada Allah. Sumber buruk sangka kepada Allah antara lain ialah ketidakmampuan ‘memahami’ Allah. Misalnya, kita menerima nashîb (nasib, pembagian) dari Allah yang menurut kita “tidak seharusnya” kita terima, karena kita merasa telah berbuat baik dengan memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Dalam kondisi seperti ini, sesungguhnya kita telah terjerembab ke dalam bisikan setan yang paling berbahaya: (1) kita “merasa” telah berbuat baik; (2) kita merasa berhak “menagih” kepada Allah balasan atas kebaikan kita; dan (3) karena itu kemudian, kita “protes” atau “tidak terima” mengalami hal-hal yang tidak sesuai dengan semestinya.
Ini semua akan berujung pada istikbâr (sifat kesombongan atau takabbur) dan ‘inâd (sifat tinggi hati) yang merupakan dosa pertama dan paling berbahaya pada makhluk, seperti kesombongan dan ketinggian hati Iblis ketika menolak perintah Allah untuk mengakui keunggulan Nabi Adam dan bersujud sebagai penghormatan kepada Nabi Adam ‘alaihissalâm. Singkatnya, kalimat tasbîh merupakan pengakuan manusia akan kemahasempurnaan Allah. Ini berarti manusia penuh dengan kekurangan bahkan dapat menjadi “pabrikan kesalahan”. Sementara tahmîd merupakan pengakuan manusia bahwa Allah Mahakaya dan Maha Pemurah. Ini merupakan isyarat bahwa manusia sangat miskin dan butuh serta menggantungkan harapan kepada Allah, baik kebutuhan jasmani maupun kebutuhan ruhani. Karenanya, tasbîh merupakan prolog tahmîd, dan tahmîd akan melahirkan takbîr (Allâhu Akbar). Setelah ber-takbîr, manusia kembali ber-tahmîd, lalu berujung pada tasbîh. Begitulah seterusnya.
Muhammad Haqqî al-Nâzilî, dalam kitab Khazînah al-Asrâr, menyajikan satu riwayat bahwa Malaikat Mîkâîl adalah makhluk pertama yang melafalkan kalimat subhâna rabbiyal a’lâ (Maha Suci Tuhan Pemelihara-ku lagi Maha Tinggi). Saat itu terlintas dalam dirinya keagungan Allah, lalu ia memohon kekuatan untuk menyaksikan kebesaran dan kekuasaan Allah di semesta:
Rabbi a’thinî quwwatan hattâ anzhura ilâ ‘azhamatika wa sulthânika
Arti:
“Tuhan Pemeliharaku, berikanlah aku kekuatan sehingga aku dapat menyaksikan keagungan dan kekuasaan-Mu.”
Permohonan Malaikat Mîkâîl dikabulkan oleh Allah dan diberi kekuatan setara dengan kekuatan seluruh penghuni langit. Dengan kekuatan itu, Malaikat Mîkâîl mampu terbang mengelilingi langit selama 5 (lima) ribu tahun hingga sayapnya terbakar saat mendekati ‘arsy. Terbakar karena min nûr al-‘arsy (‘percikan’ cahaya arsy). Lalu Malaikat Mîkâîl bermohon untuk kedua kalinya agar ditambahkan kekuatan dua kali lipat dan permohonannya kembali dipenuhi oleh Allah. Malaikat Mîkâîl pun terbang mengelilingi langit untuk menyaksikan keagungan dan kekuasaan Allah selama 10 (sepuluh) ribu tahun lamanya dan jatuh dalam keadaan merasa lemah dan hina di hadapan Allah ‘azza wa jalla. Saat itulah Malaikat Mîkâîl fa kharra sâjidan (tersungkur sujud) sambil ber-tasbîh: subhâna rabbiyal a’lâ (Mahasuci Tuhan Pemeliharaku lagi Maha Tinggi).
Bahasa Arab mengenal perubahan fonem kata dalam bentuk pertukaran tempat huruf dan itu menunjukkan adanya hubungan makna. Demikian dengan kata tasbîh dan hasbalah juga memiliki hubungan makna. Tasbîh berakar dari kata kerja yang terdiri dari huruf-huruf hijâiyyah yaitu sîn-bâ’-hâ’, sedangkan kalimat hasbalah tersusun dari kata kerja hâ’-sîn-bâ’. Kalimat hasbalah (hasbunâ Allâhu wa ni’ma al-wakîl) ini kelihatannya dzikir sederhana, namun penuh makna dan luar biasa kandungannya. Dzikir ini menandakan bahwa seorang hamba hanya pasrah kepada Allah dan menjadikan Allah sebagai tempat bersandar.
Dzikir, wirid dan doa, sejatinya, memiliki energi yang dipancarkan Allah dalam bentuk nûr (cahaya). Nûr Allah itu merupakan energi mutlak yang mengalahkan semua energi lainnya. Sifat energi yang bersumber dari nûr Allah itu bermacam-macam. Ada yang halus, lembut, keras, kasar, lentur, panas, dingin, dan lainnya. Dzikrullâh adalah cara terbaik untuk memulihkan kekuatan kita, mengakses sumber daya tanpa batas yang ada di sisi-Nya, dengan ketentuan dzikir dilakukan dengan ikhlas dan pasrah sepenuh-penuhnya kepada Allah. Sudah lupa dan tidak perduli lagi apakah doanya dikabulkan atau tidak karena telah larut dalam kenikmatan dzikrullâh. Kondisi seperti inilah yang dialami, misalnya, Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalâm ketika memasuki zona hawqalah, wilayah kepasrahan total-mutlak kepada Allah (lâ hawla wa lâ quwwata illâ bi Allâh, tidak ada daya mendatangkan manfaat dan tidak ada pula upaya untuk menolak madharat).
Itu sebabnya mengapa Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalâm tidak terbakar dalam kobaran api. Api yang sangat besar pun menjadi tunduk pada perintah Allah, sehingga berubah menjadi dingin demi keselamatan Nabi Ibrâhîm ‘alaihissalâm. Kisah ini dapat di-tadabbur-i pada QS. al-Anbiyâ’ [21]:69 sebagaimana terjemahan ayatnya:
“Kami perintahkan. Hai api! Dinginlah (dan jadilah) keselamatan bagi Ibrâhîm.”
Sahabat Ibn ‘Abbâs memberi keterangan terkait ayat ini dengan sebuah penyataan menarik:
Law lam yaqul salâman lamâta ibrâhîmu min bard al-nar[i] wa baqiyat dzâtu bard[in]abad[an]
Artinya:
“Andaikata Allah tidak berfirman “salâman”, Nabi Ibrâhîm pasti mati kedinginan dalam kobaran api, bahkan api itu akan dingin permanen selama-lamanya.”
Sungguh, the spirit of pasrah memacu ‘adrenalin’ spiritual kita untuk memasuki “zona hawqalah” dengan cara istiqâmah mengasah ruhani secara terus-menerus melalui riyâdhah rûhâniyyah (olah ruhani) dan berbagai bentuk ibadah dalam pengertiannya yang luas untuk menyerap energi dzikir, wirid, dan doa yang senantiasa kita amalkan agar kondisi psikologi dan spiritual manusia menemukan titik moderasinya walau dalam keadaan yang mencekam sekalipun. Mudah-mudahan.