OPINI— “Pendidikan Tinggi di Indonesia harus menjadi ujung tombak yang bergerak cepat karena dia begitu dekat dengan dunia pekerjaan,” adalah inspairing quote penguat kebijakan Kampus Merdeka.
Hal yang disampaikan oleh Pak Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim sudah terimplementasi dalam tonggak dasar ‘milestone penyusunan kurikulum’ terkhusus KKNI sebagai starting point atau titik pangkal dalam membangun sebuah perguruan tinggi.
Siklus kurikulum yang merujuk ke milestone penyusunan kurikulum ini berisi tahapan sebagai dasar kesiapan pengajar dalam hal ini dosen, dan semua sistem yang dibangun; mulai dari menetapkan landasan kurikulum sampai pada evaluasi berorientasi pada mahasiswa (student oriented).
Opini informatif ini distimulus “wokshop penyusunan kurikulum perguruan tinggi berbasis KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia), yang penulis ikuti beberapa waktu yang lalu.
Kerangka kualifikasi yang lahir dengan sebutan KKNI yang dirumuskan Kemenristek ini, bertujuan mengakomodasi pengembangan sumber daya manusia dalam masyarakat sebagai refleksi dari Peraturan Presiden Nomor 8 tahun 2012 Tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73 tahun 2013.
KKNI dimaksudkan sebagai kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.
Workshop yang dilaksanakan Yayasan Perguruan Tinggi Amsir Parepare berlangsung selama 2 hari ini dibimbing langsung oleh Prof. Dr. Syahnur Said, SE., M. Si, Dosen Senior yang juga ketua LP2SI Universitas Muslim Indonesia (UMI) didampingi Dr Syamsu Alam.
KKNI ini sangat relevan dengan program dukungan dan empat kebijakan menteri pendidikan dan kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang akrab disapa mas mentri untuk pendidikan tinggi dengan nama ‘Kampus Merdeka’.
Pertama; akan memberikan otonomi bagi perguruan tinggi untuk membuka program studi (prodi) baru; kedua, program akreditasi akan bersifat otomatis dan sukarela; ketiga, mempermudah syarat kampus untuk menjadi perguruan tinggi negeri; dan keempat, kebebasan bagi mahasiswa untuk belajar lintas Program studi (prodi).
Mas menteri selaku orang yang diamanahkan mengomandoi barisan pendidik Indonesia ini juga akan fokus menjalankan visi Presiden Jokowi dalam pendidikan, yaitu menciptakan ‘Link and match’ antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Sebagai konsekuensi logis perguruan tinggi perlu melakukan langkah strategis antara lain: penentuan profil lulusan bersama dunia industri, penerapan KKNI secara konsisten, kerjasama real dengan dunia industri sejak persiapan proses pembelajaran dan penyerapan lulusan.
Termasuk juga potensi pembukaan dan penguatan program studi yang kental dengan nuansa ‘teknologi’ dan yang menjadi kebutuhan industri.
Kompetensi atau skill pendukung yang dibutuhkan adalah kreatifitas, kolaborasi, komunikasi, berpikir kritis, berpikir matematis dan harmonisasi tentunya dengan dukungan paradigma positif dalam setiap kepemimpinan di perguruan tinggi. (*)